PEDANG PENAKLUK IBLIS JILID 01
"SINCHUN Kionghi Thiam-hok Thiam Siu! Selamat tahun baru, panjang umur banyak rejeki!" Ucapan ini bergema di seluruh Tiongkok. di dusun dan kota, di mana saja manusia berada. Ucapan yang menjadi inti dari pada perayaan hari Tahun Baru yang telah menjadi tradisi di seluruh Tiongkok semenjak tahun diperhitungkan, berapa orang takkan gembira ria menyambut hari itu? Tidak saja sebagai hari pertama dari tahun yang baru, akan tetapi juga hari pertama dari musim semi yang gilang-gemilang, yang memberi harapan baik bagi semua manusia, baik ia pedagang, petani, maupun buruh, pendeknya rakyat jelata. Tanaman akan tumbuh subur, hawa udara segar dan bersih, pemandangan alam indah permai. Olch karena inilah maka upacara selamat menjadi Sin-chun Kionghi yang berarti Selamat Musim Semi Baru.
Semua orang merayakannya. Besar kecil kaya, miskin mereka bergembira menyambut datangnya musim semi dengan cara dan kebiasaan masing-masing. Orang-orang mengadakan pesta, segala mata pertunjukan, seni budaya rakyat muncul meramaikan pesta tari-tarian, nyanyi, tari, barongsai, kilin, hong dan lain-lain memenuhi sepanjang jalan besar.
Anak-anak lebih gembira lagi. Mereka pergi ke sana ke mari, menghaturkan selamat kepada keluarga dan tetangga yang lebih tua, menerima angpauw (bungkusan merah berisi uang atau hadiah) menonton pertunjukan dan di hari itu mereka akan terbebas daripada hukuman dan omelan orang tua. Di sana-sini mengebul asap hio mengharum, karena orang-orang pada mengadakan sembahyang untuk memperingati nenek moyang mereka yang telah meninggal dunia.
Suara petasan menambah kegembiraan penduduk. Tiadi hentinya suara mercon ini susul-menyusul seakan-akan berlomba. Kadangkadang kelihatan di udara meluncur roket-roket kecil dari kertas.
Pendeknya, semua orang menabung setahun penuh untuk menghabiskan uang tabungannya di hari-hari tahun baru itu, berpakaian baru, makan minum sampai mabok dan menghamburkan uang tak mengenal sayang.
Pada pagi hari tahun baru itu seorang laki-laki tinggi besar berwajah tampan dan gagah akan tetapi seperti orang yang menanggung banyak penderitaan batin, berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, bcrjalan perlahan-lahan memasuki kota Keng-sinbun yang berada di kaki Bakit Hoa-san. Laki-laki yang gagah ini berjalan sambil menuntun seorang anak kecil berusia kurang lebih tujuh tahun. Pakaian mereka jauh berbeda dengan pakaian orangorang yang sedang merayakan tahun baru. Kalau semua orang besar kecil memakai serba baru, adalah dua orang ini berpakaian amat sederhana dan sudah kotor, bahkan laki-laki itu sudah ada tambalan pada bajunya.
"Gi-hu, semua orang merayakan hari musim semi, mengapa kita tidak?" Suara anak ini lemah lembut dan kata-katanya teratur rapi seperti ucapan seorang anak yang mempelajari bun (sastra) dan tata susila, akan tetapi terdengar nyaring bersemangat. Ia menyebut "gi-hu" yang berarti ayah angkat kepada laki-laki itu.
Orang gagah itu memandang dan senyum sedih muncul di bibirnya.
"Hong-ji (Anak Hong), kita sedang dalam perjalanan, bagaimana bisa merayakan hari tahun baru? Sebentar lagi kalau kita sudah sampai di tempat tinggal Sucouwmu (Kakek Gurumu) barulah kita bisa merayakan hari baik ini. Atau barang kali kau ingin merayakannya di kota ini? Kalau demikian, kita bisa mampir di rumah makan dan berpesta berdua, bagaimana pikiranmu?" Pada saat itu mereka telah memasuki kota dan bocah itu memandang ke kanan kiri dan melihat setiap rumah memasang meja sembahyang dengan segala macam masakan di atas meja dan hio mengebulkan asap harum.
"Gi-hu aku tidak ingin makan minum, aku ingin dapat menyembahyangi Ayah Ibuku..." Suara anak ini terputus-putus dan biarpun matanya tetap bening dan tajam, namun suaranya menunjukkan bahwa ia menahan isak tangis yang naik mendesak dari dada ke lehernya.
Mendengar ini, hati orang gagah itu merasa perih sekali saking terharunya. Ia menghentikan tindakan kakinya dan membawa anak itu ke pinggir jalan di mana ia berdiri sambil mengelus-elus kepala anak itu. Ia termenung dan terbayanglah semua pengalamannya.
Laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa ini bukan lain adalah Lie Bu Tek, seorang gagah yang dijuluki Hui-liong (Naga Terbang) karena kalau ia mengamuk, pedangnya berkelebatan laksana seekor naga terbang yang menyambar leher para penjahat. Adapun anak kecil itu sebagai-mana dapat diketahui dari cara ia memanggil Lie Bu Tek, adalah Wan Sin Hong anak angkat dari Lie Bu Tek. Kata-kata anak tadi membuat Lie Bu Tek termenung dan terbayang akan semua pengalamannya.
"Baiklah, Hong-ji. Mari kita menyembahyangi Ayah Bundamu secara sederhana saja." Dengan girang dan berterima kasih Sin Hong ikut ayah angkatnya itu menuju ke sebuah toko yang menjual lilin, hio, dan segala keperluan sembahyang. Setelah membeli alat-alat untuk bersembahyang secukupnya, Lie Bu Tek lalu mengajak anak angkatnya pergi ke sebuali tempat yang sunyi. Di tempat ini Lie Bu Tek memasang alat-alat sembahyang, menyalakan membakar hio dan bersembahyanglah dua orang itu dengan cara masing-masing.
Bu Tek memegang hio di tangan sambil berdiri seperti patung, bibirnya tidak bergerak, akan tetapi dua titik air mata yang menurum pipinya menyatakan bahwa hatinya amat terharu. Wan Sin Hong berlutut di depan lilin dan mulutnya bergerak-gerak mengeluarkan bisikan, "Ayah dan Ibu yang tak pernah kukenal, aku anakmu Wan Sin Hong menghaturkan hormat dan selamat tahun baru. Mohon restu Ayah Ibu agar aku kelak menjadi seorang gagah dan pandai seperti Gi-hu...." Lie Bu Tek ikut berlutut dan memeluk anak angkatnya itu. Entah mengapa, begitu dipeluk Sin Hong merasa sesuatu yang amat menyedihkan hatinya sehingga tak tertahankan lagi la menangis terisak-isak di dada ayah angkatnya. Sampai api hio habis dan lilin kecil itu padam baru mereka berdiri lagi.
"Mari kita melanjutkan perjalanan, Sin Hong. Sucouwmu di Puncak Hoa san sudah menanti-nanti."
"Apakah Sucouw sudah tahu akan kedatangan kita?" tanya Sin Hong.
"Tahu sih belum, akan tetapi sebagai orang tentu dia mengharapkan kedatangan orang-orang muda di hari tahun baru." Kembali mereka melalui jalan-jalan besar yang ramai sekali.
Karena saat itu memang tiba waktunya menyalakan asap, hio mengepul memenuhi kota. Sambil berjalan di sebelah ayah angkatnya Sin Hong memandang ke kanan kin, melihat orang-orang yang sedang bersembahyang. Tiba-tiba sambil menarik-narik tangan Bu Tek, ia mengajukan pertanyaan, "Gihu biarpun aku sudah membaca dan mengerti tentang peraturan sembahyang akan tetapi maksudnya aku masih belum tahu. Mengapakah nenek moyang yang sudah mati disembahyangi? Mengapa disediakan hidangan dan masakan enak-enak bagi orang yang sudah mati? Apakah mereka itu benar-benar mempunyai roh, dan kalau benar, apakah roh-roh itu dapat datang untuk makan hidangan-hidangan itu?" Lie Bu Tek tersenyum dan diam-diam ia memuji kecerdasan otak anak angkatnya yang dalam usia sekecil itu sudah dapat mempergunakan pertimbangan akal budinya.
"Tentu saja roh halus tidak bisa makan hidangan-hidangan itu, Hong-ji. Akan tetapi, bukan itulah maksud daripada menyembahyangi nenek moyang kita. Orang bersembahyang untuk menyatakan cinta kasih dan penghormatan, sebagai tanda bakti kepada nenek moyang, bakti yang tak kunjung padam, baik moyang yang masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Seorang anak yang berbakti dan mencinta orang tuanya, tentu selalu akan membikin senang hati orang tuanya, dan jalan satu-satunya untuk menyenangkan hati orang tua adalah menjaga baik-baik nama keluarganya. Untuk dapat melakuan hal ini, orang itu harus berperilaku baik, karena seorang yang melakukan kejahatan tak mungkin dapat menjaga nama baik keluarga. Kebaktian yang sesungguhnya takkan lenyap bersama dengan matinya orang tua, biarpun orang tua sudah mati, tetap saja anak yang berbakti menghormat dan mencinta orang tuanya dan selalu ia akan menjaga perilaku hidupnya untuk menjaga nama baik orang tuanya yang sudah mati itu. Karena itulah maka setiap orang meyembahyangi nenek moyangnya, untuk mempertebal rasa kebaktian ini sehingga mereka selalu takut untuk melakukan kejahatan karena tidak ingin mencemarkan nama orang tuanya." Sin Hong memang seorang anak yang cerdik luar biasa, maka kata-kata ini dapat ditangkap artinya dan ia mengangguk-angguk.
"Aku pun selalu akan mengingat orang tuaku yang sudah mati dan mengingat kepada Gi-hu yang masih hidup agar selama hidup aku takkan melakukan perbuatan buruk yang dapat mencemarkan nama baik Ayah Bunda dan Gi-hu." Lie Bu Tek girang sekali dan ia mengelus-elus kepala anak angkatnya.
"Bagus sekali prasetyamu ini, Hong-ji. Memang sudah menjadi kenyataan bahwa nama baik orang tua akan terbawa-bawa kalau anaknya berbuat. Bahkan nama baik orang tua yang sudah meninggal akan terseret pula karena sekali menyebut nama anaknya, berarti menyebut pula nama ayahnya. Sebaliknya, kalau anaknya menjadi seorang manusia yang berprilaku balk, nama ayahnya akan terangkat baik dan menjadi harum." Ini pun Sin Hong dapat mengerti karena ia sudah tahu bahwa she (nama keturunan) orang tua selalu dibawa-bawa oleh anaknya.
Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba serombongan anakanak kecil berlan-lari ke arah barat sambil berteriak-teriak girang.
"Ang-bwe-sai (Singa Buntut Merah) datang ... !!" Benar saja serombongan pemain barongsai mendatangi di jalan raya itu dari barat. Suara gembreng dan tambur sudah ditabuh ramai sekali dan dari jauh sudah terlihat barongsai yang besar dan indah sekali berlenggang-lenggok di sepanjang jalan raya. Orangorang hartawan, pemilik-pemilik toko segera menyambutnya dengan mercon (petasan) dan sebagian pula menggantungkan "angpauw" (bungkusan merah terisi uang atau hadiah) di depan pintu.
Barongsai itu berlagak, main di depan pintu setiap rumah dan dengan cara amat indah menyambar angpauw itu dan memberi hormat kepada tuan rumah sambil mendekam-dekam dan berlutut.
"Di rumah Gan-wangwe (Hartawan Gan) disediakan angpauw besar yang dipasang tinggi sekali!" terdengar beberapa orang berteriak dengan girang.
Sebagai seorang anak-anak, Sin Hong tentu saja ikut gembira. la menarik tangan ayah angkatnya untuk mendekati barongsai itu dan mengagumi cara orang mainkan tari barongsai. Karena anak ini sudah menerima latihan dasar ilmu silat dari Lie Bu Tek, maka ia dapat mengagumi jurus permainan kaki dari pemain barongsai yang bergerak menurut jurus-jurus permainan silat. Sekali pandang saja, Lie Bu Tek tahu bahwa pemain barongsai ini tentulah murid dari Siauw-limpai. Ketika ia memandang ke arah rumah gedung Hartawan Gan, diam-diam ia menjadi gembira juga. Ang-pauw dari hartawan Gan ini benar-benar besar, tentu terisi uang banyak atau hadiah yang amat berharga. Akan tetapi hartawan itu sengaja memasang ang-pauw di tempat yang amat kurang lebih tiga tombak tingginya. Padahal, biasanya kalau ang-pauw digantungkan di atas pintu, barongsal akan meloncat dan menyambar ang-pauw. Apakah Barongsai Buntut Merah itu sanggup melompat setinggi itu? Tiba-tiba dari timur terdengar suara gembreng dan tambur yang lain lagi. Anak-anak dari timur berlarian datang dan terdengar anakanak berterlak, "Pek-bwe-sai (Singa Buntut Putih) datang...!" Riuh rendah suara gembreng dan tambur kedua barongsai itu dipukul pada saat yang sama dan di jalan raya yang sama pula. Kini kedua barongsai yang bermain di depan setiap rumah, mulai mendekati gedung Hartawan Gan, serombongan dari barat dan rombongan Barongsai Buntut Putih dari timur!
Melihat suasana dan cara kedua pihak memukul tambur seperti tambur perang. Lie Bu Tek berdebar hatinya. Dapat diramalkan bahwa tentu akan terjadi keributan di jalan raya ini. Tidak biasa dua Barongsai bertemu di jalan raya pada saat yang sama. Biasanya diadakan perundingan lebih dulu dan diatur jalannya sehingga tidak sampai bertemu di jalan.
Akan tetapi dua rombongan ini agaknya sengaja hendak bersaing dan mencari keributan. Ketika rombongan Pek-bwe-sai sudah dekat, Lie Bu Tek menjadi gelisah karena dari gerak kaki pemain-pemain barongsai ini, tahulah ia bahwa mereka adalah anak murid dari Butong pai.
Akan tetapi para penduduk yang sedang berpesta pora itu tidak ada yang mempunyai dugaan seperti Bu Tek. Mereka bahkan bergembira sekali, karena sekaligus ada dua rombongan barongsai yang berlumba memperlihatkan permainan mereka yang indah menarik. Terutama sekali anak-anak kecil bukan main senangnya. Di sana-sini orang melempar lemparkan petasan ke arah dua barongsai yang datang dari dua jurusan yang berlawanan itu. Suara tambur dan gembreng bercampur-baur dengan suara petasan dan teriakanteriakan anak-anak serta gelak tawa orang dewasa, benar-benar menambah kegembiraan suasana. Tanpa disengaja para penonton memperbesar api persaingan di antara kedua rombongan itu dengan kata-kata demikian.
"Pek-bwe-sal lebih bagus. Lihat matanya berkilauan seperti hidup"
"Tidak. Ang-bwe-sai lebih indah, mulutnya bergerak-gerak dan rambutnya lebih panjang"
"Pek-bwe-sai lebih bagus mainnya, kakinya berloncatan dan ekornya bergoyang-goyang, seperti singa hidup"
"Benar, akan tetapi Ang-bwe-sai mempunyai pemain-pemain yang pakaiannya lebih indah dan orang-orangnya lebih tegap dan gagah." Demikianlah, suara orang-orang yang menilai dua rombongan barongsai itu seakan-akan menambah sakit hati dan kebencian di antara kedua pihak. Apalalagi ketika ada yang menyatakan bahwa permainan Pek-bwe-sai lebih indah dan permainan Ang-bwe-sai, pihak Ang-bwe-sai tentu saja menjadi marah dan penasaran.
Memang mereka harus akui bahwa permainan barongsai Pek-bwesai lebih indah mainnya, karena memang permainan anak murid Butong-pai itu mengutamakan gerakan indah, sedangkan anak murid Siauw-lim-pai mengutamakan gerakan-gerakan yang kuat.
Sebetulnya masing-masing memiliki gaya dan keindahan sendiri, den kalau ditinjau oleh orang ahli silat, tentu saja permainan anak murid Siauw lim-pai lebih baik.
Kini dua rombongan barongsai itu telah tiba di depan gedung Gan-wangwe. Mereka agaknya sengaja mengatur agar supaya tiba di tempat itu dalam waktu yang bersamaan. Orang-orang yang menonton dua rombongan itu kini berkumpul menjadi satu, keadaan ramai bukan main. Gan-wangwe sudah menyuruh para pelayan untuk menghujankan petasan ke arah dua barongsai itu yang seakan-akan kini menjadi "keranjingan" dan bermain dengan hebat penuh semangat. Karena kedua barongsai itu bermain di bawah gantungan ang-pauw, maka kelihatan seolah-olah mereka adalah dua ekor singa yang hendak berkelahi, bukan main bagusnya.
Apalagi, dua rombongan itu sengaja pada saat memasuki gedung itu, menyerahkan barongsai kepada ketua atau guru masing-masing yang tentu saja lebih pandai bermain barongsai daripada anak buahnya.
Pada saat yang telah tepat di bawah gantungan ang-pauw, Barongsai Buntut Putih melakukan gerakan melompat ke atas.
Barongsal Buntut Merah tidak tinggal-diam melihat ang-pauw itu hendak "dimakan" lawannya, maka ia pun melompat cepat. Indah sekali dua gerakan itu, akan tetapi karena mereka melakukan gerakan hampir berbareng, mulut barongsai itu saling beradu dan tidak berhasil mencapal ang-pauw.
"Duk!" dan keduanya kembali turun ke bawah menari-nari lagi dengan berangnya.
"Duk-duk-ceng! Duk-duk-ceng! Duk-duk ceng!" Tambur dan gembreng kedua rombongan dipukul gencar seakan-akan mereka memberi semangat kepada barongsai masing-masing.
"Dar-dar-dor-dor! Blung...!" Suara petasan juga tidak kalah gencarnya dilepas oleh keluarga dan pelayan Gan-wangwe yang tentu saja menjadi gembira sekali melihat pertunjukan istimewa ini.
"Bagus! Hayo berlumba, siapa yang lebih pandai!"
"Pek-bwe-sat, tangkap ang-pauw itu lebih dulu!" Demikian terdengar sorak sorai penonton. Tahun baru kali ini benar-benar luar biasa dan ramai dengan adanya pertunjukan yang menarik dari dua barongsai yang bersaingan ini.
Lie Bu Tek menahan napas. "Sin Hong, sebentar lagi mereka akan bertarung. Alangkah bodoh dan memalukan orang-orang ini, memperebutkan ang pauw dan lupa akan peraturan kang-ouw dan persahabatan!" .
Akan tetapi Sin Hong tidak menjawab, karena anak ini juga amat tertarik, memandang permainan kedua barongsai itu dengan wajah berseri dan sepasang mata bersinar-sinar. Lie Bu Tek menunduk dan memandang kepada anak angkatnya, dan ia tersenyum. Ia ikut girang melihat bocah ini bergembira.
Tiba-tiba para penonton yang berada di luar sendiri berseru.
"Kim-gan-sai (Barongsat Mata Emas) datang...!"
"Aduh, bakal ramai Ini...!" teriak seorang penonton lain.
Lie Bu Tek menoleh. Ia melihat rombongan pemain barongsai baru datang dengan cepat ke tempat itu. Rombongan ini berbeda dengan dua rombongan yang saling berebut ang-pauw. Lebih garang dan indah. Barongsai ini besar dan berat. Gembreng dan tamburnya besar-besar dan suaranya amat nyaring sehingga setelah dekat mengalahkan suara tambur dan gembreng dari dua rombongan terdahulu.
Juga para pemainnya kelihatan gagah dan angker. Melihat gerak kaki pemain yang menjalankan barongsai mata emas ini, diam-diam Lie Bu Tek terkejut. Bukan orang sembarang yang memainkan barongsai ini, akan tetapi orang yang memiliki kepandaian silat yang berarti.
"Benar-benar bakal ramai sekarang!" PIkir Lie Bu Tek karena ia maklum bahwa rombongan baru ini tentu bukan kebetulan datang di tempat itu pada saat yang sama. Apalagi rombongan ini tidak bermain di depan rumah-rumah yang dilalui melainkan langsung menuju ke rumah Hartawan Gan!
Yang menarik hati Lie Bu Tek adalah ketika ia melihat betapa dua rombongan yang sedang berebut ang-pauw itu rata-rata kelihatan pucat dan gelisah. Apalagi para pemukul tambur dan gembreng mata mereka tertuju ke arah barongsai mata emas yang baru datang sehingga mereka menabuh asal bunyi saja, sama sekali tidak mengikuti gerak-gerik barongsai masing-masing sehingga keadaan menjadi makin ramai dan lucu! Pada saat itu Barongsai Mata Emas telah tiba di tempat itu. Para penonton otomatis memberi jalan dan dengan sebuah lompatan yang amat dahsyat sehingga menakutkan sebagian penonton, barongsai ini telah tiba di bawah tempat gantungan angpauw di mana dua barongsai buntut putih dan merah sedang berlumba mendapatkan ang-pauw yang dipasang di tempat tinggi itu.
Sekarang para penonton disuguhi pemandangan yang benarbenar hebat, akan tetapi mereka kini agak merasa takut, sungguhpun tak seorang juga mau meninggalkan tempat itu untuk melihat pertandingan barongsai yang benar-benar tak pernah terjadi.
Barongsai Mata Emas yang lebih besar ini ternyata dapat bergerak jauh lebih gesit. Dengan gerakan kaki yang amat kuat, ia menyeruduk ke kanan dan Barongsai Buntut Putih terkena serudukan ini menjadi terjengkang ke belakang! Hampir saja pemegang kepala barongsai jatuh kalau saja ia tidak cepat-cepat ditolong oleh pemegang ekor barongsai. Kemudian dengan gerakan yang serupa, sambil membalikkan tubuh dengan indahnya.
Barongsai Mata Emas menyeruduk Barongsai Buntut Merah dan kembali barongsai ini terjengkang ke belakang.
Pengurus rombongan Barongsai Putih dan Barongsai Merah menjadi penasaran, lalu mereka maju memprotes. Akan tetapi, pemimpin rombongan Barongsai Mata Emas, seorang yang usianya ada lima puluh tahun dan bertubuh jangkung kurus, melangkah maju dengan sikap tenang akan tetapi mulut tersenyum mengejek.
"Mengapa ribut-ribut?" katanya. "Marilah kita sama lihat, siapa di antara tiga barong barongsai yang sanggup mengambil ang-pauw itu." Agaknya pemimpin Barongsai Mata: Emas ini sudah dikenal baik oleh rombongan Barongsai Putih dan Merah, mereka menjura dengan sikap takut-takut lalu seorang di antara mereka berkata.
"Ciok-loya, harap maafkan kami, akan tetapi kami dengan rombongan kami yang datang lebih dulu."
"Hm, begitukah. Kalau begitu, mengapa kalian berebut? Sekarang begini saja, kita adukan tiga barongsai kita dan siapa yang terjatuh dianggap kalah dan tidak berhak mengikuti perlumbaan mengambil ang-pauw dari Gan-wangwe!" Sambil berkata demikian, tanpa menanti jawaban ia lalu memberi tanda kepada kawan-kawannya penabuh gembreng dan tambur.
Mereka ini agaknya sudah berunding lebih dulu karena tiba-tiba tambur dan gembreng itu dipukul gencar, melagukan tambur perang.
Tentu saja dua barongsai yang lain maklum akan tanda ini, apalagi karena pihak mereka juga memainkan tambur dan gembreng tanda bertempur, maka tiga barongsai itu lalu siap sedia dengan gaya dan aksi masing masing. Para penonton menjadi gembira bukan main. Sudah banyak mereka menonton pertandingan pibu (adu kepandaian) antara ahli-ahli silat di panggung luitai (panggung tempat adu silat), akan tetapi mengadu barongsai? Sungguh kejadian yang amat aneh dan tak pernah terjadi!
Gan-wangwe adalah seorang yang gembira dan juga tabah. Ini tidak mengherankan karena dia adalah seorang harlawan besar yang selain mempunyai hubungan dengan para jagoan juga ia menjadi kesayangan para pembesar setempat. Juga dia sendiri memelihara jago-jago dan tukang-tukang pukul. Melihat betapa tiga barongsai itu akan "bertanding", ia lalu memberi perintah kepada para pelayan untuk mengeluarkan lebih banyak petasan lagi dan sebentar saja tempat bertanding tiga barongsai itu dihujani petasan.
Benar-benar luar biasa sekali tahun baru ini!
Lie Bu Tek sendiri, biarpun ia seorang yang banyak pengalaman dan sudah menghadapi hal yang aneh-aneh, selama hidupnya baru kali ini melihat barongsai bertanding tiga buah banyaknya sekaligus! la maklum bahwa pertandingan macam ini jauh lebih sulit daripada pertandingan pibu biasa, karena sebagaimana diketahui, pemain barongsai terdiri dan pada dua orang, seorang pemegang kepala dan seorang memegang ekor. Keduanya tertutup oleh kain yang merupakan "tubuh" barongsai sehingga sukar sekali melihat ke depan.
Pemegang kepala yang selalu di depan, tak dapat menggerakkan kedua tangan untuk bertempur, karena kedua tangannya sudah dipergunakan untuk memegang kayu pegangan di dalam kepala barongsai. Hanya kedua kaki mereka yang bebas, sedangkan pandangan mata mereka pun amat terbatas dan terhalang yakni melalui mulut barongsai. Dengan berdebar dan tegang Lie Bu Tek menonton dengan asyiknya, bahkan ia lalu memanggul Wan Sin Hong di pundaknya agar bocah ini dapat menonton dengan leluasa, tidak terhalang oleh lain orang penonton.
Maka terjadilah "pertempuran" yang hebat. Kalau saja pertempuran itu hanya merupakan permainan tiga barongsai sekaligus, biarpun sudah amat indah, agaknya tidak menimbulkan suasana yang demikian tegangnya. Tambur dan gembreng dipukul sekeras-kerasnya, petasan hujan di atas kepala tiga barongsai itu.
"Hem, pertempuran yang curang," kata Lie-Bu Tek dalam hatinya. "Terang sekali barongsai Mata Emas dikeroyok dua." Memang demikianlah keadaannya. Barongsai bermata emas yang kepalanya lebih besar dan berat dan gerakan-gerakan kakinya demikian teratur tanda bahwa yang memainkannya memiliki ilmu silat yang tinggi dikeroyok dua oleh barongsai Pek-bwe-sai dan Angbwe- sai. Agaknya dua orang yang memainkan Barongsai Buntut Putih dan Buntut Merah ini tahu aka kelihatan lawan, muka mereka yang tadinya berebut ang-pauw kini menjadi kawan mengeroyok Barongsai Mata Emas. Namun, sebentar saja pertandingan itu berakhir. Ketika Barongsai Buntut Putih dan Barongsai Buntut Merah menyerang dari kanan kiri, menyecruduk ke arahb pemain Barongsai Mata Emas, tiba-tiba Barongsai ini melompat keras sekali ke belakang sehingga dua barongsat yang mengeroyoknya saoling beradu kepala sendiri. Tiba-tiba pemain Barongsai Mata Emas menggerakkan kakinya susul-menyusul. Terdengar suara "tak! tak!" dan, dan pemain-pemain barongsai yang mengeroyok itu roboh sambil berteriak kesakitan. Ternyata bahwa tulang kering mereka telah patah oleh tendangan lawan tadi.
Baiknya mereka cepat-cepat melepaskan kepala barongsai masing-masing, karena pemain Barongsai Mata Emas itu cepat menghampiri kepada Barongsai Buntut Putih dan sekali ia menendang, pecahlah kepala barongsai ini. Setelah itu, ia menggerakkan barongsai dan memukulkan kepala barongsai ini ke atas Barongsai Buntut Merah, terdengar suara keras dan kepala barongsai ini pun hancur!
Otomatis penabuh-penabuh gembreng, tambur dan barongsai-barongsai yang terkalahkan menghentikan permainan mereka. Semua orang menjadi pucat dan semata yang terdengar hanyalah permainan tambur dan gembreng dari Barongsai Mata Emas, dipukul perlahan-lahan sedangkan barongsai itu sendiri menari-nari dengan gaya sombong sekali. Kepala barongsai diangkat tinggi-tinggi, diputar ke kanan kiri seakan-akan seekor singa hidup mencari lawan baru! Dalam mengangkat barongsai ini kelihatanlah muka si Pemain, dan terkejutlah Lie Bu Tek. la mengenal muka ini, muka seorang penjahat besar di daerah selatan Sungai Huang-ho yang bernamu Lee Kan Sek, berjuluk Thiat-say atau Singa Besi! Agaknya dua rombongan yang dikalahkan juga mengenal orang ini karena mereka menjadi makin ketakutan dan gelisah sekali.
Hartawan Gan, seorang, yang gemuk pendek dan bermuka periang, merasa hawatir juga melihat kesudahan dari permainan ketiga barongsai ini. la lalu keluar dan dengan suara ramah-tamah berkata.
"Cuwi sekalian, kami merasa terima kasih sekali bahwa cuwi dan ketiga rombongan telah sudi meramaikan rumahku dengan permainan barongsai yang amat indah. Karena sudah jelas bahwa rombongan Kim-gan-sai menang ia berhak mencoba untuk mengambil ang-pauw yang saya gantungkan di atas. Agar dapat diketahui oleh umum, di dalam ang-pauw itu terisi emas sebanyak lima tail. Akan tetapi, bagi rombongan yang barongsai yang dikalahkan, saya akan menyumbang masing-masing dua tail emas untuk memperbaiki barongsai mereka yang rusak. Harap saja urusan ini dibikin habis sampai di sini saja." Para penonton bersorak girang memuji kebaikan hati hartawan itu, yang sesungguhnya melakukan sumbangan bukan karena kebaikan hatinya, akan tetapi untuk mencegah terjadinya kerilbutan dan terutama sekali untuk mencari nama baik dengan sumbangansumbangannya yang royal atau tegasnya, sebagai reklame saja!
Tiba-tiba Tiat-sai Lee Kam Sek berseru keras dan sekali ia melompat, barongsainya telah berhasil "menggigit" ang-pauw yang tergantung setinggi tiga tombak itu."
"Gerakan Pek liong-seng-thian (Naga Putih Naik ke Langit) yang indah!" Tak terasa pula Lie Bu Tek memuji. Mendengar ini, dari lubang mulut barongsai Lee Kan Sek mencari-cari siapa orangnya yang mengeluarkan pujian ini, akan tetapi oleh karena tempat itu penuh dengan penonton, ia tidak dapat mencarinya. Dengan gerakan yang kuat sekali, ia melontarkan barongsai ke atas setinggi tombak sambil berseru, "Cong-te (Adik Cong), terimalah!" Dan rombongan pemain Kim-gan-sai melompat seorang laki-laki bertubuh kate dan dengan cekatan sekali ia menerima kepala barongsai itu, demikian pula seorang pemain lain menggantikan kedudukan pemain buntut barongsai. Demontrasi ini disambut dengan tepuk tangan riuh oleh penonton.
Tiat-sai Lee Kan Sek lalu menghampiri rombongan Pek-bwe-sal dan Ang hwe-sai sambil berkata sombong.
"Kalian sudah menjadi pecundang, dan lekaslah enyah dari sini!
Sebelum kami berhenti bermain di kota ini, kalian tidak boleh muncul, juga tidak boleh menerima sumbangan dan siapapun juga.
Karena itu sumbangan dan Gan-wangwe juga boleh kalian terima.
Ada yang tidak setuju?" Kata-kata ini merupakan tantangan terbuka.
Akan tetapi rombongan Pek-bwe-sai dan Ang-bwe-sai yang sudah tahu bahwa perkumpulan yang mengeluarkan Kim-gan-sai amat kuatnya, juga di situ terdapat pula jagoan ini menjadi gentar dan dengan kepala tunduk mereka bersiap-siap untuk pergi. Ganwangwe yang melihat ini diam saja, karena hal itu dianggap bukan urusannya. Juga hartawan ini tahu diri, ia tidak mau menanam bibit permusuhan dengan perkumpulan Bu-cin-pang yang mengeluarkan Kim gan-sai itu.
Akan tetapi pada saat itu tiga orang pengemis yang berpakaian baru akan tetapi penuh dengan tambalan melompat maju sambil berkata, "Tidak adil! Tidak adil Dari pada emas dan sumbangan diberikan kepada jagoan-jagoan sombong yang pada hakekatnya tak lain daripada perampok-perampok keji, lebih baik disumbangkan kepada jembel-jembel seperti kami!" Sambil berkata demikian, seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung bermuka kuning bergerak cepat sekali dan tahu-tahu ia telah merampas ang-pauw yang tadi disambar oleh barongsai Kim-ga sai!
Bungkusan ang-pauw ini telah dipegang oleh seorang anggauta rombongan sebagai bendahara dan orang ini tidak dapat mengelak lagi karena gerakan pengemis itu benar-benar cepat sekali.
Bukan main marahnya rombongan Kim-gan-sai dan orang-orang yang tadinya menonton, cepat-cepat menyingki karena maklum bahwa tentu akan terjadi keributan hebat. Semua orang kini mencurahkan perhatian mereka kepada tiga orang pengemis aneh itu. Keadaan mereka benar-benar aneh. Perampas ang-pauw tadi bertubuh kurus jangkung, bermuka kuning dan biarpun pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi terbuat dari kain yang baru semua!
Demikian juga dua orang kawannya memakai pakaian penuh tambalan, yang seorang kurus kecil seperti orang cacingan, yang kedua bertubuh gemuk dan bundar seperti katk dan mulutnya selalu tersenyum lebar.
Ketika Lie Bu Tek ikut memandang, menjadi tertegun dan heran.
"Hemm, mereka ini dari Hek in-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Sabuk Hitam), mengapa muncul di sini?" pikirnya.
Sementara itu, pengemis kurus yang meraumpas ang-pauw, lalu membuka bungkusan itu dan memberi dua tail kepada Pek-bwe-sai dan Ang-bwe-sai, katanya tertawa, "Gan-wangwe telah berbaik hati mengganti kerugian kalian, nah, terimalah bagian kalian dan segera pergilah. Sisanya yang satu tail untuk kami jembel-jembel miskin." Dua rombongan yang barongsainya rusak, menerima dengan takut-takut, akan tetapi mereka tahu diri dan cepat-cepat pergi dan tempat itu. Hanya sebagian yang tabah saja diam-diam mencampurkan diri dengan penonton untuk mengetahui bagaimana kelanjutan pertengkaran itu.
Tiat-sai Lee Kan Sek menjadi merah mukanya. Alisnya berdiri dan giginya dikerutkan. Kalau tadi ia tidak segera turun tangan, adalah karena ia mengenaI pula pengemis-pengemis yang pada pinggangnya diikat sabuk hitam. Ia menjura kepada Si Jangkung sambil berkata, "Tuan-tuan dari Hek-in-kaipang mengapa mencampuri urusan permainan barongsai? Kalau Cuwi hendak mencari nafkah di saat tahun baru ini, mengapa tidak mengambil jalan lain?" Pengemis jangkung itu tertawa. "Sudah lama kami mendengar nama perkumpulan Bu-cin-pang di kota Keng-sin-bun yang tersohor galak dan mempunyai banyak pengurus yang gagah perkasa.
Bahkan sudah lama kami kagum akan nama ketuanya, yakni Ma Ek Lo-eng-hiong yang berjuluk Siang-pian Giam-ong (Raja Maut Bersenjata Sepasang Pian). Akan tetapi tidak tahunya pada hari baik ini kami menyaksikan perbuatan yang amat galak dari Bu-cin-pang.
Perbuatan sewenang-wenang, tapi apakah tanggung jawab Bu-cinpang ataukah kau orang she Lee yang sengaja hendak membusukkan nama Bu-cin-pang dan memperlihatkan kegagahan?" Thiat-sai Lee Kan Sek marah sekali, mukanya yang sudah merah itu menjadi makin merah, matanya mendelik.
"Kalau aku orang she Lee memandang muka Nona Kiang Cun Eng yang menjadi Pangcu (Ketua) Hek-in-kaipang, apa kalian kira aku dapat menahan sabar lagi? Hai, orang-orang Hek-in kaipang!
Kalau kalian perlu sumbangan, tidak apa uang lima tail emas itu kalian ambil, akan tetapi jangan kalian menghina nama Bu-cin-pang!
Hinaan harus dibayar dengan pukulan kecuali kalau si penghina minta maaf sambil berlutut. Pilih saja sekarang, minta maaf atau dihajar?" Pengenns jungkung itu tertawa terbahak-bahak.
"Aku Hek-lo-kai (Pengemis tua Hitam) selamanya memang menjadi pangemis, akan tetapi minta maaf kepada seorang pencoleng? Aha, hal ini selamanya aku tidak pernah dan tak sudi lakukan! Bagaimana dengan kalian!" Ia bertanya kepada dua orang kawannya.
"Pengemis makan pun dari seorang pencoleng aku Siauw-mo-kai (Pengemis Setan Cilik) tak sudi lakukan, apalagi minta maaf?" jawab pengemis yang bertubuh kurus kecil.
"Ha, ha, ha, perutku penuh makanan dari orang-orang yang menaruh hati kasihan kepadaku. Akan tetapi aku belum pernah minta apa-apa dari pencoleng, apalagi minta maaf, jangan harap Oei-bin-kai (Pengemis Muka Kuning) sudi lakukan!" jawab pengemis gendut yang memang bermuka kuning itu sambil tertawa-tawa.
"Kurang ajar, kalau begitu kalian sudah bosan hidup!" bentak Tiat-sai Lee Kan Sek dan di lain saat ia telah mencabut sebatang golok besar sambil memberi tanda kepada kawan-kawannya.
Sebentar saja tiga orang pengemis itu sudah dikurung oleh sebelas orang Bu-cin-pang yang memegang senjata tajam. Akan tetapi tiga orang pengemis itu tidak gentar biarpun mereka hanya memegang sebatang tongkat hitam yang tidak karuan macamnya, ada yang bengkok-bengkok ada yang lurus.
"Serang!" Lee Kan Sek memberi aba-aba sambil menerjang pengemis jangkung dengan goloknya. Hek-lo-kai menangkis dan membalas dengan totokan tongkatnya. Ternyata ia lihai sekali dan begitu menangkis dapat membalas serangan lawannya. Akan tetapi Lee Kan Sek juga lihai ilmu goloknya, cepat dapat menangkis dan terus membabat. Kawanan Bu-cin-pang sudah serentak maju dan terjadilah pertempuran yang hebat dan mato-matian. Suara senjata beradu dengan tongkat menerbitkan suara nyaring, tanda bahwa ternyata tongkat-tongkat itu pun terbuat daripada logam keras seperti baja.
Gan-wangwe cepat memasuki gedungnya, mempersiapkan orang-orangnya untuk menjaga pintu depan, sedang dia sendiri lalu naik ke loteng untuk menonton pertempuran itu dari atas. Orangorang yang tadi mengerumuni tempat itu lalu bubar dan hanya menonton dari jauh dengan hati berdebar-debar. Kalau pertempuran sudah demikian hebat berarti akan ada nyawa melayang dan tentu saja mereka merasa ngeri. Hanya Lie Bu Tek memondong Wan Sin Hong masih berdiri tenang.
"Gihu, aku benci pemain-pemain barongsai itu. Mereka orangorang jahat. Mengapa Gi-hu tidak membantu para pengemis yang dikeroyok?" kata Sin Hong penasaran.
"Tak perlu, Kepandaian tiga orang pengemis Hek-kin-kaipang itu tak boleh dibuat main-main dan mereka tak kan kalah kalau hanya dikeroyok oleh sebelas orang itu," Jawab Lie Bu Tek dan melihat pada pengemis anggauta Hek-in-kaipang itu teringatlah ia akan semua pengalamannya dahulu dengan Nona Kiang Cun Eng, ketua dari Hek-kin-kaipang yang cantik dan genit. Tak terasa lagi merahlah mukanya saking malu dan jengah. Di dalam cerita Pendekar Budiman (Hwa I Enghiong) telah diceritakan, bagaimana Lie Bu Tek pernah terjatuh dibawah pengaruh kecantikan Kiang Cun Eng dan menjadi seorang tak berdaya, dipermainkan seperti boneka. Baiknya akhirnya ia dapat melepaskan diri dari pengaruh Nona Ketua Perkumpulan Hek-kin-kaipang itu. Sekarang tak terduga-duga ia bertemu dengan anggauta-anggauta Hek-kinkaipang, tentu saja semua pengalaman itu terbayang kembali dan ia merasa malu kepada diri sendiri.
Akan tetapi ucapan Lie Bu Tek tadi ternyata tidak keliru.
Kepandaian tiga orang pengemis itu benar-benar lihai. biarpun dikeroyok oleh sebelas orang, mereka tidak terdesak, bahkan berturut-turut telah berhasil merobohkan enam orang! Yang masih dapat mengimbangi kepandaian mereka hanya Tiat-sai Lee Sek dan empat orang kawannya, akan tetapi Singe Besi ini dengan kawankawannya juga sudah mulai terdesak oleh permainan tongkat yang lihai dari tiga orang pengemis itu.
Pada saat pertempuran sedang ramai-ramainya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi kurus yang bermuka pucat. Laki-laki memandang marah dan membentak, "Berhenti! Tahan semua senjata!" Bagi Lee Kan Sek dan kawan-kawannya yang mengenal suara ini sebagai suara ketua mereka, tentu saja tidak berani membantah dan cepat melompat ke belakang, Adapun tiga orang pengemis itu pun terkejut karena bentakan nyaring sekali, tanda bahwa orangnya memiliki lweekang yang tinggi. Mereka cepat melompat mundur dan memandang. Orang itu mengeluarkan kata-kata yang tegas.
"Selamanya Bu-cin-pang tidak pernah ada urusan dengan Hekkin- kaipang. Pada hari baik ini mengapa orang Hek-kin-kai-pang sengaja menghina kami? Apakah orang Hek-kin-kaipang sudah tidak memandang mukaku lagi ataukah sengaja hendak mencari permusuhan?" Hek-lo-kai yang agaknya menjadi wakil dua orang kawannya, segera maju dan berkata. "Ma-lo-enghiong harap suka memaafkan kami bertiga. Sesungguhnya bukan kami yang " mencari permusuhan, tetapi karena kami melihat sepak-terjang orang she Lee dan kawan-kawannya amat jahat dan sewenang-wenang, terpaksa kami berlancang tangan, membantu Lo-enghiong untuk memperingatkan mereka. Harap Lo-enghiong suka menegur mereka itu agar mereka tidak menyeret nama Bu-cin-pang yang harum ke lembah pecomberan." Orang itu memang Siang-pian Ciam, Ma Ek, ketua Bu-cin-pang yang tadi menerima laporan dari seorang anak buahnya tentang peristiwa yang terjadi di depan gedung Gan-wanggwe. Mendengar pengemis tinggi itu bukan minta maaf atas kesalahan mereka akan tetapi sebaliknya menjelekkan nama baik para anggautanya, bahkan menyuruh ia menegur anggauta-anggautanya sendiri, bukan main marahnya. Kumisnya yang pendek itu seakan-akan berdiri dan sekali tangannya bergerak tahu-tahu ia telah memegang siang-pian (senjata ruyung lemas) yang arnanya kchijauan.
"Hm, hem, memang aku harus menegur mereka yang tidak punya guna, mudah saja terhina oleh tiga orang pengemis sombong. Biarlah aku yang akan menebus kebodohan mereka itu.
Sambutlah!" Tiga orang pengemis itu terkejut sekali ketika melihat dua sinar hijau menyambar. Mereka cepat mengangkat tongkat untuk menangkis.
"Krak! Krak! Krak!" tiga batang tongkat itu patah pada tengah tengahnya! Tiga orang pengemis itu menjadi terkejut sekali dan melompat mundur dengan muka pucat.
"Kami orang orang Hek-kin-kaipang hari ini menerima pelajaran dari Ma Ek Lo-enghlong dan mengaku kalah. Biar lain kali ketua kami akan datang menghaturkan terima kasih," kata Hek-lo-kai sambil menjura.
Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Siang-pian Giam-ong sudah melompat menghadapi mereka.
"Enak saja kalian ini, sudah menghajar orang-orangku akan angkat kaki dengan mudah! Agar ketuamu Nona Kiang Cim Eng percaya akan penuturanmu, kalian harus meninggalkan sebelah telinga di sini." Setelah berkata demikian, sepasang piannya bergerak cepat hendak menghancurkan sebelah telinga tiga orang itu.
"Traaang! Traaang!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pian itu beradu dengan sebatang pedang yang menangkis serangan dua senjata pian itu. Lie Bu Tek ketika melihat bahaya meugancam tiga orang pengemis itu, telah melemparkan tubuh Sin Hong ke atas lapangan pertempuran sedangkan ia sendiri lalu melompat dan menangkis sepasang pian itu.
Selagi Siang-pian Giam-ong yang kaget melompat ke belakang, Lie Bu Tek berseru keras.
"Turunlah, Hong-ji!" Tubuh Sin Hong tadi dilontarkan ke atas dan kini meluncur ke bawah dan Anak yang sudah terlatih baik ini dapat meluncur turun dengan kedua kakinya di bawah. Akan tetapi, melihat ayah angkatnya hendak menyambut kedua kakinya ia merasa kurang ajar sekali kalau ia membiarkan kedua tangan ayah angkatnya menerima telapak kakinya yang kotor. Maka dengan gerakan loh-be (semacam salto) atau poksai di tengah udara sehingga kini ia meluncur dengan kepala di bawah. Para penonton yang melihat hal ini menahan napas, khawatir kalau-kalau anak itu akan mendapat bencana. Akan tetapi dengan tenang Sin Hong menggunakan kedua tangannya ke bawah, diterima oleh kedua tangan Bu Tek yang sudah menancapkan pedang di atas tanah dan sekali gerakan tangan orang gagah ini membuat Sin Hong berjumpalitan dan tiba di atas tanah dalam keadaan berdiri tegak, sedikit pun tidak bergoyang atau kehilangan keseimbangan badan.
"Lie Bu Tek Taihiap...!" Hek-lo-kai mengenaI pendekar ini yang dulu pernah menjadi kekasih Kiang Cun Eng ketua Hek-kin-kaipang.
"Kalian pulanglah, biarkan aku menghadapi Bu-cin-pang dan mintakan maaf untukmu." kata Lie Bu Tek. Pertemuan dengan anggauta-anggauta Hek-kin-kai-pang tidak menyenangkan hatinya karena mengingatkan ia akan pengalamannya yang memalukan dengan ketua perkumpuim pengemis itu.
Hek-lo-kai dan kawan-kawannya menjura menghaturkan terima kasih, lalu berjalan pergi menyelinap di antara ratusan orang yang berkumpul di tempat itu.
Lie Bu Tek mencabut pedangnya dari tanah, lalu menjura kepada Siang-pian Giam-ong Ma Ek yang memandang dengan mata merah.
"Siang-pian Gian-ong Ma Ek Lo-enghiong siauwte Lie Bu Tek mohon dengan hormat, sukalah Lo-enghiong menghabiskan urusan ini sampai di sini saja dan suka memaafkan tiga orang tua dari Hekkin- kaipang itu. Mengingat akan hari baik ini, tentu Lo-enghiong sudi memandang muka siauwte dan memaafkan mereka." Siang-pian Giam-ong tahu bahwa orang yang menangkis siangpiannya ini memiliki kepandaian tinggi, maka ia berlaku hati-hati dan biarpun ia marah sekali, bertanya.
"Kau ini dan golongan mana dan murid siapakah berani mencampuri urusa Bu-cin-pang?" Kalau Bu Tek ingin mencari perkara, tentu ia takkan memperkenalkan perguruannya, akan tetapi oleh karena ia benarbenar mengharapkan perdamaian, ia lalu menjawab terus terang.
"Siauw te adalah anak murid Hoa-san pai. Sehingga kita boleh dibilang masih tetangga dekat. Sekali lagi, kalau Lo-enghiong tidak mau memandang muka siauwte, harap mengingat perhubungan dengan guruku, Liang GI Tojin." Mendengar bahwa Lie Bu Tek adalah anak murid Hoa-san-pai, Siang pian Giam-ong Ma Ek lalu tertawa bergelak dengan suara menghina sekali.
"Aha, tidak tahunya murid Hoa-san pai. Sudah lama aku mendengar murid-murid Hoa-san-pai banyak yang melakukan perbuatan memalukan. Saudara Lie Bu Tek, tidak tahu apakah benar berita-berita yang kudengar tentang anak murid Hoa-san-pai yang tidak tahu main? Kabarnya ada seorang murid perempuan yang telah menikah dengan seorang pangeran bangsa Kin. Menikah dengan pangeran musuh pada saat rakyat sedang berjuang matimatian mengusir bangsa Kin, benar-benar luar biasa sekali. Ada lagi yang selalu menimbulkan kerusuhan, memusuhi tokoh-tokoh dari lain partai persilatan, mengandalkan kepandaiannya sendiri."
"Ma-enghiong, harap kau jangan menghina kami orang-orang Hoa-san!" kata Lie Bu Tek menahan marahnya. TeIinganya sudah panas mendengar betapa perbuatan saudara-saudara seperguruannya dikecam demikian pedas.
"Siapa menghina aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya belaka, bagaimana dianggap menghina? Kaulah yang, menghina kami, kau berlancang mencampuri urusan kami. Sekarang aku percaya bahwa memang anak murid Hoa-san-pai sombongsombong.
Agaknya Liang Gi To-jin sudah tak dapat mengajar muridmuridnya lagi."
"Tutup mulutmu!" Lie Bu Tek membentak marah mendengar nama suhunya dibawa-bawa. "Tarik kembali omonganmu menghina Suhu, kalau tidak aku akan memaksamu!"
"Bocah sombong sambutlah siang-pian ku!" Sambil berkata Ma Ek tertawa mengejek. "Hendak kulihat bagaimana kehendak memaksaku?" demikian Ma Ek lalu menggerakkan kakinya maju dan mainkan siang-pian melakukan serangan hebat.
"Hong-ji, mundur kau!" seru Lie Bu Tek kepada putera angkatnya. Anak ini melompat mundur, akan tetapi tidak terlalu jauh karena ia ingin sekali melihat bagaimana ayah angkatnya memberi hajaran kepada manusia sombong itu. Sementara itu, dengan pedangnya, Lie Bu Tek menangkis datangnya siang-pia lalu membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Selama beberapa tahun ini, kepandaian Lie Bu Tek telah meningkat cepat karena segala pengalamannya yang sudah lalu mengingatkannya bahwa kepandaiannya masih amat rendah tingkatnya.
Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat memang indah dan cepat.
Sungguhpun sepasang pian di tangan Ma Ek bergerak cepat dan kuat, namun ia masih kalah kalau dibandingkan dengan Lie Bu Tek.
Pertempuran hebat terjadi dan beberapa kali terdengar suara nyaring kalau pedang bertemu dengan pian, dan bunga api berpijar ke sana ke mari. Dalam pertemuan senjata ini, Ma Ek selalu merasai tangannya tergetar dan piannya tertolak kembali. Memang Lie Bu Tek adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki tenaga lweekang paling tinggi. Ia langsung menerima latihan dari Liang Gi Tojin, tokoh pertama dari Hoa-san-pai.
Lie Bu Tek tahu bahwa kalau ia memperoleh kemenangan, akhirnya ia tentu akan dikeroyok oleh orang-orang Bu-cin-pang.
Pengeroyokan ini tentu saja tidak ia takuti kalau saja ia tidak mengingat bahwa ia berada di situ bersama Wan Sin Hong putera angkatnya. Kalau sampai terjadi pengeroyokan, tentu keselamatan puteranya itu akan terancam dan ia belum tentu dapat melindungi dengan baik.
"Lepaskan senjata!" Lie Bu Tek tiba-tiba berseru keras sambil mengerahkan seluruh tenaganya, menghantam pian kanan lawannya dengan pedang. Terdengar suara nyaring dibarengi pekik Siang-pian Giam-ong Ma Ek yang benar-benar tak dapat menahan hantaman ini dan pian di tangan kanannya telah terlepas dari pegangan!
Lie Bu Tek cepat menjura dan berkata, "Ma-lo-enghiong, harap maafkan sauwte dan terima kasih bahwa kau orang tua sudah mengalah!" Tanpa menanti jawaban lagi, Lie Bu Tek menyambar tubuh Sin Hong dengan tangan memondong anak itu dan melompat pergi cepat sekali.
Tepat seperti dugaannya, Ma Ek tidak mau sudah sampai di situ saja dan kalau sekiranya Lie Bu Tek tidak lekas-lekas lari tentu ia akan dikeroyok. Kini Ma-Ek hanya dapat menyambitkan tiga batang piauw ke arah punggung Lie Bu Tek. Pendekar ini sudah menduga akan hal itu, maka ia belum menyimpan pedangnya. Tanpa menoleh, ia menggerakkan pedang ke belakang dan berhasil menyampok runtuh tiga batang piauw itu. Di lain saat ia telah lenyap dan sebuah tikungan jalan dan cepat-cepat ia lari keluar kota, terus mempergunakan ilmu lari cepat mendaki Bukit Hoa-san.
"Gi-hu, kau menang mengapa melarikan diri?" tanya Wan Sin Hong dengan suara mengandung penasaran.
"Kalau tak lari mereka akan mengeroyokku, Hong-ji."
"Lebih balk lagi! Kau bisa menghajar semua buaya darat itu Gihu.
Membasmi penjahat harus sampai dengan akar-akarnya.
Lie Bu Tek tersenyum. Kata-kata yang diucapkan oleh Sin Hong ini adalah kata-katanya sendiri yang pernah diajarkan kepada anaknya itu. Memang Lie Bu iek telah banyak menjejalkan sifat-sifat pendekar kepada anaknya ini dan ternyata bahwa otak anak ini luar biasa tajamnya, dapat mengingat setiap pelajaran, baik pelajaran bun maupun bu.
"Mereka belum tentu penjahat-penjahat yang harus dibasmi, Hong-ji. Keributan yang baru saja terjadi hanya disebabkan oleh persoalan kecil belaka, tak perlu menanam bibit permusuhan hebat karena persoalan kecil."
"Akan tetapi Ma Ek tadi telah menghina Hoa-san-pai seperti yang Gi-hu katakan sendiri! Penghinaan bukanlah kecil. Dia mengatakan fitnah yang keji-keji terhadap anak murid Hoa-san-pai!"
"Bukan fitnah Hong-ji, memang yang ia katakan tadi semua betul dan pernah terjadi."
"Apa? Murid perempuan Hoa-san-pai menikah dengan pangeran bangsa Kin? Tak mungkin! Bukankah menurut Gi-hu, semua murid Hoa-san-pai membantu perjuangan mengusir orang-orang Kin? Betulkah itu? Murid Hoa-san-pai yang mana yang telah menikah dengan pangeran bangsa Kim?" Lie Bu Tek menahan napas. Apa yang harus ia jawabkan? Anak ini sudah mulai besar dan telah dapat mempergunakan akal budi dan pikirannya. Lebih baik ia berterus terang. Ia lalu menurunkan anak itu dan mengajaknya duduk di bawah pohon.
"Jangan kau kaget Hong-ji. Murid perempuan yang menikah dengan Pangeran Kim itu bukan lain adalah mendiang ibumu sendiri, Thio Ling In sumoi!" Sin Hong melompat berdiri seperti diserang ular. Wajahnya yang tampan Menjadi pucat sekali dan matanya memandang kepada Lie Bu Tek seperti memandang iblis yang muncul di tengah hari.
"Gihu... kalau begitu... kalau begitu mendiang ayahku... dia...." Lie Bu Tek mengangguk. "Mendiang ayahmu adalah pangeran Kin itulah, namanya Wan-yen Kan dan telah menikah dengan Ibumu, menjadi Wan Kan dan menjadi seorang Han."
"Tak mungkin! Gi-hu bilang bahwa orang-orang Kin jahat. Tak mungkin orang Kin jahat menjadi Ayahku!" Anak ini mengeluarkan kata-kata sambil berteriak-teriak marah, mukanya merah sekali sekarang dan dua titik air mata mengalir ke atas pipinya, dua tangannya yang dikepalkan erat-erat.
Lie Bu Tek menangkap tangan anak itu dan menariknya ke atas pangkuannya lalu ia mengelus-elus rambut itu penuh kasih sayang.
"Tidak semua orang Kin jahat, anakku, seperti juga tidak semua bangsa kita baik. Ada orang jahat tentu ada orang baik, demikian sebaliknya. Ayahmu, biarpun seorang pangeran Kin, namun ia benar-benar seorang gagah yang berbudi mulia. Kau tak usah kecewa atau malu mempunyai seorang ayah seperti dia, biarpun dia seorang pangeran musuh." Tak tertahankan lagi menangislah Wan Sin Hong di atas pangkuan ayah angkatnya.
"Hong-ji, tak baik seorang laki-laki menangis." kata Lie Bu Tek setelah ia membiarkan anak itu menangis beberapa lamanya.
Wan Sin Hong cepat menyapu matanya dengan ujung bajunya dan memandang kepada ayah angkatnya dengan mata memohon.
"Gihu, ceritakanlah semua tentang mendiang Ayah Bundaku, ceritakanlah tentang Hoa-san-pai dan anak-anak muridnya."
"Baiklah, Sin Hong. Kau akan kubawa menghadap kepada Sucouwmu, memang baik kalau kau mendengar tentang keadaan Hoa-san-pai agar kau tahu jelas segala persoalannya." Kemudian Lie Bu Tek menceritakan semua kejadian yang lalu sebagaimana yang telah dituturkan di dalam cerita "Pendekar Budiman". Akan tetapi bagi para pembaca yang belum pernah membaca cerita Pendekar Budiman, baiklah kita rnendengarkan penuturan singkat dari Lie Bu Tek.
"Tokoh Hoa-san-pai ada empat orang." Lie Bu Tek mulai bercerita, "Pertama adalah guruku sendiri yakin Liang Gi Tojin, ke dua Liang Bi Suthai yang sudah gugur dalam pertempuran. Liang Bi Suthai seorang murid wanita, yakni Thio Ling In sumoi."
"Ibuku?" tanya Sin Hong.
"Ya, Ibumu. Tokoh ke tiga adalah ang Siang Tek Sianseng yang mempunyai murid Gan Hok Seng sute."
"Kau maksudkan Paman Hui-houw (Macan Terbang) yang tinggal di Kanglam?"
"Benar, dialah Hui-houw Gan Hok Seng yang sekarang menjadi kepala Piauwsu di Kanglam. Kemudian, tokoh ke empat adalah Tan Seng. Dia ini membawa seorang anak perempuan bernama Liang Bi Lan yang kemudian menjadi murid dari semua tokoh Hoa-san, memiliki kepandaian paling tinggi, bahkan kemudian menjadi murid orang pandai dan akhirnya menikah dengan pendekar besar Go Ciang Le."
"Apakah kau maksudkan Hwa I Enghiong (Pendekar Baju Kembang))"
"Benar dia. Sayang sudah lama aku tidak bertemu dengan dia dan lebih sayang lagi kau belum pernah melihatnya. Dialah pendekar yang sudah menggemparkan dunia kang-ouw beberapa tahun yang lalu. Kelak tentu aku akan membawamu menghadap pendekar besar itu, karena kalau kau bisa menerima bimbingan ilmu silat dari dia, kau akan beruntung sekali."
"Lalu bagaimana dengan Ibuku? Bagaimana dia bisa menikah dengan seorang pangeran Kin?"
"Pada masa itu, kami semua anak murid Hoa-san pai berjuang untuk menggulingkan pemerintah Kin. Akan tetapi ibumu bertemu dengan seorang pemuda, yakni Ayahmu yang pada waktu itu mempergunakan nama Han yakni Wan yen Kan. Dalam pertemuan ini mereka saling mencintai. Ibumu sama sekali tidak tahu bahwa Wan Kan adalah Pangeran Wanyen Kan. Setelah mereka menikah, barulah Ibumu tahu. Hampir saja ayahmu dibunuh oleh Ibumu sendiri, akan tetapi baiknya cinta kasih mereka terlalu mendalam sehingga hal itu tidak pernah terjadi." Lie Bu Tek menarik napas panjang dengan terharu sekali mengenangkan nasib sumoinya yang ia cintai itu.
"Memang Ayah salah! Mengapa tidak secara laki-laki mengaku bahwa dia seorang pangeran Kin? Dia mcnipu Ibu"
"Tidak boleh kau berkata demikian, Hong-ji. Ayahmu benar-benar seorang baik dan biarpun dia pangeran Kin, namun ia tidak suka akan pemerintahnya sendiri. Oleh karena itulah maka ia rela meninggalkan kedudukan sebagai pangeran, hidup sebagai orang biasa menikah dengan lbumu. Bahkan ia boleh dibilang diusir oleh kaisar karena nekad hendak mengawini seorang wanita Han. Namun Ayahmu lebih memberatkan Ibu mu dari pada kedudukan dan harta benda. Dia seorang mulia!" Untuk beberapa lama keduanya berdiam diri. Di dalam hati Sin Hong, kalau tadi ia membenci ayahnya, kini diam-diam merasa bangga karena ayahnya dipuji-puji oleh ayah angkatnya.
"Mengapa kemudian Ayah Bunda mati Gi-hu? Mereka tentu masih muda mengapa mati keduanya?" Lie Bu Tek menarik napas panjang, masih berduka kalau mengingat akan keburukan nasib Thio Ling In, sumoinya yang amat dicintainya itu.
"Ayahmu dibunuh oleh gurunya sendiri yang bernama Ba Mau Hoatsu. Ibumu juga."
"Mengapa, Gi-hu? Mengapa Ba Mau Hoatsu membunuhi muridnya sendiri?"
"Ba Mau Hoatsu termasuk seorang pembela pemerintah Kin dan memusuhi para pejuang rakyat. Melihat muridnya yang sebetulnya seorang pangeran Kin telah lari menyeberang, yakni menikah dengan seorang wanita pihak musuh. Ba Mau Hoatsu menjadi marah dan juga merasa malu. Oleh karena itu, ketika kau masih berusia setahun. Ba Mau Hoatsu datang ke rumah orang tuamu dan membunuh mereka. Baiknya kau sedang keluar bersama inang pengasuh sehingga kau terluput daripada bahaya maut." Sampai lama anak itu diam saja, tangannya terkepal dan matanya mengeluarkan sinar. Kemudian ia berkata, "Gi-hu pada suatu hari, aku pasti akan dapat menewaskan Ba Mau Hoatsu itu untuk membalas dendam Ayah-bundaku." Suaranya tenang dan tetap, biarpun diucapkan oleh anak kecil, namun mendatangkan keseraman.
"Bagus kalau kau mempunyai pikiran demikian, Nak. Akan tetapi kau harus belajar ilmu silat sampai tinggi. Harus jauh lebih tinggi darit kepandaianku, malah lebih tinggi daripada kepandaian Sucouwmu, karena ilmu kepandaian dari Ba Mau Hoatsu amat lihai.
Hanya Tayhiap (Pendekar Besar) Go Ciang Le dapat mengalahkannya, oleh karena itu kalau saja kau dapat menghadapi Ba Mau Hoatsu." Mendengar ini Sin Hong kecewa dan mengerutkan kening.
"Begitu lihaikah Ba Mau Hoatsu? Pantas saja Ayah dan Ibu kalah dan tewas. Gi-hu, kalau dia lebih lihai daripada Gi-hu atau Sucouw, habis untuk apakah Gi-hu membawaku ke Hoa-san-pai?"
"Sin Hong, biarpun tingkat kepandaian Ba Mau Hoatsu amat tinggi dan memang dia akan dapat mcngalahkan Sucouwmu, akan tetapi, kepandaian Sucouwmu juga hebat. Untuk tingkat pertama kau cukup menerima pelajaran daripadaku kemudian kau menerima pula petunjuk-petunjuk dan Sucouwmu. Selain daripa itu Ayah Bundamu dahulu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian bun di bu, apalagi Ayahmu. Maka kau pun harus menjadi seorang yang pandai ilmu silat dan ilmu surat. Di Puncak Hoa-san-pai. Masih ada Liang Gi Tojin yang dapat melatih ilmu silat padamu, Juga ada Paman Guruku, yakni Liang Tek Sianseng, seorang sasterawan yang pandai. Dari Susiokku (Paman Guruku) inilah kau menerima pelajaran ilmu surat." Girang hati Sin Hong mendengar bahwa ia akan menjadi murid Hoa-san-pai. Bagaimanapun juga, ia telah melihat sepak terjang ayah angkatnya dan merasa kagum. la menganggap Lie Bu Tek gagah perkasa dan ia pandai, maka kalau ia menjadi murid dan Liang Gi Tojin, tentu ia akan menerima pelajaran ilmu-ilmu silat yang hebat. Apalagi di sana ada Liang Tek Sianseng yang akan mengajarnya tentang kesusasteraan, gembira hatinya.
"Kalau begitu, hayo kita melanjutkan perjalanan, Gi-hu!" Lie Bu Tek dan Sin Hong melanjutkan perjalanan mereka mendaki Bukit Hoa-san. Karena pemandangan alam di pegunungan itu amat indahnya, Sin Hong merasa senang sekali. Beberapa kali mereka berhenti di jalan untuk menikmati tamasya alam. Lie Bu Tek yang sudah beberapa tahun tinggal di pegunungan ini ketika ia belajar di Hoa-san-pai, menunjukkan tempat-tempat yang indah kepada anak angkatnya.
"Di lereng depan itu terdapat tanah datar yang amat baik untuk berlatih silat. Dahulu aku dan Ibumu, juga saudara saudara seperguruan lain sering kali berlatih ilmu silat di situ." Sin Hong tertarik. "Mari kita ke sana, Gi-hu."
Komentar
Posting Komentar