PEDANG PENAKLUK IBLIS JILID 12

HUI Lien baru beberapa kali mengadakan perjalanan dengan ayah bundanya di daratan Tiongkok, itu pun hanya ketika ia masih belum dewasa dan semua gerakannya terbatas. Kini ia telah dewasi, telah berusia delapan belas tahun dan di samping suhengnya, ia merasa sudah dapat kekuatan sendiri. Oleh karena itu, ia merasa amat gembira melakukan perjalanan jauh ini dan kesedihannya karena harus berpisah dari ayah bundanya, perlahan-lahan mengurang.

Kong Ji juga tidak bodoh. Pemuda ni pandai sekali mengambil sikap dan dia tetap memperlihatkan kasih sayang dan sopan-santun bagaikan seorang kakak seperguruan terhadap adiknya, sungguhpun beberapa kali ia memperlihatkan sikap dan mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaannya sehingga gadis itu mengerti bahwa suhengnya benar-benar cinta kepadanya, bukan hanya cinta seorang kakak terhadap adik seperguruan, melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap seorang wanita. Namun Hui Lian yang masih bersifat kanak-kanak itu seakan-akan tidak merasa atau tidak tahu, dan sikapnya tetap lincah jenaka, tidak ada perubahan sama sekali.

Tentu saja Kong Ji sama sekali tidak mengira bahwa di dalam kepala Hui Lian yang cantik jelita itu, tersembunyi kecerdikan ayah bundanya. Ketika malam hari itu ia diajak pergi oleh Kong Ji hatinya memberontak dan perasaannya tidak mengijinkan ia pergi meninggalkan ayah bundanya begitu saja. Akan tetapi, ketika mendengar suara panggilan Soan Li, tiba-tiba ia melihat sikap Kong Ji berubah.

"Sumoi, kautunggu dulu di situ, biar aku yang menghadapi Suci," kata Kong Ji yang cepat meloncat untuk menyambut kedatangan Soan Li. Gadis ini merasa curiga sekali dan diam-diam ia memutar otaknya. Ia memang jujur dan ia percaya penuh bahwa suhengnya itu se-orang yang bersemangat gagah dan baik budinya, akan tetapi kini ia mulai menaruh hati curiga.

"Suheng memang mempunyai sikap yang agak aneh," pikirnya sambil mengenang segala peristiwa yang baru terjadi, "dia pandai ilmu bahkan lebih tinggi dari aku atau Suci, akan tetapi merahasiakan semua kepandaiannya itu, bahkan terhadap Ayah ia berlaku pura-pura bodoh. Kemudian ia berkeras hendak mempelajari Pak-kek Sin--ciang, benar-benar sikapnya aneh sekali.

Lebih baik aku menyelidiki dan kebetulan ia mengajak aku pergi melakukan tugas membasmi musuh-musuh besar, alangkah baiknya kalau aku ikut dan diam-diam memperhatikan semua sepak terjangnya. Kalau ia memang baik dan Suci yang salah sangka, berarti aku menjadi saksi akan kebaikannya itu, dan sebaliknya kalau ternyata ia berbahaya dan jahat, mudah aku turun tangan"" Demiklanlah, Hui Lian mengambil keputusan untuk ikut dengan Kong Ji. Dengan adanya perasaan ini di hati Hui Lian maka biarpun luarnya kedia orang muda ini kelihatan akur sekalI, namun mereka menyimpan suara hati dan rahasia masing-masing.

Akan tetapi, di sepanjang perjalanan itu, selama berpekan-pekan sampai berbulan-bulan, Kong Ji selalu memperlihatkan sikap yang amat baik dan tidak ada tanda-tanda bahwa ia mempunyai niat jahat. Setiap kali bermalam di sebuah kota, mereka selalu menyewa dua buah kamar di rumah penginapan dan tak pernah pemuda itu memperlihatkan sikap tidak sopan.

Akan tetapi terjadilah hal-hal di luar tahunya Hui Lian. Gadis ini merasa heran ketika pada suatu pagi, setelah mereka meninggalkan kota di mana mereka menginap dalam sebuah hotel, tahu tahu pemuda itu mempunyai sekantong uang emas.

"Suheng, dari mana kau mendapatkan uang begitu banyak?" tanyanya terheran-heran.

Kong Ji tersenyum. "Malam tadi aku tidak dapat tidur, Sumoi, dan melihat kamarmu sudah gelap dan sunyi, aku tidak berani mengganggu dan keluar seorang diri untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat. Ketika aku sedang berjalan di bagian yang sunyi, tibatiba aku melihat berkelebatnya bayangan hitam atas genteng. Aku bercuriga dan cepat mengejarnya. Dia itu seorang yang memakai kedok hitam dan membawa pedang. Ternyata dia seorang maling yang pandai, maka aku lalu membekuknya, mengancam agar dia tidak melakukan pencurian lagi. Ia tunduk kepadaku dan sebagai tanda takluk, ia menyerahkan kantong ini kepadaku." Kong ji tertawa gembira. "Kebetulan sekali karena memang kita membutuhkan bekal dalam perjalanan ini."

"Akan tetapi uang itu uang curian, Suheng!"

"Belum tentu, dan kalau sekiranya memang betul demikian, bukan kita yang mencurinya. Misalnya ini uang curian, tentu yang kecurian seorang hartawan besar yang takkan terasa diambil hartanya hanya sekian ini. Bukankah sudah biasa para pendekar perantau kalau kekurangan bekal suka mengambil dari milik hartawan yang jahat?" Hui Lian tidak berkata apa-apa lagi hanya ia merasa menyesal mengapa tidak ikut menghadapi peristiwa itu. Baiknya mereka pagipagi sudah meninggalkan kota, kalau tidak tentu Hui Lian akan mendengar kabar yang menggegerkan, bahwa semalam rumah seorang hartawan didatangi penjahat yang selain mengambil uang emas hartawan itu juga mengambil nyawa hartawan itu tanpa alasan. Kalaupun ia mendengar berita ini, tentu tidak akan mengira bahwa yang membunuh dan mencuri uang itu sebetulnya adalah Kong Ji sendiri.

Apakah sebenarnya yang terjadi? Memang Kong Ji keluar dari kamarnya, mempergunakan kepandaiannya untuk berjalan di atas rumah-rumah orang, dan tiba-tiba ia melihat sinar terang di rumah seorang hartawan. Rumah itu besar dan indah dan lapat-lapat terdengar suara nyanyian wanita diiringi oleh tetabuhan yang merdu. Kong Ji tertarik lalu mengintai dari atas genteng yang tinggi sekali. Kiranya hartawan yang sudah setelah tua itu sedang menghibur diri di atas loteng dihibur oleh isteri-isterinya yang lima orang jumlahnya. Isteri-Isteri inilah yang bernyanyi dan menabuh gamelan.

Entah mengapa, tiba-tiba Kong Ji merasa iri hati dan benci kepada hartawan itu, kebencian yang timbul dalam hatinya tanpa sebab-sebab yang ia ketahui. ia hanya benci sekali melihat kesenangan yang dimiliki oleh hartawan itu, apalagi kalau memikirkan nasib sendiri yang semenjak kecil tidak pernah mengalami kesenangan sama sekali. Menurutkan perasaan yang timbul tiba tiba Kong Ji melayang turun, tanpa banyak cakap ia memukul kepala hartawan itu dengan kepalan tangan sehingga tanpa dapat berteriak lagi hartawan itu roboh binasa dengan kepala pecah. Kemudian, entah apa yang menyebabkannya, Kong Ji mencabut pedangnya, digerak-gerakan di sekitar leher lima orang wanita yang tadi menghibur hartawan itu. Karuan saja para wanita yang sudah merasa ngeri melihat pembunuhan itu, kini menjadi ketakutan sampai mereka roboh pingsan, karena mengira, bahwa si pedang itu akan menebas leher merekai Kon Ji tertawa bergelakgelak merasa lucu sekali, kemudian ia memeriksa ke dalam kamar hartawan itu dan menggondol pergi sekantong uang emas.

Memang semenjak kecil, di dalam diri Kong Ji mengalir watak yang amat aneh yang membikin dia seakan-akan merasa gembira dan senang sekali kalau melihat orang mengalami penderitaan.

Akan tetapi ia dapat menyembunyikan perasaan yang ganjil ini dengan selimut sikap yang sewajarnya, bahkan sikap seorang yang amat baik hati. ia dapat menangis tersedu sedu, dapat bicara halus dan lemah lembut, dan dapat kelihatan terharu dan sebagainya.

Namun di lubuk hatinya, selalu terkandung perasaan iri hati dan dengki melihat orang lain bahagia dan selalu ia rindu akan penglihatan menyedihkan yang menimpa diri orang lain.

Perasaannya terhadap Soan Li, yang sudah menarik hatinya, yang membuat rindu dan tergila-gila, dan selalu ditahan-tahannya, mendatangkan penyakit lain dalam lubuk hatinya. Mendatangkan atau membangkitkan nafsu buruk, nafsu hewani dan yang membuat ia mempunyai watak seperti orang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga). Oleh karena itu, di waktu malam, kalau Hui Lian yang tidak menyangka sesuatu sudah pulas di dalam kamarnya sendiri, pemuda ini pergi pada tengah malam dan kembali menjelang fajar.

Dan pada keesokan harinya, tentu ada kehebohan di dalam kota atau dusun itu karena seorang wanita cantik kedapatan tewas atau membunuh diri di dalam kamarnya sendiri!

Namun Hui Lian sama sekali tidak tahu akan hal ini dan masih mengira bahwa suhengnya itu bukanlah seorang jahat sebagaimana sangkaan Soan Li. Sampai pada suatu malam terjadi hal yang menimbulkan kecurigaan hati gadis itu.

Ketika itu, mereka telah tiba di kota Keng-sin-bun di kaki Bukit Mao-san. Ketika hendak memasuki pintu kota itu, mereka berdua bertemu dengan serombongan orang berkuda dan ternyata bahwa mereka itu adalah serombongan piauwsu (pengantar barang) yang sedang mengawal sebuah kereta. Di dalam kereta itu kelihatan dari balik tirai, kepala seorang wanita muda yang cantik bersama seorang laki-laki yang dari pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang pembesar. Rupa-rupanya mereka baru saja meninggalkan Keng-sin-bun dan hendak pergi jauh dan agaknya mereka membawa barang-barang berharga pula, buktinya piauwsu yang mengawal mereka sampai belasan orang jumlahnya.

Hui Lian tidak begitu memperhatikan mereka, akan tetapi tibatiba ia tertarik sekali oleh gerakan tangan Kong Ji yang seakan-akan melambaikan tangannya ke arah kuda. Terjadilah hal yang menimbulkan keributan karena dua ekor kuda yang menarik kereta itu tiba-tiba meringkik dan berjingkrak-jingkrak! Pengemudi kereta mencoba untuk menarik kendali kuda dan menenangkan sepasang binatang yang mengamuk itu, namun sia-sia, bahkan kuda-kuda itu lalu kabur tak terkendalikan lagi! Pembesar dan isterinya yang berada di kereta berteriak-teriak minta tolong, sedangkan belasan orang piauwsu itu lalu membedal kuda mengejar.

Hui Lian tadinya masih duduk di atas kudanya dengan bengong karena ia masih belum tahu apakah yang terjadi, akan tetapi tibatiba ia menjadi pucat ketika ia melihat wajah suhengnya, Kong Ji seperti orang tertawa bergelak-gelak, mulutnya terbuka dan bergerak-gerak, matanya bersinar-sinar akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya. Melihat keadaan suhengnya ini berdirilah bulu tengkuk Hui Lian. Muka suhengnya begiu berubah pada saat itu sehingga ia tentu takkan mengenalnya kalau tidak yakin betul bahwa pemuda yang kini mukanya demikian mengerikan adalah Kong Ji.

Sementara itu, kereta yang dibawa kabur oleh kuda-kuda yang marah itu mulai miring dan hampir terguling. Hui Lian melihat ini lalu membedal kudanya dengan cepat sekali. Ia melalui beberapa orang piauwsu, kemudian setelah dekat dengan kereta, secepat kilat Hui Lian meloncat. Sekali loncatan saja sudah berdiri di tempat pengemudi yang sedang duduk dengan muka pucat memegangi kendali tanpa berdaya lagi. Hui Lian merampas kendali, mempergunakan lweekangnya yang disalurkan pada kendali-kendali itu, menycntak kuda dan sepasang kuda itu tak dapat menahan tenaga hebat ini. Mereka terpaksa menghentikan larinya dan mengangkat kaki depan tinggi-tinggi, mengeluarkan suara meringkik-ringkik dan keringat mereka membasahi punggung dan paha.

Para piauwsu cepat-cepat membuka pintu kereta dan menolong bangsawan dan isterinya turun dari kereta, sedangkan piauwsupiauwsu lain lalu memegang kendall, kuda di dekat hidung. Hui Lian meloncat turun dan ketika ia menghampiri kuda, ia menjadi kaget bukan main. Ternyata bahwa pada leher kuda itu kelihatan tandatanda menghitam. Tanda ini hanya dapat didatangkan oleh pukulan Tin-san-kang yang hebat.

Suami isteri bangsawan itu menghampiri Hui Lian dan hendak menjatuhkan diri berlutut, namun Hui Lian memegang tangan wanita cantik tadi dan berkata, "Sudahlah, tak perlu banyak melakukan sungkan. Lebih baik suruh orang mengganti kuda dan melanjutkan perjalanan." Akan tetapi, melihat isterinya pucat dan menggigil ketakutan setelah mengalami peristiwa tadi, pembesar yang usianya sudah tua itu berkata, "Tak usah diteruskan sekarang. Perjalanan ditunda dan mari kita bermalam di Keng-sin-bun menghilangkan kekagetan." Para piauwsu memandang kepada Hui Lian dengan penuh kekaguman. Seorang di antara mereka, yang tertua dan yang membawa golok di pinggangnya, menjura dan berkata, "Lihiap sungguh mengagumkan sekali. Kami berterima kasih atas pertolongan Lihiap. Kami adalah piauwsu-piauwsu dari Bu-cin-pang dan bolehkah kami mengetahui nama Lihiap yang t mulia?" Sebelum Hui Lian menjawab, Kong Ji sudah membalapkan kudanya menghampiri tempat itu sambil berkata, "Ha, aku mendengar bahwa Bu-cin-pang adalah perkumpul orang-orang gagah, tidak tahunya yang mengawal kereta ini hanya gentonggentong kosong belaka," ia berpaling kepada pembesar itu sambil berkata, "Taijin, kalau kau melakukan perjalanan jauh bersama puterimu, kalian akan mengalami bencana, karena pengawalpengawal ini sama sekali tidak becus!" Pembesar itu menjadi merah mukanya. Wanita muda yang cantik itu adalah isterinya, akan tetapi oleh Kong Ji disebut "puterimu"!

Akan tetapi, biarpun para piauwsu menjadi pucat dan marah sekali mendengar ejekan ini, Kong Ji tidak pedulikan mereka, bahkan lalu berkata kepada Hui Lian, "Sumoi, hayo pergi" Mendengar pemuda tampan itu menyebut "sumoi" kepada Hui Lian, para piauwsu terpaksa menahan marah mereka. Baru sumoinya saja demikian lihai apalagi suhengnya.

Adapun Hum Lian yang terheran-heran dan tidak senang atas sikap suhengnya, tidak mau bercekcok dengan Kong Ji di depan orang maka ia hanya mengagguk kepada mereka dan melompat ke atas kudanya menyusul Kong Ji.

"Suheng, mengapa kau begitu kasar terhadap mereka?" Kong Ji tersenyum manis ketika menoleh kepada Hui Lian dan gadis ini kembali teringat betapa jauhnya perbedaan wajah ini dengan tadi ketika kereta itu kabur. "Sumoi kaumaksudkan terhadap piauwsu-piauwsu tadi?"

"Ya, mereka tidak mengganggumu, mengapa kau menghina dan mengejek?"

"Sumoi yang baik, apakah kau tadi tidak mendengar bahwa mereka itu adalah piauwsu-piauwsu dari perkumpulan Bu-cin-pang?"

"Habis mengapa?"

"Ah, kau tidak mengerti, Sumoi. Ho-san-pai yang kelihatan dari sini itu yang menjulang tinggi di sana. Tahukah kau mengapa Hoasan- pai rusak binasa?" "Ya, sudah kudengar penuturanmu dari orang-orang Im-yang-bupai."

"Akan tetapi yang membawa naik orang-orang Im-yang-bu-pai adalah ketua dari Bu-cin-pang yang bernama Sian pian Giam-ong Ma Ek ini, atau lebih tepat perkumpulan Bu-cin-pang, pernah bentrok dengan Suheng Lie Bu Tek dan karenanya ketika orangorang Im-yan bu pai hendak menyerbu ke Hoa-san-pai. Ma Ek yang menjadi penunjuk jalan. Dengan demikian berarti bahwa Bu-cin-pai termasuk musuh-musuh dari Hoa-san-pai yang harus kuberi pengajaran. Inilah sebabnya mengapa aku tadi bersikap kasar terhadap mereka." Hui Lian menarik napas lega. Setelah mendengar ini, ia tidak dapat menyalahkan suhengnya karena memang sudah sepatutnya Bu-cin-pang dibalas untuk menebus dosa mereka terhadap Hoa-sanpai dan terutama sekali atas kematian Liang Gi Tojin dan terlukanya Lie Bu Tek.

Akan tetapi ia masih teringat akan pukulan Tin-san-kang kepada sepasang kuda itu, dan tentang perubahan air muka Kong Ji, maka sambil memandang kagum ia bertanya lagi, "Akan tetapi, apakah kesalahan pembesar dan isterinya yang duduk di dalam kereta?"

"Mereka mengapa""

"Suheng, jangan berpura-pura. Aku tahu bahwa kau memukul kuda-kuda itu dengan pukulanmu dari jauh." Kong Ji memang terkejut dalam hatinya, namun pada mukanya tidak terbayang sesuatu, bahkan ia tersenyum dan sepasang matanya berseri.

"Sumoi, kau benar-benar lihai dan matamu amat awas! Pukulan itu aku lakukan dengan sengaja karena hendak kupermainkan orang orang Bu-cin-pang itu. Aku takkan mencelakakan suami isteri itu, karena andaikata kau tidak turun tangan, aku tentu akan menolong mereka." Kembali alasan ini masuk di akal dan Hun Lian tentu akan merasa puas kalau saja tadi ia tidak melihat muka Kong Ji yang menyeramkan.

"Akan tetapi mengapa kau sengaja menyebut isteri bangsawan itu sebagai puterinya? Mengapa harus membuat diaI malu?" Kong Ji tertawa geli. "Sumoi, kaulihat. Bangsawan itu usianya sudah lima puluh tahun lebih, sedangkan isterinya masih begitu muda. ia tentu bukan seorang bangsawan yang baik. Siapa tahu ia adalah seorang di antara golongan bangsawan yang setelah melakukan korupsi besar-besaran, lalu melarikan diri bersama isterinya yang amat muda. Apa salahnya menggodanya agar ia tahu diri?" Mau tidak mau Hui Lian tersenyum mendengar ini. Kecurigaannya lenyap dan ia hanya masih merasa seram kalau mengingat perubahan wajah pemuda itu tadi.

Mereka masuk ke kota Keng-sin-bun dan menyewa dua kamar yang letaknya agak berjauhan, terhalang oleh dua taman yang sudah diisi oleh tamu lain. Dua orang saudara seperguruan ini lalu membersihkan diri dan memesan makanan. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara berisik di luar dan ternyata bahwa rombongan tadi telah memasukl pekarangan hotel.

"Cu-taijin telah datang kembali..." terdengar pelayan berseru.

Lalu terdengar suara pembesar itu. "Ya, kami akan bermalam di sini lagi untuk satu dua malam. Sediakan kamar yang bersih." Muncullah pembesar itu bersama isterinya yang muda dan cantik.

Melihat Kong Ji dan Hui Lian sedang duduk di depan meja makan, pembesar itu nampak gembira, akan tetapi ia mengelakkan pandang mata Kong Ji.

"Ah, Lihiap kau pun bermalam di sini?I" katanya gembira.

Hui Lian berdiri. "Taijin, harap kau berdua tidak banyak mengalami kekagetan." Tiba-tiba Kong Ji juga berdiri dan berkata, "Taijin, Hujin (Nyonya), mari makan bersama kami." Mendengar pemuda itu menyebut "hujin" kepada ‘jsterinya, pembesar itu hilang kemendongkolan hatinya dan ia menghampiri meja mereka sambil menuntun tangan isterinya.

"Ah, kebetulan sekali, kami pun belum makan. Apa? Kalian menjamu kami. Tak mungkin. Heei, pelayan! Lekas sediakan meja dengan lengkap, datangkan hidangan yang paling enak untuk empat orang" Pembesar itu lalu menarik tangan isterinya dan mengajaknya duduk di depan meja itu. Sikapnya amat ramah-tamah dan isterinya yang ternyata memang cantik itu tidak likat-likat lagi melihat keramahan Hui Lian kepadanya.

"Jiwi yang gagah, perkenalkanlah, aku adalah Cu Hian, tadinya menjadi Tihu di Kian-kang, akan tetapi sekarang sudah pensiun dan hendak kembali ke selatan bersama isteriku, hendak hidup tenteram di dusun menunggu sawah." ia tertawa puas. "Bolehkah kami mengenal nama jiwi yang gagah?"

"Aku Ta Kauw dan ini Sumoiku Bi Hoa" Kong Ji menjawab cepat sebelum Hui Lian menjawab. Diam-diam Hui Lian merasa geli sekali akan jawaban ini, Suhengnya benar-benar kadang-kadang suka berjenaka dan juga aneh. Menyebut diri sendiri dengan nama Ta Kauw (Pemukul Anjing), dan baiknya ia diberi nama Bi Hoa (Bunga Cantik) sehingga Hui Lian tidak berkecil hati.

Pembesar itu nampak tercengang, karena nama yang diperkenalkan ini memang agak aneh terdengarnya. Akan tetapi ia tersenyum dan memandang kepada Hui Lian.

"Lihiap benar-benar gagah perkasa. Kalau tidak mehhat sendiri, siapa dapat percaya bahwa seorang dara semuda lihiap dapat melakukan hal yang hebat itu?" Hui Lian mengucapkan kata-kata merendahkan diri. Hidangan datang dan mereka makan minum dengan gembira. Ternyata bahwa biarpun sudah tua, pembesar itu. pandai sekali bergaul dan amat gembira. Selain ini ia amat mencinta isterinya, sehingga dalam makan minum ini, dengan penuh perhatian ia menyumpit potonganpotongan daging yang paling baik untuk dimasukkan ke dalam mangkok di depan isterinya. Mulutnya tiada hentinya menghibur isterinya ini supaya jangan gelisah, supaya makan agar jangan sakit dan sebagainya.

Setelah makan minum selesai, pembesar itu minta maaf kepada Kong Ji dan Hui Lian, menggandeng tangan isterinya dan berkata, "Isteriku baru saja mengalami kekagetan, harap jiwa maafkan, kami hendak beristirahat." Setelah mereka pergi, Kong Ji nampak murung. Diam-diam Hui Lian memperhatikan dan kemudian ia tidak tahan untuk tidak bertanya.

"Kau mengapa, Suheng? Agaknya tidak senang hatimu...."

"Bukan tidak senang, Sumoi, hanya aku berduka memikirkan nasib diriku. Melihat suami isteri tadi... mereka begitu rukun dan saling mencinta... aah..." ia memandang tajam kepada Hui Lian dengan pandang mata penuh arti.

Merahlah wajah Hut Lian. ia bangkit dari duduknya dan mengalihkan percakapan, "Suheng, aku pun hendak mengaso sebentar. Perjalanan tadi, telah membikin mataku agak pedas mungkin banyak debu membikin kotor mata." ia lalu meninggalkan suhengnya, masuk ke dalam kamarnya.

Akan tetapi ternyata Kong Ji mengikutinya dan kini berdiri di pintu. "Boleh aku masuk, Sumoi?"

"Mengapa tidak? Asal daun pintu kau biarkan terbuka." Kong Ji melangkah masuk dan duduk diatas bangku. Hui Lian duduk di atas pembaringan.

"Suheng," kata Hui Lian tidak enak melihat pemuda itu diam saja, "kau pergilah ke kamarmu, lebih baik kita mengaso dulu." Akan tetapi Kong Ji tidak bergerak dari tempat duduknya dan menatap wajah sumoinya dengan mata penuh kerinduan. "Sumoi, apakah kau tidak mau bersikap agak manis kepadaku? Sumoi, kau tahu akan perasaan hatiku kepadamu, kau tahu bahwa aku amat rindu kepadamu, aku... aku...."

"Hush, Suheng, aku tidak suka bicara tentang ini, sekarang bukan waktunya!" Hui Lian mengerutkan keningnya.

Kong Ji menundukkan mukanya, kelihatan sedih sekali sehingga tak terasa pula Hui Lian menjadi terharu. Demikian pandai, pemuda itu menarik mukanya sehingga nampak amat berduka dan putus asa.

"Memang aku Liok Kong Ji semenjak kecil bernasib buruk.

Pembesar bandot tua itu, tukang korupsi dan manusia tiada guna masih lebih bahagia dari padaku. Ada seorang wanita yang mencintaya, akan tetapi aku... hanya kebencian yang ada dalam dada semua wanita terhadapku...."

"Suheng jangan bicara begitu, kau mengasolah di kamarmu. Tenangkan pikiranmu dan jangan berpikir yang tidak-tidak." Kong Ji, berdiri, kelihatan lemas. "Maaf, Sumoi, aku tadi melantur. Akan tetapi aku tidak akan beristirahat, aku harus pergi ke Bu-cin-pang untuk menagih hutang lama. Kau mau ikutkah?" Tentu saja Hu, Lian tidak mau ditinggalkan dalam urusan ini, ia segera berkemas dan tak lama kemudian berangkatlah mereka berdua menuju perkumpulan Bu-cin-pang. Dengan mudah saja mereka mendapat keterangan di mana adanya rumah perkumpulan ini.

Rumah perkumpulan Bu-cin-pang atau Bu-cin-pai adalah rumah perkumpulan yang besar dan megah, karena memang perkumpulan ini yang paling besar dan berpengaruh di dalam kota itu. Sebagaimana pembaca masih ingat, di dalam permulaan cerita ini, telah dituturkan serba sedikit tentang Bu-cin-pang yang mengeluarkan barongsai yang kemudian menjagoi dan betapa timbul bentrokan antara Bu-cin-pang dan tiga pengemis dari Hek-kin-kai-pang.

Kemudian Lie Bu Tek membela para pengemis itu, mengalahkan orang orang Bu-cin-pang sehingga Hoa-san-pai dimusuhi oleh Bucin- pang.

Kong Ji dan Hui Lian tiba di depan gedung itu. Hui Lian ikut dengan suhengnya, bukan semata-mata karena ingin menghadapi urusan pembalasan sakit hati, juga ia ingin menyaksikan sepak terjang Kong Ji dan ingin menjaga agar suhengnya itu tidak terlalu ganas.

"Suheng, menurut penuturanmu itu, yang bersalah dan berdosa terhadap Hoa-san-pai, hanyalah Ma Ek itu. Maka harap kau suka maafkan anggauta-anggauta lain yang tidak berdosa," pesannya ketika mereka pergi ke rumah perkumpulan ini.

Kong Ji hanya mengangguk.

Beberapa orang anggauta Bu-cin-pang melihat kedatangan mereka. Di antara mereka terdapat orang-orang yang tadi mengawal kereta pembesar Cu, maka melihat kedatangan Hui Lian, mereka benar-benar menyambut dengan muka berseri. Akan tetapi melihat Kong Ji, merek:a bersikap dingin.

"Lihiap, ini merupakan kehormatan besar sekali bagi Bu-cinpang," kata seorang di antara mereka kepada Hui Lian.

"Jangan banyak cerewet!" Kong Ji memotong. "Lekas panggil keluar Si Moyet Tua Ma Ek!" Orang-orang itu melongo, kemudian mereka menjadi marah sekali. Seorang di antara mereka melangkah maju menghadapi Kong Ji dan berkata tak senang "Sahabat, mengapakah kau bersikap begini tidak patut terhadap kami? Tadi kau sudah menghina kami dan kami diam saja karena kami mengingat akan pertolongan Lihiap ini, sekarang kau datang-datang memaki ketua kami."

"Jangan banyak cakap, lekas panggil bangsat tua Ma Ek kesini, aku mau bicara"" kata Kong Ji dan kedua tangannya digerakkan secara sembarangan ke depan, akan tetapi akibatnya empat orang anggauta Bu-cin-pang seperti tertiup badai dan terlempar ke kanan kiri.

Keadaan menjadi rebut, sebagian menjauhkan diri dan ada beberapa orang lagi berlari masuk ke dalam. Kong Ji tersenyum kepada Hui Lian melihat gadis ini agak khawatir kalau-kalau Kong Ji menyebar maut.

Akan tetapi, setelah anggauta Bu-cin pang yang berlari masuk tadi keluar lagi, mereka bukan mengiringkan ketua Bu cin-pang, melainkan seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah. Pemuda ini adalah putera dari Ma Ek bernama Ma Hoat. ia menjura kepada Hui Lian karena ia sudah mendengar dari anak buahnya tentang kegagahan nona ini, kemudian ia menghadapi Kong Ji.

"Siapakah yang ingin bertemu dengan Ma-lo-pangcu (Ketua Ma)"" tanyanya ragu-ragu.

Kong Ji maju selangkah. "Aku Toat-ma-beng (Pencabut Nyawa Kuda) hendak bertemu dengan Lo-ma (Kuda Tua), di mana dia?" Dengan kata-kata ini, terang sekali Kong Ji menghina Ma Ek. Nama keturunan Ma Ek adalah Ma atau boleh diartikan kuda, maka dengan menyebut diri Pencabut Nyawa Kuda, jelas bahwa ia datang hendak memusuhi Ma Ek.

Merahlah wajah Ma Hoat mendengar ini. "Kau ini manusia kurang ajar sekali. Ayahku Siang-pian Giam-ong (Raja Maut Senjata Sepasang Ruyung) bukan orang orang boleh dipermainkan dan aku puteranya, Tiat-jiu (Si Tangan Besi) Ma Hoat juga tidak suka menelan hinaan orang begitu saja. Ayah sedang keluar kota, dan kau mau apakah?" Kong Ji mengeluarkan ketawa kecil, lagaknya menghina sekali.

"Hem, kau kuda kecil jangan banyak berlagak. Ketahuilah bahwa Ayahmu itu dosanya sudah setinggi bukit dan aku datang untuk mencabut nyawanya."

"Bedebah!" Ma Hoat tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia memaki dan cepat menerjang maju dengan sepasang "tangan besinya"!

Akan tetapi mana bisa ia melawan Kong Ji. Andaikata ada seratus Ma Hoat, kiranya takkan mudah merobohkan Kong Ji. Maka semua orang Bu-cin-pang terheran-heran ketika terdengar suara "duk" dan biarpun mereka melihat jelas betapa kepalan tangan kanan dari Ma Hoat dengan tepat mengenai dada Kong Ji, namun bukan pemuda ini yang roboh melainkan Ma Hoat sendiri yang terpental ke belakang lalu jatuh bergulingan sampai lima kali.

Ma Hoat berdiri sambil meringis kesakitan.

"Masih ada yang gatal tangan hendak memukulku? Boleh, hayo silakan maju!" Kong Ji menantang sambil melangkah maju dan membusungkan dadanya.

Ma Hoat dan kawan-kawannya otomatis melangkah mundur ketakutan. Akan tetapi dengan mendongkol sekali Ma Hoat berkata, "Kau lihai sekali, akan tetapi siapakah kau dan mengapa kau memusuhi kami? Mengakulah terus terang agar kelak dapat kami laporkan kepada Ayah kalau ia datang."

"Hem, tikus-tikus bernyali kecil...." kata Kong Ji dan ketika Hui Lian melihat suhengnya itu menggerak-gerakkan tangan mengerahkan tenaga Tin-san-kang seakan-akan siap untuk menyebar pukulan ia cepat berkata, "Suheng tidak perlu membunuh orang yang tidak berdosa. Ma Ek tidak ada, biarlah lain kali datang lagi." Kong Ji menoleh kepada sumoinya, kemudian ia tersenyum kepada para anggauta Bu-cin pang. "Kau dengar itu? Kalau tidak taat kepada Sumoiku yang berhati emas, kalian sudah hancur seperti ini!" ia menggerakkan kedua tangan memukul ke atas di depannya dan "bra braak!" papan nama Bu-cin-pang berikut sebagian payon rumah di depan jatuh berantakan ke bawah.

Ma Hoat dan kawan-kawannya menjadi pucat mereka tak bergerak seperti patung memandang kepada dua orang saudara seperguruan itu yang meninggalkan mereka.

Tiba-tiba Kong Ji menoleh kepada Ma Hoat dan berkata, "Kalau kau masih penasaran, aku bermalam di hotel Sen an-koan, di kamar nomor tujuh!" Setelah jauh dari situ, Hui Lian bertanya heran, "Suheng, nomor kamar adalah sembilan dan nomor kamarku belas. Kamar nomor tujuh adalah kamar Cu-taijin dan isterinya. Mengapa menyebut nomor kamarmu nomor tujuh? Kong Ji tersenyum dan berkata, "Begitukah? Ah, aku sudah lupa lagi akan nomor kamar-kamar kita, Sumoi. Akan tetapi tidak mengapa, kukira mereka takkan begitu goblok untuk datang ke hotel Seng-an-koan." Biarpun mulutnya bicara demikian, namun sesungguhnya Kong Ji ketika memberitahukan tempat menginap tadi ia mengandung maksud yang amat mengerikan. Memang otak pemuda ini, dapat merangkai dan mengatur siasat secara kilat, yang bagi orang lain merupakan siasat yang masak selama berhari-hari. Tentu saja Hui Lian sudah puas dengan jawaban itu dan tidak mengira sama sekali bahwa pada malam hari itu akan terjadi hal-hal yang amat menyeramkan di kamar tujuh hotel Seng-an-koan....... .

Sukar sekali untuk mengikuti jalan pikiran Kong Ji, juga amat sukar untuk nengenal dan mengerti wataknya yang amat aneh.

Pemuda ini, kalau dilihat dan didengar begitu saja, nampak seperti seorang pemuda tampan dan halus, sopan dan lemah lembut tutur katanya, bahkan kadang-kadang kelihatan seperti seorang yang amat baik hati. Akan tetapi, hanya iblis yang mengetahui keadaan di dalam ruang kepala dan dadanya. Ruang dadanya penuh dengan hawa dan nafsu jahat, penuh dendam dan dengki, iri hati dan suka melihat orang lain menderita. Kepalanya penuh dengan siasat-siasat busuk yang amat cerdik dan licik, penuh dengan kecerdikan yang langka, sehingga boleh jadi pikiran pemuda aneh ini sudah mendekati kegilaan.

Malam hari itu Hui Lian tidak dapat tidur. Ia memikirkan keadaan suhengnya. Mulai tampak olehnya keanehan watak suhengnya itu, dan kalau ia ingat betapa suhengnya menyatakan cinta kasih begitu terus terang ia merasa terharu, juga kasihan dan bingung. Ia sendiri suka kepada Kong Ji, akan tetapt ia tidak tahu apakah dia cinta kepada pemuda itu atau tidak. Memikirkan bahwa suhengnya menjadi suaminya, bagi Hui Lian adalah hal yang amat tidak mungkin, hal yang amat memalukan, hal yang tidak disukanyai.

Tentu saja gadis yang masih muda ini belum dapat membedakan antara suka dan cinta, bahkan ia masih belum tahu apakah sebetulnya cinta kasih itu.

Kemudian ia teringat akan ayah bundanya dan mengalirlah air mata Hui Lian teringat kepada ibunya dan merasa amat rindu.

Mengapa ia telah berlaku lancang, minggat dari rumah bersama Kong Ji?. Akan tetapi ketika ia teringat akan percakapan antara ayah bundanya dan Soan Li sucinya, hatinya menjadi panas dan ia merasa kasihan kepada Kong Ji. Selama ini, ia tidak mendapat bukti kebenaran tuduhan Soan Li terhadap Kong Ji. Sudah jelas bahwa suhengnya itu seorang gagah yang berjiwa pendekar.

Menjelang tengah malam, barulah Hui Lian dapat tidur pulas.

Akan tetapi tidak lama ia tidur nyenyak karena tiba-tiba ia mengimpi mendengar suara orang-orang ketawa. Suara ketawa ini demikian aneh dan menyeramkan sehingga ia menjadi gelagapan dan terbangun dari tidurnya. Namun, biarpun Hui Lian sudah telentang, dengan mata terbuka lebar, masih saja ia mendengar suara ketawa yang menyeramkan itu! Bulu tengkuk gadis ini berdiri. Selama hidupnya belum pernah ia mendengar suara ketawa yang demikian anehnya. Ayahnya seringkali mendapat kunjungan tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh-aneh, dan ada pula di antaranya mereka itu yang suara ketawanya aneh sekali, namun tidak seperti suara ketawa yang ia dengar pada malam ini, yang ia dengar dalam mimpi dan juga dalam keadaan sadar! Kemudian suara itu lenyap dan kini terdengar suara orang menangis perlahan. Hui Lian yang mempunyai pendengaran tajam terlatih ini tahu bahwa itulah suara seorang wanita terisak-isak ketakutan.

Karena masih terpengaruh oleh suara ketawa yang menyeramkan tadi dan masih terheran-heran mengapa di dalam mimpi ia juga mendengar suara itu, Hui Lian sampai lama berbaring telentang.

Setelah ia yakin betul bahwa ia sudah sadar dan bahwa suara wanita terisak isak itu jelas terdengar keluar dari kamar Cu-taijin, pembesar dan isterinya yang bermalam di kamar nomor tujuh hotel itu, ia melompat turun.

Hui Lian menjadi serba salah. ia melompat turun dari pembaringan dan duduk di atas bangku, mendengarkan suara isak tangis itu. Apa yang harus ia lakukan? Ia tidak tahu mengapa nyonya itu menangis. Apakah cekcok dengan suaminya? Apakah yang terjadi? Memang amat mudah bagi Hui Lian untuk mengintai ke dalam kamar nomor tujuh itu, akan tetapi ia tidak sudi mengintai kamar di mana menginap sepasang suami isteri!

Akan tetapi, Hui Lian teringat akan sesuatu dan pucatlah dia.

Bukankah suhengnya tadi memberi tahu kepada Ma Hoat dan orang orang Bu-cin-pai bahwa suhengnya bermalam di hotel ini di kamar nomor tujuh? Siapa tahu kalau orang Bu-cin-pai datang menyerbu kamar itu! Pikiran ini membuat Hui Lian cepat-cepat menyambar pakaian luarnya, memakai pakaian itu lalu membawa pedangnya, melompat keluar dari jendela setelah membuka daun jendela itu perlahan-lahan. ia melompat terus ke atas genteng dan dengan beberapa kali gerakan kaki saja ia sudah tiba di atas kamar nomor tujuh.

Kini jelas terdengar suara isak tangis itu dan tiba-tiba terkejutlah Hui Lian karena mendengar suara Nyonya Cu itu menjerit keras sekali, disusul pula oleh teriakan mengaduh nyonya itu. Sebelum hilang kagetnya, Hui Lian mendengar pula suara pembesar she Cu itu, "Aduh... mati aku...!" Hui Lian hendak menerjang masuk melalui jendela yang hendak ditendangnya, akan tetapi ia mendengar suara gaduh di kamar itu, dan terdengar pintu, tertendang roboh dan disusul suara Kong Ji.

"Bangsat she Ma, kau benar-benar berani datang mengantar kematian?" Cepat Hui Lian menendang jendela dan meloncat ke dalam. Ia melihat pemandangan yang amat mengerikan sehingga biarpun ia tabah, tetap saja gadis ini membuang muka dan tidak berani memandang ke atas pembaringan. Di atas pembaringan itu, tubuh Nyonya Cu yang berkulit putih dengan pakaian tidak keruan menggeletak dengan leher putus! Juga pembesar she Cu itu menggeletak di atas lantai dengan kepala pisah dan tubuhnya. Di atas tempat tidur dan di lantal darah....... membanjir, menimbulkan pemandangan yang amat menyeramkan. Ma Hoat, pemuda tinggi besar putera Siang-pian Giam-ong Ma Ek, berdiri di sudut dengan tangan kanan masih memegang sebatang golok yang berlumur darah, dan dari cara pemuda ini berdiri, maklumlah Hui Lian bahwa pemuda ini sudah kena ditotok oleh Kong Ji sehingga berdiri kaku seperti patung. Namun mata pemuda she Ma itu ditujukan kepada Kong Ji penuh kebencian. Adapun Kong Ji sendiri, telah menyalakan lilin dan kini memegang tempat lilin, wajahnya agak pucat.

"Sayang kita terlambat, Lian-moi…." katanya perlahan ketika ia mellhat Hui Lian melayang masuk dari jendela.

Hui Lian tak dapat berkata apa-apa pada saat itu, ia masih terpengaruh oleh pemandangan yang amat mengerikan. Sementara itu, dan luar terdengar tindakan kaki banyak orang yang tentu saja tertarik oleh jerit dan teriakan tadi.

"Bangsat seperti ini harus dibikin mampus!" kata Kong Ji dan tangan kirinya yang tadi bergerak memasuki saku bajunya, menyambar ke arah kepala atau ubun-ubun kepala pemuda she Ma itu. Hui Lian tidak mencegah karena memang ia juga benci melihat kekejaman Ma Hoat.

Akan tetapi aneh, ketika jari jari tangan Kong Ji menimpa kepala Ma Hoat, tidak terjadi sesuatu. Bahkan pemuda itu tidak kelihatan sakit, sehingga Hui Lian menjadi heran, lalu memandang kepada suhengnya. Akan tetapi sebenarnya Kong Ji telah melakukan semacam pukulan keji yang ia pelajari dari See-thian Tok-ong, yakni pukulan yang disebut pukulan "merampas ingatan" dan pukulan perlahan ini telah merusak urat-urat saraf di antara otak sehingga untuk selamanya pemuda she Ma ini akan menjadi lupa keadaan atau gila! Perubahan hanya terlihat kepada sinar matanya yang tibatiba menjadi layu dan bengong.

"Mari kita keluar, Moi moi," kata Kong Ji. Hui Lian tanpa menjawab ikut keluar dari pintu kamar itu. Banyak orang datang di depan pintu, dengan lampu di tangan. Juga semua pengurus hotel datang di tempat itu.

"Telah terjadi pembunuhan hebat, pembunuhnya telah kami tangkap dan kini berada di kamar dalam keadaan tidak berdaya.

Kalian uruslah hal ini dan serahkan pembunuh itu kepada yang berwajib," kata Kong Ji senang, kemudian ia bersama Hui Lian meninggalkan tempat itu, pergi duduk di ruang depan.

Orang-orang menyerbu masuk ke dalam kamar dan mereka bergidik menyaksikan pemandangan yang amat menyeramkan itu.

Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika mereka melihat bahwa yang menjadi pembunuh keji itu bukan lain adalah Ma Hoat, seorang tokoh yang amat disegara di Keng-sin-bun. Siapakah yang tidak kenal dengan putera dui ke-tua Bu-cin-pai ini? Akan tetapi, mereka makin terheran-heran ketika melihat pemuda she Ma ini tertawa ha-ha-hi-hi dan tidak dapat btrgerak, tidak melawan ketika golok yang berlumur darah itu di ambil orang. Tubuhnya kaku dan tidak bertenaga sama sekali. Ributlah semua orang dan urusan ini lalu diserahkan kepada pembesar yang berkuasa di kota itu.

"Suheng bagaimanakah terjadinya itu semua?" tanya Hui Lian kepada Kong Ji dengan suara masih menyatakan kengeriannya.

Kong Ji menarik napas panjang dan wajahnya yang tampan itu nampak agak pucat. Kelihatannya ia menaruh hati kasihan sekali kepada pembesar dan isterinya itu.

"Sebetulnya aku sudah tidur, akan tetapi tiba-tiba aku mendengar suara kaki di atas genteng. Aku cepat bangun dan bersiap sedia, karena aku mengira bahwa ada orang jahat hendak memasuki kamarku. Ternyata aku salah duga dan sama sekali tidak tahu bahwa bangsat she Ma itu memasuki kamar nomor tujuh.

Kemudian aku mendengar tangis nyonya muda itu sehingga aku menjadi curiga. Cepat aku keluar dan mengintai di dalam kamar.

Remang-remang aku mehhat bahwa she Ma itu telah berada di dalam kamar dengan golok di tangan! Aku tidak tahu apa yang ia lakukan akan tetapi agaknya ia melakukan perbuatan yang tidak patut dan mengancam nyonya itu dengan goloknya, sedangkan suami tua bangka itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mungkin nyonya muda itu melawan, maka tiba-tiba sebelum aku dapat mencegah, bangsat she Ma itu telah mengayun goloknya, membunuh Cu-hujin dan suaminya. Melihat ini, aku cepat menendang daun pmtu, ia hendak menyerang akan tetapi aku mendahuluinya, menotoknya dan memasang lilin. Dan pada saat itulah kau menendang daun jendela dan melompat masuk." Hui Lian bergidik. ia merasa heran sekali mengapa Ma Hoat melakukan pembunuhan ini. Agaknya Kong Ji dapat membaca apa yang dipikirkan oleh sumoinya, buktinya pemuda ini menarik napas dan berkata, "Tentu ia mengira bahwa yang berada di dalam kamar itu adalah aku dan... dan kau...." Merah wajah Hut Lian mendengar ini-dan untuk menyembunyikan rasa jengahiya, ia berkata mencela suhengnya.

"Semua adalah gara-garamu, Suheng. Kalau kau tidak salah memberi tahu bahwa kamarmu nomor tujuh, suami isteri itu takkan mengalami nasib yang demikian menyedihkan." Kong Ji menarik muka menyesal sekali. "Memang aku yang bodoh, mari aku pergi membasmi orang-orang Bu-cin-pai!" Ia bangun berdiri seakan-akan hendak melaksanakan ancamannya ini, akan tetapi Hui Lian mencegahnya. Pada saat itu, orang-orang mengangkat jenazah Nyonya Cu untuk diurus seperlunya. Kong Ji duduk kembali dan memandang. Bibirnya bergerak-gerak sedikit dan hatinya berkata, "Kalau kau tidak melawan, aku takkan membunuhmu!" Jenazah ke dua datang digotong orang, yakni Cu-taijin yang juga ditutup dengan kain, Kong Ji menyeringai dan hatinya berkata.

"Kalau isterimu tidak muda dan cantik, kau takkan mampus!" Kini orang menggiring keluar pemuda she Ma yang dituduh menjadi pembunuh kejam itu, Hui Lian semenjak tadi melihat rombongan itu dengan hati ngeri, menjadi terheran-heran. Ma Hoat berjalan terhuyung-huyung, kedua tangannya diikat orang dan yang mengherankan sinar mata pemuda ini layu dan matanya terbelalak memandang kosong ke depan, babirnya bergerak-gerak seperti orang bicara perlahan dan kadang-kadang ia tertawa menyeringai!

"Dia telah gila..." bisik Hui Lian.

"Ya, dia gila dan tentu akan dihukum. Pembalasan yang baik sekali bagi tokoh Bu-can-pai," kata Kong Ji.

Hui Lian menengok kepadanya. "Suheng kau tadi menggerakkan tangan ke arah kepalanya, kau telah memukulnya dengan pukulan apakah" Kong Ji tersenyum. "Tadinya aku hendak membunuhnya karena hatiku panas sekali melihat kekejamannya, akan tetapi aku lalu ingat bahwa kalau aku membunuhnya, orang akan mengira aku yang membunuh suami isteri itu, maka aku menahan tenagaku dan hanya menepuk kepalanya. ia terluka akan tetapi tidak mati.

"Hm, kau sudah menghukum dia, Suheng. Tentu dia takkan lama hidup."

"Entahlah, mungkin beberapa pekan..." jawab Kong Ji kurang peduli.

Hui Lian tidak mempunyai alasan untuk tidak percaya kepada suhengnya. Semua nampak begitu wajar. Peristiwa mengerikan itu pun wajar. Semua orang dapat melihat bahwa Ma Hoat memasuki kamar suami isteri itu, agaknya hendak mengganggu Nyonya Cu, kemudian membunuh mereka. Mungkin juga tadinya Ma Hoat mengira bahwa kamar itu didiami oleh Kong Ji dan Hui Lian. Tentu demikian terjadinya pembunuhan itu, tak bisa lain. Hui Lian juga percaya, hanya ia masih bingung dan terheran bagaimana Ma Hoat yang tidak berapa tinggi kepandaiannya itu begitu berani mati untuk datang menuntut balas!

Tentu saja Hui Lian tidak mendengar suara hati Kong Ji tadi, juga tidak dapat melihat apa yang tersembunyi di balik senyuman wajah tampan itu. Kalau gadis ini tahu apa yang sebetulnya telah terjadi, mungkin ia akan roboh pingsan saking kagetnya, dan mungkin ia akan menjauhi suhengnya seperti orang menjauhi ibis!

Tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kong Ji telah mempergunakan kepandaiannya, pada tengah malam itu ia keluar dari kamarnya tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Kemudian ia mengunjungi rumah Ma Hoat, juga tanpa diketahui orang ia memasuki kamar Ma Hoat menotok pemuda ini dan membawanya Iari ke rumah penginapan itu, kemudian ia melompat ke dalam kamar nomor tujuh dan melemparkan tubuh Ma Hoat ke lantai. Cutaijin terbangun akan tetapi ia segera ditotok dan tak berdaya.

Dalam kegilaannya, Kong Ji yang malam itu sudah berubah menjadi iblis, hendak mengganggu nyonya muda yang membikin dia tergilagila karena kecantikannya. Hanya seorang iblis yang bisa melakukan hal ini mengganggu isteri orang di depan suaminya dan di depan orang lain! Nyonya Cu mengecewakan hatinya karena meronta dan menangis, maka ia lalu mengambil golok yang tadi dibawanya dari kamar Ma Hoat membabat putus leher Nyonya Cu, kemudian membebaskan totokannya pada Cu-taijin untuk memberi kesempatan kepada orang tua ini berteriak, membunuhnya pula dengan golok yang masih berlumur darah itu. Kemudian, ia menekan gagang golok ke dalam tangan kanan Ma Hoat sambil menotoknya sehingga tubuh pemuda ini menjadi kaku!

Semua itu memang sudah direncanakan lebih dulu, bahkan telah direncanakan ketika ia mengaku menginap di dalam kamar nomor tujuh di hotel itu pada saat ia hendak meninggalkan Bu-cin-pai bersama Hui Lian. Oleh karena siasat ini diatur amat licin, biar Hui Lian sendiri kena ditipu dan sama sekali tidak menyangka bahwa pembunuhan itu adalah perbuatan Kong Ji.

Betapapun juga, setelah terjadinya peristiwa ini, di waktu malam Hui Lian suka gelisah. Ia mendapat perasaan bahwa kadang-kadang suhengnya itu kelihatan amat aneh, penuh rahasia dan ada sesuatu yang amat seram menakutkan terbayang pada diri pemuda itu.

Mereka melanjutkan perjalanan dan dalam usaha mereka mencari Giok Seng Cu, Ba Mau Hoatsu, dan See thian Tok-ong yang menurut Kong Ji harus dibalas, mereka makin mendekati tapal batas di daerah utara. Memang, orang-orang kang-ouw mengabarkan bahwa tokoh-tokoh besar pada pergi ke utara, di mana mulai panas suasananya dengan adanya tanda-tanda memberontak dari bangsa Mongol.

Pada suatu malam, ketika dua orang muda ini bermalam di sebuah rumah penginapan besar di kota Potouw di lembah Sungai Kuning, kota yang sudah mendekati perbatasan dengan Mongol, terjadi hal ke dua yang membuat gadis ini makin berlaku hati-hati terhadap suhengnya.

Makin ke utara, makin berkuranglah wanita-wanita cantik dan biarpun hal ini bagi Hui Lian tentu saja tidak ada artinya, namun bagi Kong Ji merupakan siksaan besar! Semenjak meninggalkan Pulau Kim-bun-to dan melakukan perjalanan dengan Hui Lian, secara diam-diam di luar tahu sumoinya ini, entah sudah berapa kali Kong Ji melakukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk. Sepak terjangnya lebih jahat dan mengerikan daripada perbuatan seorang jai-hwa-ciat (bangsat pemetik bunga) biasa, dan lebih kejam daripada seorang perampok biasa. Di mana-mana ia meninggalkan maut sebagai bekas tangannya dan semua ini di lakukan demikian cepat dan licin tanpa meninggalkan bekas sehingga biarpun perbuatan-perbuatannya menyebar maut di mana-mana ini menggegerkan dunia kang-ouw, namun tak seorang yang dapat menerka perbuatan siapakah yang demikian keji itu. Apalagi orang lain bahkan Hui Lian yang melakukan perjalanan bersama dengan Kong Ji, masih tidak tahu sama sekali akan segala perbuatan pemuda ini!

Wanita-wanita utara memang tidak secantik wanita-wanita selatan dan daerah utara ini jauh kalau dibandingkan dengan daerah selatan yang kaya dan penuh kota-kota perdagangan. Juga hawanya tidak menyenangkan, amat dingin sewaktu musim salju dan luar biasa panasnya di waktu musim panas. Oleh karena ini, Kong Ji merasa tersiksa dan setiap hari ia membujuk Hui Lian untuk mempercepat perjalanan agar mereka segera sampai di tempat yang mereka tuju, yakni Telaga Gasyun Nor, tempat yang terkenal sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Mongol di bawah pimpinan Temu Cin yang gagah perkasa. Kong Ji dan Hui Lian mendengar bahwa di sana banyak berkumpul orang-orang kangouw dan kiranya di tempat inilah mereka akan dapat bertemu dengan tokoh-tokoh yang mereka cari.

Memang mencari tokoh-tokoh yang dianggap musuh besar itu dipergunakan oleh Kong Ji sebagai alasan, padahal sebenarnya ia mempunyai cita-cita lain. Ia ingin mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin orang Mongol, untuk bersekutu dengan mereka dan mencari kesempatan mendapatkan kekuasaan dan pengaruh!

Malam hari itu, ketika berbaring di dalam kamarnya, Kong Ji tak dapat pulas. ia gelisah sekali bergulik ke kanan kiri. Hawa di dalam kamar panas bukan main dan beberapa kali pemuda ini mengeluarkan suara keluhan panjang pendek.

Kemudian ia bangkit dari tempat tidurnya, membuka pintu kamar. Keadaan sunyi karena waktu itu sudah menjelang tengah malam. Rumah penginapan yang besar dan kuno itu tidak banyak tamunya sehingga kamar-kamar banyak yang kosong. Para pelayan sudah tidur nyenyak dan keadaan gelap. Kong Ji melompat dan sebentar saja ia sudah berada di luar jendela kamar Hui Lian!

Untuk beberapa lama ia ragu-ragu menggeleng-geleng kepala dan melangkah menjauhi jendela, hendak kembali ke kamarnya sendiri. Akan tetapi kembali berhenti bertindak, menoleh dan mendekati jendela lagi. Sampai lama ia berdiri di situ, ragu ragu dan sangsi. Kalau orang melihat mukanya tentu akan melihat pertentangan keras di dalam batin pemuda ini terbayang pada mukanya, pertentangan antara dua pikiran atau dua suara yang bertempur di dalam dadanya. Akhirnya wajahnya berubah beringas dan sekali ia menggerakkan tangan daun jendela kamar Hui Lian terbuka.

Kemudian tubuhnya berkelebat dan melompatlah ia memasuki kamar itu dari jendela yang sudah terpentang lebar. Akan tetapi tiba-tiba ia berseru kaget dan cepat mengelak ketika dari sampingnya menyambar pedang yang hampir saja menembusi dadanya.

"Bangsat hina dina! Apakah kau mencari mampus berani mengganggu Nonamu?" terdengar bentakan Hui Lian.

Kong Ji merasa terkejut dan juga bingung, ia malu sekali. Cepat ia melompat keluar akan tetapi bayangan Hui Lian mengejarnya.

Kong Ji tak dapat melarikan diri lagi dan ia berdiri sambil menundukkan mukanya.

Ketika Hui Lian tiba di luar kamar dan melihat siapa orangnya yang membongkar jendela kamarnya dan memasuki kamarnya tadi, gadis ini berdiri bengong dan wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Dadanya berombak dan sampai beberapa lama ia tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Memang ia sudah menaruh hati curiga dan setiap malam ia berlaku hati-hati sekali, tak pernah melepaskan pakatan luar dan selalu berkawan pedang. Hal ini adalah karena ia selalu merasa ngeri apabila teringat akan nyonya pembesar she Cu itu. Malam itu mendengar suara jendela kamarnya dibongkar orang, maka ia telah bersiap siap dia dan begitu melihat sesosok bayangan orang melompat masuk, ia segera menyerang dengan tusukan pedangnya. Tidak disangkanya bayangan itu lihat sekali, di dalam lompatan masih sempat mengelak dan melompat keluar lagi. Dan kini ternyata bahwa orang itu adalah Kong Ji.

"Suheng... apa... apa yang hendak kau lakukan tadi...?" tanyanya, suaranya bengis, akan tetapi agak gemetar dan perlahan.

"Sumoi... kaubunuhlah aku... aku... aku merasa kesepian dan gelisah... aku cinta, kepadamu... aku rindu kepadamu... hatiku terslksa karena ingin dekat dengan mu... aku lupa daratan.

Ampunkan aku Sumoi, atau kau boleh bunuh saja aku.." kata-kata ini dakeluarkan dengan suara menggetar dan dari celah-celah jari tangan yang menutupi muka itu mengalir butiran-butiran air mata!

Hui Lian menyarungkan pedangnya kembali. "Suheng mengapa kau berlaku begitu rendah? Sungguh tak kunyana, Su heng..." Di dalam hati Hui Lian mulai ingat akan penuturan sucinya, yakni Gak Soan Li tentang watak buruk dari suhengnya ini, penuturan yang tadinya tidak dipercayanya, yang dianggapnya sebagai pernyataan iri hati dan dengki dari Soan Li.

"Sumoi, aku cinta padamu, dan aku tak tahan lagi... karena itulah aku menjadi gelap pikiran. Sumoi, aku bersumpah takkan melakukan lagi. Marilah kita lekas melanjutkan perjalanan agar lekas selesai tugas kita, kemudian kita kembali ke Pulau Kim-bun to.

Atau... kalau kau tidak percaya lagi kepadaku, cabut pedangmu itu dan kau boleh bunuh aku, aku takkan melawan!" Hui Lian tidak menjawab, ia tahu bahwa kalau suhengnya ini mau melawan, ia takkan dapat menangkan terhadap suhengnya ia juga tidak yakin benar apakah yang akan dilakukan pada saat itu.

Melihat gadis itu diam saja. Kong ji mencabut Pak-kek Sin-kiam yang selalu berada di punggungnya, memberikan pedang pusaka itu kepada Hui Lian.

"Sumoi aku bersumpah, disaksikan oleh pokiam ini, bahwa aku takkan melakukan perbuatan itu lagi. Kau percayalah...."

"Bagaimana aku bisa yakin akan isi hatimu?" akhirnya Hui Lion berkata lirih.

"Kalau kau sudah tidak percaya lagi kepadaku, nah, ambil pedang ini dan kau boleh tusuk dadaku, Sumoi." Hui Lian menggerakkan tangannya dan di lain saat pedang Pakkek Sin-kiam sudah berada di tangannya. Kong Ji diam-diam terkejut dan pemuda ini siap untuk menggunakan pukulan maut kalau gadis ini menyerang. Akan tetapi Hui Lian tidak menyerangnya, hanya memandang kepada Pak-kek Sin-kiam, lalu berkata.

"Suheng, aku maafkan kau. Mungkin kau tadi kemasukan iblis yang berkeliaran di daerah asing ini. Akan tetapi, sebagai hukuman, aku merampas Pak-kek Sin-kiam. Biarlah aku yang membawa pedang ini dan untukmu, biar kau memakai pedangku," Hui Lian mencabut pedang dan sarung pedangnya, pedang yang juga baik akan tetapi tentu saja kalah jauh kalau dibandingkan dengan Pakkek Sin-kiam, lalu memberikan pedangnya kepada Kong Ji.

Gadis ini berpikir bahwa dengan pedang itu di tangan, ia takkan khawatir lagi menghadapi Kong Ji. Hal ini pun dibenarkan oleh katakata Kong Ji yang agaknya dapat membawa pikirannya.

"Terima kasih, Sumoi, kau memang berhati mulia. Sekarang Pakkek Sin-kiam sudah berada di tanganmu, dengan Pak kek Kiam-sut, tentu sewaktu-waktu kau dapat membunuhku kalau aku tidak memegang teguh janjiku." Hui Lian merasa lega. Memang, biar pun pemuda ini sudah mempelajari Pak-kek Sin-ciang-hoat, akan tetapi baru teorinya belaka dan kalau ia memegang Pak-kek Sin-kiam dan mainkan ilmu pedang itu, apakah yang dapat dilakukan oleh Kong Ji terhadapnya? Seujung rambut pun gadis ini tidak pernah mengira bahwa jangankan dia dengan Pak-kek Sin-kiam dan ilmu pedang Pak-kek Kiamsut, biarpun ada lima orang seperti dia, belum tentu akan dapat menangkan Kong Ji. Pemuda ini diam-diam telah melatih semua teori dari Pak-kek Sin-ciang, dan agaknya dalam ilmu ini ia tidak kalah oleh Hui Lian. Apalagi dia sudah mempunyai Tin-sankang yang hebat, sudah mempunyai ilmu silat dari See-thian Tokong dan juga telah mendapat dasar-dasar yang kuat dari ilmu silat Hoa-san-pai serta Kwan-im-pai, bahkan semua ini masih ditambah lagi oleh gemblengan dari Go Ciang Le yang melatihnya dengan sungguh-sungguh dalam ilmu silat tinggi lain kecuali Pak-kek Sinciang.

Demikianlah, perjalanan dilakukan terus dengan cepat. Mereka mempergunakan kuda untuk melewati tapal batas dan akhirnya tibalah mereka di Telaga Gasyun Nor atau juga disebut Cu yen-hu.

Di sekitar telaga ini terdapat tanah yang subur dan karena inilah maka Temu Cin mempergunakannya sebagai markas besar sementara. Di sini terdapat tempat yang subur pula, sedangkan daerah itu sebagian besar terdiri dan padang pasir yang gundul.

Selain ini, dan telaga ini ia pun dapat melakukan perjalanan melalui air sungai yang ada hubungannya dengan Sungai Kurang sehingga tempat ini memang dapat disebut amat strategis.

Akan tetapi, tentu saja Temu Cin takkan menjadi seorang pemimpin besar kalau dia tidak mempunyai siasat yang amat cerdik.

Di luarnya saja kelihatan bahwa tempat itu ia jadikan markas besar, namun pada hakekatnya, markas besarnya dipecah-pecah dan berada di mana-mana. ia maklum bahwa bangsanya menghadapi banyak saingan dan musuh yang selalu mengintai dan yang bertujuan menghancurkannya, maka ia tidak begitu bodoh untuk memusatkan tenaga di suatu tempat. Selain ini, ia pun menghubungi orang-orang pandai dari pedalaman, yang dibujuknya dan diberi hadiah hadiah besar untuk membantu perjuangannya.

Ketika Hui Lian dan Kong Ji tiba di tempat itu, mereka berdua segera dikurung oleh barisan penjaga yang tentu saja merasa curiga. Mereka mengira bahwa dua orang muda ini tentulah penyeldik atau mata-mata dari pemerintah Kin yang masih berkuasa di selatan. Maka para penjaga itu mengurung dan membentak.

"Turun dart kuda dan menyerah! Tanpa perlawanan kami akan menangkap kalian hidup-hidup untuk dihadapkan kepada kepala penjaga" Akan tetapi, mana Kong Ji dan Hui Lian takut menghadapi ini? Kong Ji tersenyum mengejek dan berkata, "Orang liar, tutup mulutmu yang kotor dan lebih baik kau lekaslekas panggil keluar pemimpinmu yang bernama Temu Cin!" Pada waktu itu, nama Temu Cin sudah amat dipandang tinggi oleh orang-orang Mongol, sudah dianggap sebagai penjelmaan dewata agung yang datang ke dunia untuk memimpin bangsa Mongol. Oleh karena itu, mendengar pemuda bangba Han ini tidak menghormati pimpinan mereka, para penjaga menjadi marah sekali.

"Manusia kurang ajar! Kau sudah berani datang di wilayah kami tanpa ijin dan datang-datang kau bersikap kurang ajar. Apakah kau mempunyai nyawa cadangan maka begitu tak takut mampus?"

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR BUDIMAN

PEDANG PENAKLUK IBLIS (Sin Kiam Hok Mo)

TANGAN GELEDEK (PEK-LUI ENG)