TANGAN GELEDEK JILID 09
BENAR saja, setelah tiba di luar pintu, kedua anak itu lalu me lompat dan cepat lari menghampiri guru mereka.
Wajah mereka nampak pucat din nyata sekali mereka itu meras a ngeri dan takut. Hal ini mengherankan hati Ang-jiu Mo-li karena tidak biasanya murid-muridnya, apa lagi Bi Li, berhati penakut.
"Ada apakah?" tegurnya, alisnya berkerut tak senang melihat dua orang muridnya memperlihatkan sikap ketakutan.
"Suthai .... di dalam ada......... ada siluman menakutkan sekali !" kata Wan Sun, agak malu-malu akan tetapi masih ketakutan.
"Siluman? Biar pinceng menangkapnya, untuk menjaga Kelenteng Kwan-te-bio !" se ru Hwa Thian Hwesio dengan sikap gagah. Ia berjalan memasuki kuil dengan langkah tegap, kedua kaki agak dibongkokkan, kedua tangan terkepal dan perut serta dadanya me lengkung seperti katak marah.
Terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah dalam kuil tua itu, suara bak-bik-buk orang bertempur, kemudian disusul pekik Hwa Thian Hwesio seperti babi disembelih dan orangorang di luar kuil melihat tubuhnya yang bulat seperti bola itu mengge linding keluar!
Sete lah melompat berdiri, ia meraba-raba gundulnya sambil bertanya kepada Wan Sun. "Kongcu, tolong kaulihat kepalaku ini bonyok tidak?" Wan Sun din Bi Li tertawa geli melihat tingkah laku hwesio ini dan Wan Sun memeriksa kepala yang bulat itu.
Ternyata tidak ada yang luka.
"Tidak ada yang bonyok, Iosuhu," katanya.
"Juga tidak pecab-pecah? Sukurlah ...... Omitohud ...... !
Toanio, yang di dalam bukan siluman, melainkan manusia betina setengah si luman. Toat-beng Kui-bo dari Lam-hai (Laut Selatan) !" Baik Kong Ji maupun Ang-jiu Mo-li yang selama ini hanya merantau di daerah utara dan selatan tidak sampai di pantai Laut Selatan, tidak mengenal nama ini. Berbeda dengan Hwa Thian Hwesio yang memang berasal dari kota kecil di dekat pantai selatan. Oleh karena tidak mengenal nama mendengar laporan ini, Kong Ji dan Ang.jiu Mo-li berkelebat memasuki kuil itu. Akan tetapi mereka berseru kaget dan melompat mundur lagi karena tiba-tiba di ambang pintu kuit itu muncul seorang nenek yang amat menakutkan. Toat-bong Kui-bo (Biang Iblis Pencabut Nyawa). Nenek ini tertawa cekikikan dan di bawah lengan kirinya terkempit tubuh Li Hwa yang tak berdaya karena nyonya ini masih berada dalam keadaan tertotok.
Melihat manusia luar biasa yang mengerikan ini, Ang-jiu Mo-li sendiri yang sudah dijuluki Mo-li (Iblis Betina), masih menjadi kaget setengah mati. Juga Kong Ji yang mempunyai watak seperti iblis , melihat nenek ini berdiri bulu tengkuknya. Hampir berbareng, seperti sudah janji lebih dulu, dari tangan Ang-jiu Mo-li menyambar sinar putih dan dari tangan Kong Ji mcnyambar sinar hitam yang kesemuanya menuju ke arah jalan darah di tubuh nenek itu.
Tiga buah Pat-kwa-ci (Biji Segi De lapan) yang lihai dari Angjiu Mo-li dan lima batang Hek-tok.ciam (Jarum Racun Hitam) dari Kong Ji menyerang cepat.
Akan tetapi, sekali nenek itu menggerakkan tangan kanan yang memegang tongkat panjang, ujung lengan bajunya melambai. Dari lambaian ini ke luar angin yang menyapu delapan buah senjata rahasia itu runtuh semua.
Ang-jiu Mo-li dan Liok Kong Ji terkejut. Mereka bersiap untuk menggempur nenek itu.
Akan tetapi Toat-beng kui-bo tertawa cekikikan dan berkata.
"Manusia-manusia tak kenal malu. Di rumah orang jangan membikin rusuh. Ataukah kalian berani menghina dua kakek tua bangka dari Omei-san?" Mendengar bentakan ini, dua orang itu tertegun. Tentu saja mereka tidak berani menghina dua orang kakek sakti di Ome i san. Toatbeng Kui-bo sambil tertawa-tawa lalu berjalan terbongkok-bongkok pergi dari situ.
"Lepaskan dia......... Kong Ji barseru sambil rnencabut Cheng-liong-kiam, pedang rampasan dari Li Hwa. Melihat pedang itu, Toat-beng Kui-bo menyeringai dan tiba-tiba tubuhnya melayang cepat menyambar ke arah Kong Ji.
Tangannya terayun dan dengan gerakan hebat menghantam kepala Kong Ji. Baru kali ini Kong Ji menghadapi serangan yang demikian berbahayanya. Cepat ia mengelak, akan tetapi tahu-tahu pedangnya terpukul tongkat dan terlepas dari pegangan. Pedang itu mencelat ke atas dan tubuh nenek itu bagaikan seekor burung hantu yang besar, melayang pula ke atas dan di lain saat pedang itu telah berada di tangannya!
"Hi-hi-hi. Cheng-liong kiam, Kenapa berada di tangan bocah ini?" katanya dengan suara ketawa meringkik seperti kuda.
"Itu pedangku, dirampas olehnya," kata Li Hwa perlahan.
Nyonya ini tertotok dan tubuhnya lumpuh, namun masih dapat membuka suara.
Mendengar ini, Toat-beng Kui-bo melanjutkan perjalanannya, sama sekali tidak memperdulikan Kong Ji yang berdiri melongo. Kong Ji menjadi marah dan penasaran sekali. Sambil mengeluarkan seruan keras ia hendak mengejar. Tak mungkin ia dikalahkan begitu saja. Juga Ang jio Mo-li yang kini melihat bahwa wanita yang dibawa Toatbeng Kui-bo itu adalah wanita yang dulu ia lihat bersama Wan Sin Hong lalu mendahului Kong Ji dan melompat melakukan pukulan dengan tangan merahnya, menampar muka yang seperti iblis itul Menghadapi pukulan ini, Toat-beng Kui bo kaget dan tidak berani memandang rendah. Ia rnelompat mundur dan tiba-tiba dari mulutnya keluar suara mendesis dan dari atas menyambar turun lima ekor kelelawar raksasa! Binatangbinatang aneh ini menyambar-nyambar di atas kepala Angjiu Mo-li dan Liok Kong Ji yang hendak menyerang Toat-beng Kui bo, seakan-akan hendak melindungi nenek itu.
"Kelelawar berbisa ..... !" Hwa Thian Hwesio yang mengenal kelelawar yang hidup di dalam gua-gua di pantai laut selatan itu cepat menyeret Wan Sun dan Wan Bi Li dan membawa mereka lari memasuki kuil untuk bersembunyi.
Setelah Ang-jiu Mo-li memanggilnya dari luar baru hwes io gundul gemuk ini berani mengajak mereka keluar. Ternyata kelelawar-kelelawar itu sudah lenyap bersama Toat beng Kui bo. Juga Liok Kong Ji tidak kelihatan lagi.
"Ke mana siluman itu? Mana pula Liok Kong Ji?" tanya Thian Hwesio sambi l celingukan.
"Mareka sudah pergi," jawab Ang-jiu Mo-li singkat.
Demikianlah penuturan Hwe Thian Hwesio kepada Wan Sin Hong. Sebagai penutup penuturannya, Hwa Thian Hwesio berkata, "Nah, Ang-jiu Mo-li dan dua orang muridnya melanjutkan perjalanan ke puncak dan pinceng mengambil jalan lain. Di sini pinceng melihat orang-orang itu naik, maka pinceng bersembunyi di dalam rumput-rurnput. Tak tahunya bertemu dengan s icu di sini." Ia lalu tersenyum lebar.
Sin Hong tertarik sekali oleh penuturan ini. Terutama sekali tentang Li Hwa. Isterinya itu telah bebas dari tangan Kong Ji dan kini berada di tangan Toat-beng Kui-bo. Akan tetapi mengapa tadi ia tidak melihat Li Hwa bersama nenek itu? Di mana adanya Li Hwa? Juga penuturan bahwa dua orang bocah yang menjadi murid Ang-jiu Mo-li itu ternyata putera-puteri Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li membuatnya tercengang. Akan tetapi karena tahu bahwa Ang-jiu Mo-li memiliki kepandaian tinggi, diam.diam ia merasa bersyukur bahwa anak-anak Wanyen Ci Lun mendapatkan guru yang pandai.
Biarpun ia sudah tidak ada urusan dengan Liok Kong Ji dan berarti tidak ads urusan dengan Omei-san, akan tetapi oleh karena isterinya kini berada di tangan Toat-beng Kui-bo yang naik ke puncak, terpaksa Sin Hong melanjutkan perjalanan ke puncak Omei-san untuk mengejar Toat-beng Kui-bo dan menuntut dikembalikannya isterinya. Sambil menyambar tubuh Lee Goat yang dipondongnya. Sin Hong berlari cepat sekali sehingga sebentar saja Hwa Thian Hwesio tertinggal jauh.
***
Sementara itu, di lain bagian dari Gunung Omei-san di dekat puncak, seorang pemuda tanggung diserang hebat oleh dua ekor burung Pek.thouw-tiauw, semacam burung rajawali yang besar sekali dengan kepala putih. Dua ekor burung raksasa itu sambil mengeluarkan suara cecowetan menyambar-nyambar ke arah pemuda tanggung itu. Pemuda itu bukan lain adalah Tiang Bu. Menghadapi serbuan dua ekor burung yang berbahaya ini, Tiang Bu menyambar sebatang ranting pohon. Dengan senjata istimewa ini ia melindungi diri sedapat mungkin. Burung raksasa itu beratnya sedikitnya ada lima ratus kati, maka sambarannya dapat dibayangkan betapa hebatnya. Mungkin ada seribu kati. Dua burung sehebat ini hendak menjadikan bocah itu sebagai mangsanya. Biarpun amat kewalahan menghadapi serbuan dua ekor binatang raksasa ini, namun Tiang Bu tak pernah minta tolong. Ia mainkan ranting kayu itu dengan gerakan cepat, sambil mengatur langkah dan mengelak setiap kali burung raksasa itu menyambar dengan paruh besar dan cakar mengerikan di depan. Beberapa kali Tiang Bu sudah dapat menusuk tubuh binatang-binatang itu dengan rantingnya akan tetapi seakan-akan tidak terasa oleh Pek-thouw-tiauw itu.
Bagaimana Tiang Bu bisa berada dalam keadaan demikian berbahaya? Bukankah tadi ia berjalan diikuti oleh Thai Gu Cinjin dan Kwa Kok Sun, dua orang yang amat berbahaya dan mengancam keselamatannya ? Memang demikian. Tadinya Tiang Bu memikul pikulan airnya, berlari naik ke puncak diikuti oleh Thai Gu Cinjin dan Teetok Kwan Kok Sun. makin lama Tiang Bu makin mempercepat larinya dan ia sengaja membawa dua orang itu melalui jalan yang paling sukar, yaitu di daerah yang yang paling liar di mana ia biasa berlatih Ilmu Lari Liap-In-sut dengan gurunya. Setelah tiba di daerah ini, ia lalu mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, berlompatan dengan lincah sekali. Lebih dulu ia melempar pikulannya agar tidak menghalangi getakan-gerakannya.
"Hai, tungau......... !" seru Thai Gu Cinjin, kaget melihat betapa bocah itu tiba-tiba demikian gesit gerakannya. Ia mengerahkan tenaga untuk mengejar.
Juga Tee-tok Kwan Kok Sun segera tertinggal oleh Tiang Bu. Dalam hal ilmu silat, sangat boleh jadi Tiang Bu belum dapat mengimbangi mereka, akan tetapi Ilmu Lari dan Lompat Liap in-sut adalah ilmu ginkang yang s angat tinggi.
Maka begitu Tiang Bu tiba di daerah ini dan mempergunakan ilmunya, dua orang pengejarnya itu tcrtinggal jauh.
"Tiang Bu, berhenti! Kalau tIdak, kuhancurkan kepalamu!" Thai Gu Cinjin memaki-maki dan menyumpahnyumpah, akan tetapi Tiang Bu bukan anak bodoh dan berlari terus dengan cepatnya.
Tiba-tiba Tiang Bu mendengar suara angin dari belakang.
Cepat ia mengelak dan bebe rapa butir batu kecil yang disambitkan oleh Thai Gu Cinjin lewat di dekat tubuhnya.
Kembali terdengar suara senjata rahasia dan secepat mungkin Tiang Bu mengelak ke kiri. Beberapa sinar hitam lewat cepat sekali. Inilah senjata rahasia jarum-jarum berbisa yang berwarna hitam. yang dilepas oleh Tee-tok Kwan Kok Sun. Jarum-jarum berbisa ini disebut Hek-tokciam (Jarum Racun Hitam) yang dulu merupakan kepandaian istimewa dari mendiang ayahnya. See-thian Tokong.
Juga Liok Kong Ji mewarisi kepandaian ini dari See- thian Tok-ong. Senjata-senjata ini berbahaya sekali, sedikit saja mengenai kulit, racunnya akan bekerja, ikut bersama darah dan meracuni seluruh tubuh!
Didesak oleh senjata rahasia-rahasia yang dilepaskan bertubi-tubi dari belakang oleh orang-orang yang memiliki tenaga besar ini Thing Bu menjadi sibuk juga. Untuk berhenti dan melawan, ia maklum takkan dapat menang.
Lebih baik berlari terus sambil mengelak dari setiap serangan amgi (senjata gelap atau senjata rahasia), pikirnya.
Maka dipercepat larinya. Ia tidak dapat cepat-cepat terbebas dari kejaran dua orang itu karena baik kedua pengejarnya, terutama sekali Thai Gu Cinjin, memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat pula.
Pada saat itulah tiba-tiba dari angkasa raya terdengar pekik nyaring dan dua ekor burung rajawali kepala putih itu menyambac turun, langsung menyerang Thai Gu Cinjin dan Tee-tok Kwan Kok Sun. Thai Gu Cinjin mengayun tongkatnya dan Kwan Kok Sun mengirim pukulan.
Terdengar suara berdebuk dan dua ekor burung itu terpental ke udara. Akan tetapi tubuh mereka kuat sekali karena mereka tidak tewas, melainkan terkejut dan be terbangan di atas s ambil cecowetan.
"Siapa berani memukul Pek thouw-tiauw kami ?" terdengar suara halus dan tiba-tiba muncul seorang lakikaki gagah bersama seorang wanita cantik. Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan sikap mereka gagah sekali. Inilah jago dari Pantai Timur, Pekthouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya yang bernama Souw Cui Eng, Lie Kong selamanya merantau ke luar lautan bersama isterinya, menjelajah pulau-pulau terdekat dengan Tiongkok dan karena itu, ia sama sekali tidak dikenal oleh orang-orang dari lain daerah. Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun yang datang jauh dari barat juga tidak mengenalnya. Maka Thai Gu Cinjin membentak marah !"
"Jadi kau yang punya burung liar itu ? Bagus! Burung liarmu datang-datang menyerang orang dan kau bilang kami memukulnya? Benar-benar kurang ajar sekali !" Lie Kong tersenyum dan berkata tenang. "Burung-burung kami sudah terlatih baik, tak mungkin mau menyerang orang yang tak berdos a. Kalian tentu melakukan sesuatu yang tidak benar kalau sampai diserang oleh burung-burung kami." Melihat sikap yang tegas dan tenang dari Lie Kong, juga melihat sikap wanita di sebelahnya yang nampak gagah.
Thai Gu Cinjin menahan kemarahan hatinya.
"Enak saja kau menuduh orang. Kami sedang mengejar seorang bocah setan. yang menipu kami dan tahu-tahu dua ekor burungmu telah menyerang kami."
"Nah, itulah ! Kalian mengejar seorang bocah. tentu saja burung kami menganggap kalian berlaku keterlaluan dan ingin membela bocah itu. Salah kalian sendiri !" kata Li Kong mentertawai.
Kesabaran orang ada batasnya. Tee-tok Kwan Kok Sun tidak biasa dihina orang, maka melihat sikap pemilik burung itu darahnya sudah meluap. Dengan geraman menyeramkan ia lalu menubruk maju dan mengerjakan kedua tangan mengirim pukulan Hek-tok-ciang sambil berseru, "Burungnya jahat, pemiliknya gila. Minggirlah !" Pukulan Hek-tok.ciang atau pukulan Racun Hitam bukan main hebatnya. Jarang ada orang dapat menahan pukulan ini. Juga tidak berani menangkis karena pertemuan tangan saja dapat melekat. Orang lain tentu akan mengelak kalau menghadapi pukulan maut ini.
Akan tetapi, Lie Kong yang berkepandaian tinggi dan sudah banyak mengalami hal-hal aneh di luar lautan, bersikap tenang sekali. Dari warna tangan yang berubah hitam itu maklumlah ia bahwa lawannya mempergunakan tangan "berisi" yaitu tangan yang sudah dilatih lebih dulu untuk mclakukan pukulan istimewa yang berbisa.
Dengan gerakan lambat ia mengulur tangan dan menyentil dengan kuku jarinya, tepat ke arah jalan darah di dekat pergelangan tangan. Akibatnya, bukan Lie Kong yang mengelak, bahkan Kwan Kok Sun yang menahan pukulannya karena kalau dilanjutkan, mungkin ia akan tertotok! Racun Bumi ini merubah scrangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar desir angin dari kiri dan isteri Lie Kong sudah menyambutnya dengan sebuah tendangan kilat.
"Manusia tak tahu malu, mampuslah!" Kwan Kok Sun lagi-lagi harus melompat dan mengelak karena dari hawa tendangan saja maklumlah ia bahwa ia tidak akan dapat menahan tendangan sang amat kuat ini.
Tak lama kemudian bertempurlah Kwan Kok Sun melawan Souw Cui Eng yang ternyata lihai sekali. Juga wanita ini sikapnya gagah, karena melihat Kwan Kok Sun tidak mengeluarkan senjata iapun tidak mau mencabut pedangnya melainkan menggunakan kaki tangannya untuk menghadapi Racun Bumi itu.
"Tiauw ko ( Burung Rajawali ) ! Kaujaga anak itu jangan boleh lari !" kata Lie Kong kepada dua ekor burungnya sambil menghadang Thai Gu Cinjin.
Hweaio Lama ini sudah mengayun tongkatnya, akan tetapi Lie Kong menggerakkan tangan dan......... tongkat itu ditangkis be gitusaja dengan lengannya, akan tetapi cukup membuat tongkat itu terpental dan tangan Thai Gu Cinjin gemetar ! Dari tangkisan ini saja sudah dapat dilihat bahwa kepandaian Lie Kong benar-benar hebat sehingga Thai Gu Cinjin menjadi jerih dan mengeluh di dalamhati. Beberapa kali ia bertemu dengan orang-orang pandai, yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari padanya. Padabal kalau berada di Tibet, jarang ada orang yang dapat mengimbangi kepandaiannya!
"Kalian ini pendeta-pendeta tak tahu aturan. Di tempat orang lain berani berlagak, apakah tidak menaruh hormat kepada tuan rumah?" Lie Kong membentak karena dia sendiri di tempat ini merasa sungkan untuk bertempur dengan orang lain.
Teguran ini membuat Thai Gu Cinjin makin gentar. Tentu saja ia tidak berani memandang rendah kepada tuan rumah yang ia ketahui adalah dua orang yang sakti. Maka mendengar ani, ia lalu berseru kepada Kwan Kok Sun.
"Tee-tok, mari kita pergi !" Juga Tee-tok Kwan Kok Sun merasa penasaran sekali karena dilawan oleh seorang wanita yang bertangan kosong saja ia tidak mampu mengalahkannya. Apalagi kalau wanita ini mencabut pedang atau lebih-lebih lagi laki-laki itu!
Baiknya ia tadi belum mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu ular-ular hidup. Kalau ia sudah mengeluarkan senjata dan mereka sudah bertempur mati-matian, agoknya sukar untuk menghentikan pertempuran. Kini mendengar seruan kawannya, ia melompat mundur sambil berkata, "Toanio benar-benar lihai sekali!" Sambil berkata demikian, sebelum mundur ia mengadu lengannya dengan lengan lawan sambil mengerahkan tenaga Hek-tok-ciang dengan maksud melakukan pukulan gelap. Orang lain kalau terkena pukulan ini pasti akan kemasukan racun hitam melalui hawa pukulan yang tetap akan merupakan racun berbahaya sekali. Akan tetapi ketika lengan tangannya yang kasar itu beradu dengan lengan tangan lawan, ia merasai kulit lengan yang halus empuk dan panas bukan main, rasa panas yang menjalar terus ke kulit lengannya sendiri sehingga serasa kulit lengannya terbakar ! Ketika ia melompat mundur dan melihat ke arah lengannya ternyata di dekat pergelangan lengan terdapat tanda bintik merah dua buah, tanda bahwa ia telah terkena pukulan rahasia orang ! Celaka, bukan lawan yang menderita, bahkan dia yang terluka !
Souw Cui Eng tersenyum. "Sobat beracun kau lihai sekali. Hadiahmu pukulan beracun tadi baiknya sudah kulihat Lebih dulu dan dapat membalas budimu." Setelah berkata demikian, nyonya itu tersenyum manis berpaling kepada suaminya, Dengan mendongkol sekali Kwan Kok Sun mengikuti Thai Gu Cinjin melanjutkan perjalanan ke puncak. Dia tidak usah khawatir akan luka di tangannya karena sebagai ahli racun tentu saja ia pandai mengobati luka-luka karena pukulan atau karena racun.
Sementara itu, seperti telah dituturkan bagian depan, Tiang Bu sibuk sekali menjaga diri dari serbuan dua ekor Pek thouw yang menyerbunya. Sambil berlari dia berloncatan ke sana ke mari, Tiang Bu berada jauh dari tempat pertempuran tadi. Dan dua ekor burung itu dalam usaha mereka mentaati perintah majikan, yaitu untuk menjaga jangan sampai Tiang Bu lari, lalu menyerang dengan maksud menangkap bocah itu. Akan tetapi sungguh tak terduga, bocah yang dise rangnya ternyata bukanlah makanan empuk dan bukan saja melawan serta selalu menghindarkan diri bahkan juga dapat membalas serangan mereka dengan sebatang ranting. Hal ini memarahkan dua ekor binatang itu yang serta menyerang dengan sungsuhsungsuh, membuat Tiang Bu sibuk bukan main.
Tiba-tiba dari bawah melayang dua sinar hitam yang panjang dan bentuknya seperti ular. Dua "ular" ini menyambar ke arah sepasang Pek thouw-tiauw secara luar biasa cepatnya dan......... di lain saat dua ekor burung yang ganas itu jauh ke bawah, meronta-ronta sambil cecowetan.
Ternyata bahwa dua buah sinar yang seperti ular itu adalah dua helai tambang yang dilontarkan orang secara isrimewa dan secara aneh pula telah dapat menelikung dua ekor burung itu di udara.
Dua ekor Pek-thouw-tiauw itu roboh dalam keadaan tertelikung bagian leher, sayap dan kakinya sehingga seperti ayam yang hendak direbus !
Pek-thouw-tiauw ong (Raja Burung Rajawali Put ih) Lie Kong dan isterinya yang sudah ditinggal lari oleh Thai Gu Cinjin dan Kwen Kok Sun, kaget bukan main melihat dua ekor burung mereka roboh di atas tanah, meronta-ronta sambil berteriak kesakitan dan kebingungan. Mereka tak percaya bahwa bocah itu yang merobohkan dua ekor burung itu. Akan tetapi ketika mereka berlari-lari menghampiri, tibatiba mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat mendahului mereka menyambar tubuh Tiang Bu dan di lain saat bocah itu sudah lenyap! Suami isteri yang berkepandaian tinggi ini hanya melihat bentuk bayangan orang yang tinggi kurus, akan tetapi tidak dapat mengenal orangnya saking cepatnya gerakan itu "Bukan main......!" Lie Kong menggeleng-geleng kepala ketika melihat dua ekor burungnya telah terikat tambang.
"Salama hidupku belum pernah aku menyaksikan kehebatan seperti ini. Siapa lagi yang dapat me lakukan semua itu kalau bukan manusia dewa itu?" Ia lalu melepaskan ikatan yang membuat dua ekor binatang peliharaannya yang istimewa itu tak berdaya, dibantu oleh isterinya.
Adapun Tiang Bu begitu melihat dua ekor burung itu roboh dan merasai angin mendesir sudah tahu bahwa gurunya yang ke dua, Tiong Jin Hwesio yang datang menolongnya. Benar saja, tak lama kemudian ia melihat bayangan gurunya ini berkelebat dan di lain saat lengannya sudah ditarik dan ia dibawa lari seperti terbang cepatnya.
"Pertemuan yang menarik sekali. kau harus menyaksikan untuk menambah pengalaman!" Hanya demikian kata-kata Tiong Jin Hwesio, dan tak lama kemudian gurunya ini sudah tiba di tanah lapang yang terbuka, letaknya di sebelah kiri tempat tinggal mereka. Lapangan terbuka ini memang sengaja dibuat oleh dua orang kakek itu untuk tempat berlatih pernapasan dan menjemur diri menampung kekuatan dari sinar matahari. Di sini pula Tiang Bu biasanya berlatih ilmu silat. Ketika Tiang Bu tiba di situ, is melihat gurunya yang pertama, Tiong Sin Hwesio, sudah duduk bersila di tempat yang biasa. Kakek ini mengangguk melihat muridnya datang, lalu katanya perlahan, "Apapun yang kaulihat nanti, jangan mengeluarkan suara dan jangan bergerak."
"Baik, suhu." kata Tiang Bu memberi hormat lalu ia mengambil tempat duduknya sendiri, yaitu di belakang dua orang gurunya yang duduk berdampingan di atas batu hitam. Tiang Bu duduk di atas batu hitam pula. tepat di belakang Tiong Sin Hwcsio. Iapun be rsila seperti orang bersamadhi. Akan tetapi dalam keadaan setegang itu, mana ia mampu bersamadhi mengumpulkan panca indera? Ia bahkan diam-diarn melirik ke kanan kiri, memperhatikan tempat itu dengan penuh perhatian.
Ke adaan sunyi saja. Suara yang terdengar hanya suara daun pohon kembang yang tumbuh dia belakang tempat mereka duduk. Pohon inilah pohon satu satunya yang berada di situ dan kembangnya yang herwarna putih itu memenuhi tangkai dan dahan. Baunya sedap dan sejuk, dan apabila ada angin bertiup, bunga-bunga itu rontok berhamburan dan daun-daun bunga yang kecil-kecil memenuhi tempat itu, bahkan ada yang menjatuhi kepala Tiang Bu dan dua orang gurunya, akan tetapi mereka diam saja.
Matahari sudah naik tinggi dan sebentar lagi tengah hari akan tiba.
Mulailah terdenger suara dan tak lama kemudian dari depan, kanan dan kiri mulai bermunculanlah orang-orang yang dinanti-nanti oleh dua orang guru dan seorang muridnya ini. Biarpun dua orang guru besar itu masih menundukkan muka dan sedikitpun tidak perduli, namun Tiang Bu tak dapat tinggal diam tanpa mengacuhkan mereka. Anak ini diam-diam memasang mata dan melihat teliti siapa-siapa yang datang.
Pertama-tama, muncullah Toat beng Kui-bo yang berjalan terbongkok-bongkok dibantu oleh tongkatnya. Benar-benar mengherankan sekali bagaimana nenek bongkok yang jalannya lambat-lambat itu bisa tiba di sini paling dulu.
Hampir berbareng, muncul pula Ang-jiu Mo-li yang kedua tangannya menggandeng Wan Sun dan Wan Bi Li. Kalau Toat-beng Kui-bo hanya mengangkat tongkat dan sedikit membungkuk ke arah Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio sebagai penghormatan yang aneh tanpa mengeluarkan sepatah kata, adalah Ang-jiu Mo-li bersikap lain. Wanita cantik ini merangkap kedua tangan di dada, menghadap ke arah dua orang kakek itu sambil berkata perlahan.
"Jiwi locianpwe, aku yang rendah Ang-jiu-cu (Si Tangan Merah) datang rnenghadap!" Tanpa mengangkat muka, dua orang kakek itu merangkap kedua tangan di depan dada dan membungkuk sedikit selaku penghormatan penganut Agama Buddha, pertama-tama ke arah Toat-beng Kui-bo, kemudian ke arah Ang-jiu Mo-li. Samua ini dilakukan tanpa mengangkat muka ! Tiang Bu melihat betapa dua orang murid Ang-jiu Mo-li memandang kepadanya dengan pandang mata terheranheran.
Akan tetapi Tiang Bu pura-pura tidak melihat kepada mereka, hanya mengerling sebentar lalu mengalihkan pandang dari sudut matanya ke arah orang-orang lain yang datang.
Ia melihat kedatanganWan Sin Hong dengan jantung berdebar. Juga lagi-lagi ia dibikin kagum dan terguncang melihat bocah perempuan yang datang bersama Sin Hong.
Benar-benarkah bocah itu bukan adiknya, Lee-Goat? Kini ia melihat bocah perempuan itu juga memandang kepadanya dengan tajam kemudian ia melihat betapa sepasang mata bccah itu menjadi basah oleh air mata. Tak salah lagi, dia itu Lee Goat Demikian pikir Tiang Bu, akan tetapi ia tidak berani mengeluatkan suara. Kalau orang-orang lain agak terheran melihat Tiang Bu duduk bersila di belakang dua orang kakek itu, hanya Sin Hong yang tidak merasa heran.
Ia sudah menyangka bahwa Tiang Bu tentu diambil murid oleh dua orang kakek sakti dari Omei.san. Sekarang melihat betapa betul-betul Tiang Bu menjadi murid orangorang sakti, diam-diam ia merasa girang sekali, akan tetapi juga ia merasa gelisah kalau te ringat akan Kong Ji.
Kong Ji sudah tahu bahwa Tiang Bu adalah anaknya, bagaimana kalau nanti Tiang Bu mengetahui ayahnya yang sebenarnya? Bagai mana nant i kalau Kong Ji membuat ribut di sini ? Akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya dan dengan penuh penghormatan memberi hormat ke arah dua orang kakek itu.
"Boaopwe Wan Sin Hong memberi hormat kepada jiwi locianpwe yang terhormat." Tiong Jin Hwesio mengangkat muka dan tersenyum ke arah Wan Sin Hong.
"Wan-bengcu yang terhormat berkenan datang mengunjungi tempat kami yang buruk. Selamat datang......... selamat datang ...... !" Berturut-turut datang Liok Kong Ji dan kawankawannya.
Se lain Pak-kek Sam-kui dan Bu tek Sin-ciang Bouw Gun, masih banyak terdapat tokoh-tokoh selatan yang dikepalai oleh Lo Thong Hosiang dan tokoh-tokoh selatan lain. Juga muncul Pek-thouw. tiauw-ong Lie Kong dan isterinya, membawa sepasang burung rajawali yang besar.
Jumlah semua orang yang kini berada di tempat itu tidak kurang dan empat puluh orang !
Diam-diam Tiang Bu mendapat kenyataan bahwa Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun tidak kelihatan di situ. Hal ini membuat curiga sekali. Akan tetapi taat akan larangan suhunya, ia diamsaja. Di lain pihak, Sin Hong me rasa heran juga melihat hadirnya beberapa orang tokoh utara, diantaranya ia lihat Bu Kek Siansu, Pang Soan Tojin, dan Ci Lien Tojin. Akan tetapi karena ia tadi sudah mendengar penuturan Hwa Thian Hwesio, ia tidak begitu heran lagi, bahkan mengherankan mengapa Hwa Thian Hwesio yang gemuk itu belum juga muncul di situ.
Setelah melihat para tamunya yang tak diundang datang memenuhi tempat itu Tiong Jin Hwesio mengangkat muka.
Mata tuanya masih amat tajam dan sekali sapu dan pandang matanya ia sudah dapat mengetahui siapa-siapa orangnya yang datang pada saat itu. Tangannya kanan kiri meraup dua genggam rontokan daun bunga putih, lalu katanya tenang-tenang.
"Cuwi sekalian tanpa diundang telah hadir. Pinceng tak dapat menyuguh apa-apa kecuali rontokan bunga, siapa yang tidak dapat menerimanya harap segera pergi lagi saja!" Setelah berkata demikian, hwesio tua ini menggerakkan kedua tangannya dan ...... daun-daun bunga putih itu meluncur cepat, setiap he lai menyambar ke arah seorang tamu. Hanya dua orang murid Ang-jiu Mo-li, seorang murid Wan Sin Hong, dan dua ekor burung rajawali itu saja yang terhindar dari sambaran rontokan bunga !
Semua orang tcrkejut dan otomatis mengangkat tangan menyambut sumbaran bunga itu. Mereka rata-rata adalah jago-jago silat kenamaan yang berkepandaian tinggi. Baru mendaki gunung ini dan bisa mencapai puncak saja sudah menjadi tanda bahwa mereka itu memiliki kepandaian tinggi.
Maka tanpa ragu-ragu semua orang mengangkat tangan mene rima rontokan bunga putih yang kecil itu.
Akan tetapi akibatnya hebat. Segera terdengar pekik kesakitan susul-menyusul diikuti rubuhnya banyak orang ke belakang ! Ternyata bahwa rontokan daun bunga yang kecil itu kitika mengenai tangan ada yang menancap dan ada pula yang menggetarkan serta melumpuhkan seluruh tangan.
Bahkan ada yang tidak kuat menahan hawa dorongan yang luar biasa hingga roboh terguling ke belakang !
Tak usah dibilang lagi betapa kaget dan takut hati mereka yang tidak kuat menerima timpukan daun bunga tadi. Tanpa berkata apa-apa lagi mereka lari turun dari puncak dan tempat itu sebentar saja menjadi sepi karena lebih banyak yang lari turun daripada yang tinggal. Yang masih herdiri di situ karena kuat mererima timpukan tadi adalah Wan Sin Hong, Ang-jiu Mo-li, Toat-beng Kui bo, Liok Kong Ji, Bouw Gun, Pak kek Sam-kui, delapan orang tokoh selatan termasuk Le Thong Hosiang, dan tiga orang tokoh utara serta suami isreri pemilik burung-burung rajawali, Pek-thouw-tiauw ong Lie Kong dan isterinya. Masih ada beberapa orang lagi dan jumlahnya hanya dua puluh tiga orang. Yang lain semua lari.
Tiong Jin Hwesio tersenyum. Tiong Sin Hwsio masih tetap duduk sambil meramkan mata, sama sekali tidak menghiraukan yang terjadi di situ.
"Cuwi sudah dapat menerima suguhan pinceng dengan baik. bagus sekali! Itu menjadi tanda bahwa cuwi sekalian cukup berharga untuk merundingkan sesuatu dengan kami.
Kalau pinceng tidak salah sangka, cuwi sekalian para tokoh kang-ouw dari daerah selatan hendak membujuk kami supaya suka menjadi bengcu. Bukankah demikian kehendak cuwi?"
"Betul demikian dan kami harap locianpwe berdua takkan menolak. Bahaya perang sudah di depan mata. Kaum kang-ouw terpecah belah. Kalau bukan jiwi locianpwe yang rnemimpin kami, siapa lagi?" jawab Le Thong Hosiang tokoh Tai yung pal yang mewakili kawan-kawannya.
Kembali Tiong Jin Hwesio tersenyum ramah. "Belum pernah ada di dunia kang-ouw diangkat dua orang bengcu.
Bukankah sudah ada seorang bengcu yang amat baik di dunia kangouw dan sekarang bahkan hadir di sini? Bukankah Wan-bengcu biarpun masih amat muda merupakan pemimpin yang baik sekali. Pinceng sudah banyak mendengar kebaikan-kebaikan dan jasa-jasanya."
"Akan tetapi dia adalah keturunan Wanyen keluarga Raja Kin! Mana bisa kami mempunyai bengcu seorang keturunan musuh ratyat? Hanya orang-orang utara yang tolol mau memilih dia!" kata Le Thong Hosiang sambil memandang kepada semua orang yang hadir, lalu berkata, "Bukankah di sini terdapat pula saudara-saudara yang mewakili daerah utera?" Bu Kek Siansu, ketua Bu-tong-pai yang bertubuh tinggi kurus dan berjenggot panjang, menjura sambil menjawab.
"Pinto dari Bu-tong-san mewakili sobat-sobat dari utara untuk mengunjungi jiwi twa-suhu menghaturkan hormat.
Memang betul dahulu kami telah memilih Wan Sin Hong sicu untuk menjadi bengcu berdasarkan kepandaiannya yang tinggi dan memang harus kami akui bahwa Wan-sicu adalah seorang gagah pe rkasa. Akan tetapi setelah kami ketahui bahwa dia adalah keluarga raja, kami mangambil keputusan untuk membebaskannya dari tugas bengcu. Kami yang tidak sudi menjadi kaki tangan kaisar penjajah tentu saja tidak mau mempunyai bengcu keluarga kaisar.
Kenudian kami mendengar bahwa jiwi twa-suhu berdiam di mei-san dan mengingat babwa jiwi adalah ahli waris dari Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Cawsu, sudah sepatutnya kalau jiwi memegang pucuk pimpinan para orang gagah sedunia agar segala pertentangan dapat dilenyapkan dan semua tenaga dapat dicurahkan untuk melindungi rakyat jelata dari pada penindasan kaum penjajah dari manapun juga." Tiong Jin Hwesio menggeleng-geleng kepalanya.
"Omitohud, alangkah sempitnya pandangan orang sekarang!" Ia menoleh kepada Sin Hong dan berkata kepada Bu Kek Siansu. "Binatang boleh dipilih jenisnya untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Akan tetapi manusia tak mungkin dapat dilihat baik buruknya dari keturunan maupun keadaan lahirnya. Wan-bengcu adalah murid dari mendiang Pak Kek Siansu yang masih sealiran dan sstingkat dengan kami. KalauWan bengcu dapat melakukan tugasnya dengan baik, mengapa menggantinya? Kami dua saudara tidak mau mencampuri urusan dunia mengapa kalian mendesak? Pulanglah, pulanglah. Biar Wan bengcu, memimpin kalian, pasti semua beres." Sambil berkata demikian Tiong Jin Hwesio melambai-lambaikan tangan mengusir semua orang supaya pergi.
Liok Kong Ji melompat maju. Dia tahu betapa lihainya dua orang kakek Omei-san itu. Baru sambitan daun bunga saja tadi ketika ia menyambutnya, telapak tangannya sudah terasa kcsernutan. Ia tahu bahwa kalau daun bunga itu diganti dengan benda keras biarpun kepandaiannya tinggi, ia takkan sanggup menerima sambi tan kakek yang lihai itu.
Dua orang kakek yang berilmu tinggi ini akan menjadi pembantu-pembantu yang tak ternilai harganya bagi pergerakan Temu Cin, akan tetapi juga dapat menjadi lawan yang amat berat. Oleh karena itu, ia harus berdaya menarik dua orang kakek ini di pihaknya atau kalau tidak berhasil membasmi mereka!
"Jiwi locianpwe bicara dengan tepat dan bijaksana sekali," Kong Ji mulai berkata dengan suara lantang.
"Orang-orang yang sudah tua seperti jiwi locianpwe memang sudah sepatutnya tidak diganggu lagi dengan urusan duniawi sehingga jiwi dapat tekun menenteramkan batin." Tiong Sin Hwesio yang sejak tadi meramkan matanya, kini membuka mata dan semua orang mclihat betapa sinar mata hwesio ini sudah layu dan tak parsemangat seperti orang yang menderita sakit berat. Memang sesungguhnya hwesio tua ini sudah lama mende rita sakit, sakit tua yang membuat semangatnya bosan tinggal di tubuh tua itu.
"Pinceng mendengar lagu indah dinyanyikan secara sumbang," katanya sambil menatap wajah Kong Ji "Sicu siapakah?" Biarpun pandang mata dan suaranva sudah lemah, namun dalam sikap kakek tua ini membayangkan pengaruh luar biasa dan membuat orang mau tak mau menaruh segan dan hormat. Sekelebatan kakek ini sepeti gambar Nabi Locu yang kecil tubuhnya, tua sekali bongkok dan jenggotnya sudah putih semua. Berbeda dengan Tiong Jin Hwesio yang tidak berambut dan tidak berjenggot, adalah Tiong Sin Hwesio ini kepalanya ditumbuhi beberapa helai rambutrambut di pinggirnya, rambut-rambut putih halus seperti benang sutera. Juga jenggotnya halus dan putih.
Kong Ji cepat memberi hormat kepada kakek itu. "Te ecu bernama Liok Kong Ji, nama yang tidak terkenal bagi losuhu. Akan tetapi akan menjadi berarti kalau teecu memberi tahu bahwa anak muda yang duduk di belakang jiwi losuhu itu adalah puteraku !" Orang yang merasa paling terkejut mendengar pengakuan ini adalah Tiang Bu sendiri. Hampir saja ia menjerit "bohong!" kalau saja ia tidak ingat dan taat akan pesan gurunya. Apa pun yang terjadi, ia tidak boleb mengeluarkan suara dan tak boleh berbuat sesuatu. Maka hanya mukanya saja yang berubah pucat. Ia mengenal Liok Kong Ji sebagai seorang panglima di daerah Mongol. la pernah berjumpa dengan orang itu ketika dahulu ia dibawa ke utara oleh Pak kek Sam kui. Dan dahulu Liok Kong Ji tidak bicara sesuatu tentang pengakuan anak. Mengapa sekarang orang itu mengaku bahwa dia anaknya? Terbayang dalam ingatan Tiang Bu ucapan Hui-eng Niocu Siok Li Hwa bahwa dia bukanlah putera Coa Hong Kin dan Go Hui Lian.
Ketika Hui eng Niocu Siok Li Hwa menculiknya dari Kim bun-to dan memaksanya be rsumpah di depan makam Patjiu Nio-nio untuk menjadi murid Hui-eng pai dalam marahnya Hui-eng Niocu Siok Li Hwa menyatakan bahwa dia bukanlah anak Coa Hong Km dan Go Hui Lian, melainkan anak ayah bunda lain yang pada waktu itu ia tidak memperhatikan. Dianggapnya Hui-eng Niocu bohong maka ia tidak ingat lagi nama ayah bunda yang disebut itu.
Sekarang teringatlah ia bahwa dahulu Hui-eng Niocu menyebut nama Liok Kong Ji ! Jadi inikah ayahoya? Mengapa begitu ? Tiong Jin Hwesio menoleh kepada muridnya dan bertanya. "Tiang Bu, benarkah kau putera situ ini?"
"Dia berkata bohong, suhu. Setahu teecu, ayah teecu bernama Coa Hong Kin dan ibu teecu bernama Go Hui Lian puteri Hwa I Enghiong Go Ciang Le." Kini Tiong Jin Hwesio berpaling kepada Kong Ji dan suaranya berubah keren ketika ia berkata, "Liok-sicu, pinceng tidak kenal padamu namun serasa pernah pinceng mendengar namamu yang kurang scdap. Kau jangan mainmain di sini. Mengapa kau berani mengaku murid kami sebagai puteramu?" Liok Kong Ji tertawa. Panahnya mengena sasaran, pancingannya berhasil baik. "Locianpwa, mana aku berani membohong atau main-main? Tadinya teecu sendiri juga tidak tahu akan rahasia ini yang dipegang penuh serta ditutup rapat oleh Wan Sin Hong. Locianpwe‘ agaknya dapat diperdayai sehingga amat memuji dan percaya kepada Wan Sin Hong. Maka harap locianpwe tanya kepadanya akan hal ini."
"Wan-bengcu, betulkah kata-kata Lie situ ini bahwa Tiang Bu adalah puteranya?" tanya Tiong Jin Hwesio.
Keadaan menjadi sunyi. Semua orang menaruh perhatian sepenuhnya akan perkara ini yang biarpun barsifat pribadi namun cukup menarik karena urusan ini saja dapat menimbulkan heboh dan keributan. Semua orang memandang ke arah Sin Hong, ingin tahu apa jawabannya.
Sin Hong memandang ke arah Tiang Bu yang seakanakan hendak menelannya dengan pandang mata yang tajam itu, kemudian menoleh ke arah Kong Ji, kemudian be rpaling kepada Tiong Jin Hwesio din menundukkan kepalanya.
"Memang betul," jawabnya lemah.
"Bohong.... !" Tiang Bu menjerit, lupa akan pesan gurunya dan ia melompat ke depan Sin Hong, kedua tangan terkepal, matanya berapi. "Wan-siok-siok, bukankah kau sudah tahu bahwa ayah bundaku di Kim-bun-to. Dia itu, muridmu itu, bukankah dia Lee Goat, adikku? Aku tahu ketika ia masih kecil sekali, masih bayi. Aku yang menggendongnya, mengajaknya main-main! Mengapa pula dia pura-pura tak kenal padaku? Siok-siok, katakan sebenarnya bahwa aku bukan anak orang itu!" Sin Hong tersenyum pahit, merasa amat kasihan kepada bocah ini. Salahnya sendiri, pikirnya. Dialah yang berdosa, membuka rahasia itu kepada Kong Ji katena khawatir akan keselamatan isterinya yang tertawan oleh Kong Ji, anak ini harus menelan kenyataan pahit sekali.
"Tiang Bu, kau memang puteranya. Semenjak masih bayi kau dipelihara oleh ayah bundamu di Kim.bun-to ...... " Wajah Tong Bu menjadi pucat. "Aku masih belum percaya!" Ia menoleh dan memandang kepada orang yang mengaku ayahnya itu dengan pandangan mata menantang.
"Wan siok-siok, kauceritakan mengapa semenjak bayi aku dipelihara oleh ayah bunda di Kim.bun.to. Mengapa kalau aku memang anak orang lain, orang tuaku yang aseli tidak memeliharaku sendiri ?" Muka Sin Hong sebentar pucat sebentar merah.
Keningnya berkerut. Ia berada dalamkeadaan yang amat sukar. Tidak menjawab bagaimana dan kalau ia menjawab dan meceritakan hal sebenarnya, berarti ia akan membanting nama bocah itu ke dalamjurang kehinaan !
Mana ia tega untuk merendahkan bocah ini dengan bercerita di depan orang banyak bahwa bocah ini terlahir dari ibu yang gila dan yang dipermainkan oleh Kong Ji. Sama saja dengan membuka rahasia bahwa Tiang Bu adalah anak dari perhubungan gelap, anak yang tidak karuan ayahnya atau anak haram!
Sin Hong menggeleng geleng kepalanya sambil menarik napas panjang. "Aku......... aku tak dapat menceritakannya, Tiang Bu…….."
"Wan-siolc.siok, kau harus......... ! Kau harus menceritakannya kepadaku. Harus......... !" Tiang Bu mendesak.
Sing Hong menggeleng kepalanya dengan sedih dan memandang kepada bocah itu dengan kasihan. Tidak bisa, Tiang Bu ……."
"Kalau begitu kau bohong ! Kau pembohong besar di dunia ini...... atau kau pengecut besar !" Tiang Bu melangkah maju dan matanya bcrsinar marah dan kedua tangannya dikepal seakan-akan dia hendak menyerang Sin Hong.
Terdengar Kong Ji tertawa mengejek dan Sin Hong menjadi pucat sekali. "Tiang Bu...l" bentaknya keras.
"Siapapun tidak boleh menyebut aku pengecut !" "Mengapa kau menyembunyikan rahasia orang ? Mengapa kau tidak berani bicara terus terang? Hanya seorang pengecut yang menyimpan rahasia orang dan membuat orang mendapat malu dan terhina !" kata Tiang Bu makin berani. "Hayo katakan......... atau harus aku memaksa.........
??"
"Tiang Bu......... !!" Sin Hong hampir tak dapat menahan kesabarannya lagi. Mukanya sebentarme rah sebentar pucat.
Pada saat itu, Tiong Sin Hwesio membentak. "Tiang Bu, kau memalukan guru-gurumu. Hayo mundur dan masuk ke rumah !" Mendengar bentakan ini, terdengar isak naik dari dada Tiang Bu, mukanya pucat sekali dan dengan kaki limbung dan maka pucat ditundukan, ia lalu berlari masuk ke dalam pondok, di mana ia membanting diri di atas lantai dan menangis! Baru kali ini selama hidupnya Tiang Bu merasa sakit sekali hatinya.
Sementara itu, Le Thong Hosiang berkata mengejek, "Dasar keturunan pangeran penjajah, tidak lurus hatinya, berani menghina murid tuan rumah. Dasar pengecut tetap pengecut!" Sin Hong menggerakkan lehernya dan menengok ke arah pembicara.
"Le Thong Hosiang, kau memaki siapa?" tanyanya, suaranya lambat dan agak tergetar.
"Ho ho-ho, mcmaki kau, siapa lagi?" Baru saja kata-kata ini keluar dari bibir Le Thong Hosiang tubuh Sin Hong mencelat dan dengan marah ia menyerang Le Thong Hosiang. Akan tetapi Ketua Tai-yun-pai memang sengaja mencari percekcokan dengan Sin Hong dan karenanya ia sudah siap sedia. Dua orang sutenya yaitu Lo Kong Hosiang dan Le Tak Hosiang, sudah menjaga. Begitu Sin Hong bergerak, dua orang hwesio ini menggerakkan toya mereka menyerang Sin Hong dari dua jurusan. Juga Le Thong Hosiang menggerakkan toyanya sambil berkata kepada Tiong Jin Hwesio, "Jiwi locianpwe, harap maafkan, pinceng hendak memberi hajaran kepada pangeran kesasar ini!" Akan tetapi, kata-katanya terhenti karena Sin Hong dengan gerakan cepat sekali mangeluarkan kepandaiannya.
Bagaikan halilintar menyambar tubuhnya berkelebat di antara tiga barang toya lawan dan di lain saat Le Tak Hosiang terlempar ke kanan, Le Kong Hosian, terjungkal dan Le Thong Hosiang roboh dengan toyanya patah-patah!
Baiknya Sin Hong masih ingat bahwa ia berada di Omei-s an dan di depan dua orang kakek sakti yang menjadi tuan rumab. Pula dia ingat bahwa pertempuran hanya urusan kecil saja. maka ia tidak sampai menurunkan tangan maut, hanya membuat Le Thong Hosiang patah patah toya berikut tulang lengan kanannya sehingga hwes io menjadi pingsan.
Adapun Le Kong Hosiang dan Le Tak Hosiang hanya terlempar mendapat kepala benjol saja.
Semua orang menjadi kaget sekali menyaksikan kehebatan Sin Hong.
Kong Ji tersenyum masam. Ang.jiu Mo.li memandang kagum penuh gairah kepada Sin Hong. Mulut Toat-beng Kui-bo bergerak-gerak seperti orang makan kacang goreng, atau seperti mulut domba menggayem kembali makanan dari perutnya. Keadaan menjadi sunyi sekali. Tiba-tiba terdengar. suara Tiong Jin Hwesio, bernada tak senang.
"Wan-bengcu, kau kasar sekali. Apakah di sini kau hendak memamerkan kepandaianmu ?" Sin Hong cepat memberi hormat kepada kakek itu, "Maaf locianpwe. Bukan sekali-kali boanpwe berani bersikap kurang ajar, akan tetapi orang-orang itu terlalu mendesak boanpwe."
"Hemmm, memang tIdak keliru kata kata Tiang Bu tadi.
Seorang yang tidak berani berkata terus terang, biarpun sikapnya itu hendak menolong orang lain misalnya, tetap saja ia mendekati sikap pengecut. Kau datang ini ada keperluan apakah?" Merah wajah Sin Hong dan sikapnya menjadi berani. Dia tidak mau membuka rahasia itu semata-mata untuk melindungi muka dan nama baik Tiang Bu, akan tetapi bocah kurang terima itu mengatakannya pengecut dan kakek ini malah membenarkan bocah itu.
"Locianpwe memang bukan menjadi watakku untuk membuka rahasia orang lain di depan umum. Oleh karena itu pulalah maka aku yang muda dan bodoh kali ini juga tidak membuka rahasia mengapa aku datang ke tempat ini.
Hanya terus terang saja, kedatanganku ke sini sama sekali tidak ada hubungannya dengan segala keributan urusan bengcu dan segala tetek-bengek lain tetapi aku datang untuk mencari isteriku yang diculik orang. Akan tetapi aku belum begitu kurang ajar untuk mengganggu Iocianpwe sebagai tuan rumah yang hendak me layani tamu-tamunya, maka silakan. Biar aku menanti setelah urusan semua selesai, barulah aku berurusan dengan pcnculik isteriku!" Tiba-tiba Tiong Sin Hwesio tertawa geli.
"Heh-heh-heh, murid Pak Kek Siansu ini bersemangat juga. Sayang ia terlalu seeji (sungkan) dan mengalah sehingga diinjak-injak orang jahat." Kemudian ia berkata kepada Tiong Jin Hwesio. "Sute, lekas kaubereskan orangorang ini. Pinceng sudah lelah." Tiong Jin Hwesio dengan muka sebal dan hilang sabar berkata. "Siapa lagi yang masih ada urusan hayo lekas katakan, jangan bikin capai hati orang!" Liok Kong Ji melaugkah maju. Dengan senyum cerdik sekali ia berkata, "Jiwi Locianpwe tadi menyatakan tidak hendak mencampuri urusan dunia, itu baik sekali. Biarpun kita semua tidak berani minta pertolongan jiwi untuk segala urusan keduniaan. akan te tapi kami sangat mengharapkan agar kelak jiwie memenuhi janji dan tidak turun gunung untuk mencampuri urusan kami."
"Eh, lancang! Kauanggap kami ini siapa sudi me langgar janji dan kau ini punya hak apa bicara seperti itu?" Tiong Jin membentak.
"Bagus, locianpwe. Memang aku percaya penuh bahwa locianpwe kelak takkaa melanggar janji. Adapun aku memang hendak mewakili para orang gagah karena ketahuilah bahwa aku pernah mereka pilih sebagai Tung Nam Bengcu dan sekarang setelah Wan Sin Hong tidak berhak menjadi bengcu lagi, aku mewakilkan diri untuk menjadi calon bengcu. Bagaimana, para sobat yang hadir di sini. Setujukah mengangkat s iauwte sebagai bengcu?" tanyanya kepada kawan-kawannya.
Yang hadir di situ sebagian besar adalah kawan-kawan Kong Ji. Maka tokoh-tokoh selatan seperti La Thong Hosiang yang sudah siuman, bersama sute-sutenya dan Nam Kong Hosiang berdua Nam Sion; Hosiang ketua Kaolikung-bio (kelenteng di Bukit Keolikung-san), Heng.tuan-san Lojin, Pak-kek Sam-kui, Bouw Cun beberapa orang ternama lain. serentak menyatakan setuju dengan suara gemuruh.
"Tidak, kami tidak setuju." Tiba.tiba Bu Kek Siansu berseru keras. "Semua tokoh utara tidak setuju kalau Lioksicu yang menjadi bengcu !" "Habis kau mau apa?" Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun naelompat maju di depan Bu Kek Siansu sambil melotot dengan sikap menantang.
Bu Kek S;ansu tidakmelayani orang kasar itu, melainkan menghadap Tiong Jin Hwesio dan berkata, "Harap locianpwe sudi turun tangan. Liok Kong Ji itu seorang manusia jahat, kalau dia menjadi bengcu, akan celakalah dunia kang-ouw.
......... "
"Bu Kek Siansu, tak malukah kau memburukkan orang lain di depan umum? Laginya kau lupa bahwa dua orang kakek sakti dari Omei-san sudah berjanji tidak akan mencampuri urusan kita." Dengan mendongkol sekali Tiong Jin Hwesio menggerakgerakkan tangannya. "Pergilah kalian urus sendiri persoalan ini, jangan mengganggu kami." Liok Kong Ji tertawa bergelak. Tercapailah maksud hatinya, berhasillah tipu maslihatnya walaupun ia tak mungkin dapat mengharapkan bantuan dua orang kakek itu, tetapi sudah berhasil mengikat mereka dengan janji takkan mencampuri urusannya. Kelak dalam penyerbuan tentara Mongol ke selatan, kiranya ia mempunyai senjata janji ini untuk membuat dua orang sakti ini tak berdaya andaikata mereka hendak turun tangan.
"Cuwi bengyu sekalian, mari kita turun dan jangan mengganggu lagi dewa-dewa Omei-san !" katanya sambil mengajak kawan-kawannya turun dari puncak.
"Hemm Liok Kong Ji, biarpun akan hancur tubuhku, kelak akulah yang akan menjadi lawanmu," kata Wan Sin Hong dengan suara lantang, akan tetapi Kong Ji hanya tertawa.
"Jiwi locianpwe harap ingat bahwa anak itu adalah puteraku, jadi kelak aku membawanya pulang."
"Tutup mulutmu," Sin Hong membentak. "Mana buktinya bahwa dia puteramu?" Kong Ji hanya tertawa mengejek lalu pergi dari situ.
Tiong Jin Hwes io menghela napas, dongkol sekali, "Benar-benar hari ini kami sedang sial, didatangi oleh orangorang dogol, tukang berkelahi. Eh, eh kalian ini masih belum pergi, mau apa lagikah? Apakah masih ada urusan lain? Ini nenek tua bukankah Toat beng-Kui-bo dari Laut Selatan? Hemm, kau sudah tua mau mampus seperti kami masih be rkeliaran di sini, mau apakah?" tegur Tiong Jin Hwesio.
Terdengar suara ketawa cekikikan ketika nenek mengerikan itu menggerakkan mulutnya. Tiga ekor kele lawar terbang dari tongkatnya ketika nenek itu tertawa, be terbangan di atas kepala nenek itu seakan-akan suara tawa tadi merupakan isarat bagi me reka untuk siap menjaga keselamatan majikan mereka !
"Hi-hi-hi-hi, Tiong Jin Hwesio dan kau tua bangka Tiong Sin Hwesio tukang tidur ! Dari tadi aku heran apakah kalian sudah lupa kepadaku. Kiranya kal ian masih ingat. Alangkah sombongnya kalian, makin tua makin sombong sehingga sejak tadi kalian berlaku seolah-olah tidak kena! lagi padaku! Cihh, laki-laki memang selalu berwatak tinggi hati." Tiong Sin Hwesio tiba-tiba membuka matanya dia menarik napas panjang. "Kau masih sama saja seperti lima puluh tahun yang lalu sedikitpun tidak berobah !" Harus diketahui bahwa ketika masih mudanya, Toatbeng Kui-bo adalah seorang wanita yang cantik jelita, oleh karena itu, kini mendengar kata-kata Tiong Sin Hwesio, ia merasa mendapat pujian. Oleh karena itu, kembali mengeluarkan suara ketawa haha-hihi menyeramkan sekali.
"Hi-hi-hi hi, Tiong Sin Hwesio biarpun sudah tua bangka, tetap saja seorang laki-laki yang pardai mengambil hati! Tiong Sin Hwesio biarpun tadinya aku agak gentar menghadapimu dan berniat mengajak pibu sutemu saja, namun melihat kebaikan hatimu, aku merubah niatku dan sekarang aku ingin mancoba sampai di mana kelihaianmu yang amat disohorkan orang. Orang bilang bahwa ilmu silat warisan Tat Mo Couwsu lebih lihai dari pada warisan Hoat Hian Couwsu. Akan tetapi aku tetap berpendirian bahwa selain dua orang couw-su itu, masih ada ilmu silat lain yang tak kalah hebatnya!" Tiong Sin Hwesio merem-melekkan matanya, lalu mengambil napas panjang, "Toat-beng Kui-bo, kata-katamu itu benar belaka.
Memang banyak sekali ilmu silat dunia ini yang Iihai-lihai dan hebat-hebat akan te tapi sebagian besar adalah ilmu silat yang sengaja diciptakan orang untuk orang-orang jahat.
Maka kalau dibandingkan dengan peninggalan cauw-su, ahh, jauh sekali."
"Pandai kau bicara, orang tua. Coba kau jelaskan, bagai mana bedanya!" nenek itu menuntut.
"Sute, nenek ini bawel amat. Coba kau menjelaskannya, bukan hanya untuk Toat beng Kui-bo, juga untuk orang yang menyebut diri ahl i ilmu silat di sini agar supaya membuka matanya " Tiong Jin Hwesio mengangguk, lalu berkata dengan suara lantang, "Ilmu silat adalah kelaujutan dari pada i lmu batin.
Manusia harus lebih dulu belajar memperkuat batin membersihkan hati dan pikiran. Kalau pikiran dan hati tidak bersih, mana bisa mempelajari ilmu batin untuk mencari Nirwana? Manusia terdiri dari lahir dan batin, keduanya harus maju bersama, tak boleh pincang sebelah. Batinnya saja yang kuat tanpa lahir yang kuat takkan selaras, sebaliknya lahirnya kuat batinnya tidak kuat mendatangkan kekerasan dan penyelewengan.
Setelah mempelajari ilmu batin dan sudah memiliki jiwa yang kuat dan bersih, sudah semestinya melatih lahir supaya kuat pula karena sudah menjadi kewajiban setiap mahluk untuk menjaga dan melindungi tubuh sendiri dari bahaya yang mengancam dari luar. Inilah mengapa orangorang pandai di jaman dahulu menciptakan ilmu silat, diciptakan penuh kesadaran dan kesucian batin, ditujukan dalam mencipta untuk memberi perisai dan pelindung kepada manusia lemah supaya dapat menjaga tubuh.
Komudian oleh orang orang yang bersemangat dan berjiwa besar, malah ilmu ini dipergunakan untuk membantu berputarnya keadilan dan mendorong terlaksananya kebajikan. Akan te tapi, sungguh celaka, banyak sekali disamping ilmu silat yang bersih ini muncul ilmu silat yang dipergunakan untuk mengagulkan diri, untuk menyombongkan diri dan memamerkan kepandaian, untuk berkelahi dan mengalahkan orang lain. Alangkah sesatnya!" Setelah Tiong Jan Hwesio berhenti bicara Tiong Sin Hwelio berkata, "Nah, kaudengar itu, Toat beng Kui-bo. Pinceng tahu kau berilmu tinggi. Apakah kau masih hendak menantangku mengadu ilmu? Itu tandanya ilmumu sesat."
"Kakek tua bangka banyak lagak! Aku belajar ilmu untuk dipergunakan, bukan seperti kalian ini belajar puluhan tahun hanya untuk dipakai bekal mampus. Kalau kalian tidak mau melayani aku pibu, juga tidak apa. Akan tetapi segala macam ilmu peninggalan Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsau itu untuk apakah? Lebih baik kalian berikan kapadaku sebelum kalian mampus agar dapat kuperkembangkan dan kuturunkan kepada orang baik." Mendengar ini, Tiong Sin Hwesio bergerak dan tahu-tahu kakek tua yang sejak tadi duduk sudah berdiri ke depan Toat-beng Kui-bo. Gerakannya tak dapat dibilang cepat karena ia nampak lambat-lambatan, akan tetapi tak seorangpun dapat melihat kapan dia bangkit dari duduknya!
"Toat-beng Kui-bo, apakah kau juga seperti orang-orang yang berwatak maling itu? Kitab-kitab pusaka tak boleh diganggu oleh siapa-pun juga. Kau sendiripun tidak boleh" Nenek itu tertawa, memperlihatkan giginya yang jarang dan runcing seperti gigi tikus atau gigi kelelawar.
"Ini berarti kau mau melayani aku bertanding !"
"Lebih baik main-main sebentar dengan tulang-tulangku yang sudah lapuk dari pada membiarkan kau mengotori kitab-kitab kami!" kata Tiong Sin Hwesio.
"Kalau begitu kau terimalah ini !" seru nenek itu dan kedua tangannya yang berkuku panjang itu mendorong ke depan. Gerakannya biasa saja akan te tapi ketika kedua lengan itu menyambar, orang-orang yang berdiri beberapa tombak jauhnya dari tempat itu masih merasai hawa dorongan yang dahsyat ! Dan ketika kedua kaki nenek itu berganti-ganti dibantingkan ke tanah, tempat di sekitar itu tergetar seperti gempa bumi.
Tiong Sin Hwesio menyebut, "0mitohud!" dan dengan gerakan sederhana pula ia meluruskan kedua lengan tangannya. Di lain saat dorongan nenek itu sudah diterimanya dan dua pasang telapak tangan itu saling menempel.
"Omitohud, kau hendak mengadu lweekang. Bagus ...... kau takkan menang, Toat-beng Kui-bo.......!" kata Tiong Sin Hwesio sambil tersenyum memperlihatkan mulut yang tak bergigi lagi.
Yangmasih hadir di tempat itu hanya tinggal Sin Hong, Ang-jiu Mo-li dan suami isteri Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong berdua. Mereka merasa kagum bukan main terhadap kakek tua itu. Mengadu tenaga lweekang seperti itu adalah pertandingan yang amat berbahaya. Seluruh perhatian dan tenaga dalam harus dikerahkan kepada telapak tangan untuk mendesak hawa pukulan atau hawa dorong lawan.
Akan tetapi kakek itu masih dapat bicara seenaknya !
Juga Toat-beng Kui-bo terkejut sekali dan menyesal bukan main mengapa ia datang-datang mengadu tenaga lweekang dengan kakek tua yang sudah mau mati itu. Begitu mendengar kakek itu bicara, tahulah ia bahwa tenaga lweekangnya kalah jauh. Namun nenek ini adalah seorang yang terkenal keras hati dan tidakmau kalah. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, kedua kakinya bergantiganti menjejak tanah, dan dari dalam petutnya keluar suara gerengan seperti harimau dan tanah di sekitarya bergerak gerak terkena getaran tenaganya yang dahsyat. Pohon kembang di belakang dua orang kakek itu tergetar dan berhamburanlah bunga dan daun s egar ke bawah sehingra sebentar saja pohon itu telah menjadi gundul sama sekali tak berbunga atau berdaun lagi.
Melihat orang-orang gagah yang hadir di situ kembali terkejut. Harus mereka akui bahwa nenek buruk rupa ini memiliki tenaga lweekang yang lebih tinggi dan pada mereka sendiri. Namun, kakek Tiong Sin Hwcsio masih tampak tenang-tenang saja.
"Omitohud, Toat-beng Kui-bo, mengapa kau berlaku nekad ?. Kau tak kan menang. Tariklah tenagamu dan kau melompat mundur, kita sudahi.saja adu tenaga ini." Akan tetapi-nenek itu bukannya menurut bahkan makin hebat ia mengerahkan tenaganya, sampai uap putih rnengcpul dari kepalanya dan peluh membasahi dadanya.
"Kau tidak mau mundur baik-baik ? Terserah, terpaksa pinceng mcndorongmu mundur. Satu ......... dua.......... tiga........!" Tubuh Toat-beng Kui-bo tiba-tiba terlempar ke belakang seperti disambitkan. Baiknya nenek ini lihai sekali.
Ia cepat mengerahkan ginkangnya, berjumpalitan dan hanya terhuyung-huyung, tidak sampai roboh terlentang. Mukanya pucat, napasnya memburu dan peluhnya memenuhi tubuh.
Ia berdiri meramkan mata sebentar untuk mengatur napas.
Lega hatinya karena kakek itu ternyata tidak melukainya.
Ke tika ia membuka matanya, ia melihat Tiong Sin Hwesio masih berdiri. Segera melompat maju dan berkata, "Kita masih belum main ilmu silat. Hayo, kaulayani aku barang sepuluh jurus. Kalau dalam adu tenaga lweekang aku kalah, kini aku akan menebus kekalahanku !" katanya menantang.
Aneh sekali, tubuh Tiong Sin Hwesio gemetar, kedua kakinya menggigil dan suaranya terdengar lemah sekali ketika menjawab, "Aku tidak bisa......... tidak mau mengadu ilmu silat dengan kau, ilmu silatmu jahat dan kotor...."
"Kau takut ? Hi-hi hihi, Tiong Sin Hwesio takutkah? Kau mau atau tidak, harus kau layani aku kalau tidak mau kusebut pengecut dan penakut yang ngeri menghadapi kekalahan !"
"Pinceng bukan takut, kau takkan menang. Muridku saja cukup untuk melayanimu. Tiang Bu……!" Kakek ini menoleh ke arah pondok memanggil muridnya. Dalam suara panggilannya itu terdengar getaran yang aneh sehingga Tiong Jin Hwesio tidak hanya memandang kepada suhengnya itu, bahkan kini menghampirinya dan tanpa berkata sesuatu hwesio jangkung kurus ini menaruh tangan di punggug suhengnya, lalu keningnya berkerut.
Sementara itu, Tiang Bu berlari keluar. Pada mukanya masih nampak bekas air mata. biarpun ia merasa sungkan keluar menemui atau menghadapi orang-orang itu terutama sekali Sin Hong, namun tentu saja ia tidak berani membantah panggilan twa-suhunya. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong Sin Hwesio, siap menanti perintah selanjutnya.
"Tiang Bu, seorang jantan pantang mengalirkan air mata keluar." Tiong Sin Hwesio menegur muridnya.
"Ampunkan teecu, suhu. Hati teecu terasa sakit dan perih, air mata keluar tanpa dapat teecu cagah lagi." "Kau sakit hati? Bagus, asal saja jangan kau menjadi buta karena perasaan itu. Tiang Bu, kau akan mewakili pinceng menyambut tantangan untuk berpibu dengan Toat- beng Kui-bo. Beranikah kau?" kata Tiong Sin Hwesio sambil menunjuk ke arah nenek itu. Tiang Bu memandang. Nenek ini rupanya saja sudah demikian mengerikan dan membuat semangat lawan terbang setengahnya, apalagi nama julukannya yang begitu menyeramkan Toat beng Kui-bo yang berarti Iblis Wanita Pencabut Nyawa!
"Tentusaja teecu akan mentaati perintah suhu, dan teecu tidak penasaran andaikata locianpwe ini benar-benar akan mencabut nyawa teecu," jawabnya.
Tiong Sin Hwesio tertawa girang. "Ha, kau seperti anak itik yang takut air ! Akan tetapi lebih baik seperti anak i tik takut air dari pada menjadi seperti anak ayam tenggelam di sungai!" Perumpamaan anak itik takut air adalah sikap orang yang merendah, tidak tahu akan kepandaian sendiri maka takut-takut seperti anak itik takut air padahal pandai sekali renang ! Sebaliknya anak ayam mati di sungai menyindirkan sifat seorang sombong yang tidak insaf akan kepandaian sendiri yang terbatas sehingga ia akan tenggelam dalam kesombongannya sendiri.
"Tiang Bu, se lama aku berada di sini, kau telah mempelajari ilmu-ilmu yang kalau kau pergunakan benarbenar akan dapat mengatasi atau setidaknya mengimbangi kepandaian Toat-beng Kui-bo. Majulah!" Tiang Bu merangkak maju dan berlutut di depan kaki suhunya.
"Coba kaulakukan Khai-khi-jiu hiat !" Sin Hong dan yang lain-lain kagum sekali. Khai-khi-jiuhiat (Membuka Hawa Melemaskan Jalan Darah) adalah semacam ilmu yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang hanya dapat dilkukan oleh orang yang sudah memiliki sinkang di tubuhnya dan sudah mempelajari dasar ilmu lweekang yang paling tinggi. Khai-khi-jiu-hiat ini biasanya dipergunakan dalam keadaan samadhi untuk menerima sarinya bulan sebagai tenaga Im-kang dan sarinya matahari sebagai tenaga Yang-kang. Apakah benar-benar bocah ini dapat melakukannya? Dan kakek itu menyuruhnya melakukan Khai-khi-jiu-hiat untuk apakah ? Setelah Tiang Bu bersila dan me lakukan Khai-khi-jiuhiat, Tiong Sin Hwesio melangkah maju mendekati Tiang Bu, lalu mengangkat kedua tangan ke atas kepala. Tiba-tiba Tiong Sin Hwesio melompat maju dan memegang lengan suhengnya.
"Suheng, jangan.........!" Hwesio jangkung kurus ini sudah dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh suhengnya maka dengan hati ngeri ia hendak mencegah. Tiong Sin Hwesio tersenyum ramah kepada sutenya itu.
"Sute, kau sudah dapat mengerti niatku. Memang jalan ini yang terbaik. Ke tahuilah bahwa setelah mengadu lweekang tadi, pertahananku melawan datangnya Giam lo ong karena usia tua sudah lumpuh. Kematian sudah di depan mata, mengapa harus mati sia-s ia. Lebih baik kuwariskan dia yang kelak harus melanjutkan riwayat kita.
Toat-beng Kui-bo berkata benar, sayang pelajaran puluhan tahun dibawa ke lubang kubur begitu saja." Tiong Jin Hwesio mengangguk-angguk, tak dapat berkata apa-apa lagi kecuali memandang kepada kakek tua itu dengan pandang mata terharu.
"Kau mendahului aku, suheng? Terserah sesukamulah ..... " katanya perlahan sekali.
"Tiang Bu, bersiaplah kau, buka selebar-lebarnya jalan darahmu!" Sambil berkata demikian, kembali Tiong Sin Hwesio mengangkat kedua lengan tangannya ke atas, jari-jari tangan dibuka sepeti hendak mencengkeram sesuatu dari udara. Makin lama jari-jari tangan ini makin tergetar mulamula hanya jari tangan saja yang berge tar, makin lama menjalar ke lengan, pundak, tubuh dan tak lama kemudian seluruh tubuh kakek itu tergetar hebat. Demikian hebat tenaga getaran sampai-sampai Sin Hong yang sudah tinggi lweekangnya ikut pula tergetar kedua kakinya, seakan-akan tenaga itu menjalar melalui tanah dan udara ! Hebat bukan main kakek tua itu ketika mengerahkan seluruh tenapa sinkangnya.
Mau apakab dia? Sin Hong sendiri t idak dapat menduga kakek ini mau berbuat apa, ia hanya khawatir kalau-kalau kakek ini menyerang orang, kiranya biarpun Tiat beng Kuibo sendiri takkan mungkin dapat menahan.
"Terimalah!" Teriakan ini keluar bagaikan jerit mengerikan dari mulut Tiong Sin Hwesio dan tiba-tiba sepuluh jari tangannya bergerak dan memukul ke arah ubun-ubun kepala Tiang Bu!
"Celaka......." Sin Hong melompat bagaikan seekor burung walet menyambar ke arah kakek itu untuk menolong Tiang Bu. Dengan mcngerahkan seluruh lweekangnya karena maklumakan kelihaian kakek itu. Sin Hong cepat menggunakan kedua lengannya untuk menangkis ge rakan ke dua tangan kakek yang memukul ubun-ubun kepala Tiang Bu.
"Ptak-..... !" terdengar suara keras dan tubuh Sin Hong terlempar jauh kebelakang s ampai lima tombak lebih !
Baiknya kepandaian Sin Hong sudah tinggi, maka dapat ia mangatur keseimbangan tuhuhnya dan turun ke bumi dalam keadaan berdiri. Namun ia merasa tubuhnya lelah bukan main seperti kehabisan tenaga sama sekali. Seakan akan tenaga sinkangnya terbetot dan terhisap habis ketika lengannya bertemu dengan lengan kakek itu. Kini ia hanya dapat be rdiri memandang dengan mata ngeri.
Sete lah teradu dengan lengan Sin Hong lengan tangan kakek itu seakan-akan ditambah tenaga lagi dan kini meluncur cepat ke arah ubun-ubun kepala Tiang Bu tanpa dapat dicegah lagi.
"Capp......... !" Orang orang melihat seakan-akan sepuluh buah jari tangan itu menancap kepala Tiang Bu yang masih duduk bersila. Tubuh anak itu seperti orang disambar petir, berkelojotan dan rambut kepalanya berdiri semua! Setelah be rkelojotan dan matanya mende lik, lalu tubuh Tiang Bu roboh di atas tanah, tak bergerak lagi. Juga Tiong Sin Hwesio jatuh duduk di dekat tubuh anak itu bersila dan tak bergerak seakan-akan tubuh hwesio tua itu sudah menjadi patung. Hanya jenggotnya yang putih panjang saja berge rakgerak tertiup angin.
"Suheng......... !" Tiong Jin Hwesio mengeluarkan suara seperti mengeluh kemudian ia merangkap kedua tangan ke dada memberi hormat kepada suhengnya yang duduk tak bergerak itu.
"Eh, apa apaan ini?" Toat.beng Kui-bo berseru tak senang merasa diabaikan oleh kakek Ome i-san.
"Diamlah, Toat bang Kui-bo!" Tiong Jin Hwesio mernbentaknyn marah. `Tunggu saja sebentar, kalau kau demikian haus berkelahi, murid kami yang akan mewakili suheng mengajar adat kepadamu !" Sementara itu, Sin Hong melompat ke dekat Tiang Bu yang menggeletak terlentang di dekat Tiong Sin Hwesio.
Akan tetapi ia melompat bal ik lagi dan matanya terbelalak.
Ia tadi hampir saja menyentuh tubuh Tiang Bu akan tetapi cepat ia menjauhkan diri ketika melihat pemuda cilik itu menggerak-gerakkan dua tangan seperti orang kepanasan, mengeluh menoleh ke kanan kiri sepert i orang sakit demam.
Dan dari gerakan kedua tangan Tiang Bu itu menyambar hawa pukulan yang membuat Sin Hong melompat mundur dengan terkejut sekali.
Ia menoleh ke arah Tiong Sin Hwesio dan …. ia segera merangkapkan kedua tangan sebagai tanda penghormatan.
Tahulah kini Sin Hong akan ke anehan kakek tadi, atau sedikitnya ia dapat menduga apa yang sesungguhnya telah terjadi. Tentu kakek itu telah menurunkan ilmunya yang terakhir kepada Tiang Bu, boleh jadi telah mendatangkan kekuatan hebat pada diri anak itu melalui pukulan tadi. Dan kakek itu telah melakukan ini dengan mengorbankan nyawanya!
Dugaan Sin Hong memang banyak betulnya. Akan te tapi ia tidak mengetahui hal yang sesungguhnya. Hanya Tiong Jin Hwesio saja yang tahu sejak tadi apa yang dilakukan oleh suhengnya. Ternyata bahwa ketika tadi mengadu lweekang dengan Toat. beng Kui-bo, keadaan Tiong Sin Hwesio sudah payah sekali. Hwesio ini sudah lama menderita sakit tua, us ianya sudah terlalu tua dan agaknya ia hanya "menanti saatnya" saja. Kemudian ia ditantang oleh nenek itu sehingga terpaksa turun tangan.
Tentu saja Toat-beng Kui-bo bukan lawannya dan mudah ia mengalahkan pertandingaa lweekang itu. Namun, tubuhnya yang sudah rapuh itu mana kuat menahan pertandingan lweekang? Segera kakek ini merasa bahwa isi dadanya te rluka hebat akibat pengerahan tenaga lweekang dan tahulah ia bahwa ia menghadapi kematian yang tak dapat ditolong lagi. Maka ia lalu mengambil keputusan, mempergunakan saat terakhir itu untuk menurunkan seluruh tenaga sinkangnya kepada muridnya yang terkasih, Tiang Bu.
Anak ini cerdik sekali dan sudah banyak mempelajari ilmu pukulan yang tinggi-tiuggi. Namun oleh karena tubuhnya masih amat muda dan belum memiliki sinkang yang tinggi apabila bertemu dengan lawan tangguh masih belumdapat diandalkan. Oleh karena itu, di saat terakhir itu ia menyuruh muridnya melakukan Khai-khi-jiu-hiat, kemudian ia melakukan pukulan hebat itu untuk memindahkan tenaga sinkang ke dalam tubuh muridnya.
Pukulannya tadi adalah semacam pukulan hebat sekali, tidak dikenal oleh ahli silat lain dan merupakan pukulan gaib yang disebut Sin-siang-hoan-kang (Tangan Sakti Memindahkan Tenaga). Pukulan ini kalau dipergunakan untuk menyerang lawan jarang ada lawan dapat menghindarkan diri karena setiap gerak mengandung aliran tenaga sinkang yang luar biasa.
Akan tetapi kakek itu telah dapat mempergunakan untuk memindahkan tenaga sinkangnya ke dalam tubuh Tiang Bu yang sedang "terbuka," benar-benar hebat luar biasa. Dalam keadaan "terbuka", seperti Tiang Bu tadi, jangankan pukulan sehebat Sin ciang hoan-kang, walaupun pukulan biasa dari seorang ahli lweekeh saja sudah akan mematikannya.
Baiknya Tiang Bu sudah diberi latihan dasar lweekang dan tubuhnya sudah berisi hawa murni. Maka ia tidak mati oleh pukulan dan biarpun tubuhnya kemasukan tenaga hebat seperti aliran listrik, ia hanya roboh pingsan dan be rkelojotan saja. Tak lama kemudian, gerakan kaki tangannya yang seperti orang menghadapi sakratul maut itu makin mengendur akhirnya terhenti dan ia bangkit duduk sambil meramkan matanya. Kepalanya masih puyeng, kedua telingannya mendengar suara "ngiiiiiiiing…...". tak kunjung henti.
"Tiang Bu, loncatlah berdiri dan gunakan Lo pai-hud (Kakek Menyembah Buddha) ke arah angkasa tiga kali !" terdengar Tiong Jin hwesio berkata kepada muridnya itu.
Biarpun kepalanya masih pening, namun anak ini yang selalu mentaati suhunya, tanpa ragu-ragu lagi lalu meloncat berdiri dan melakukan gerak itu memukul udara di atas kepalanya tiga kali dengan kedua mata masih meram.
"Krotok ......... kratok ......... krekkk......... ! Terdengar bunyi di se luruh bagian tubuhnya ketika ia melakukan tiga kali pukulan udara kosong itu, dan ......... Tiang Bu baru membuka mata dan tersenyum memandang suhunya.
"Suhu, aku merasa segar sekali !"
"Tiang Bu, sekarang kau bersiaplah menghadapi tantangan Toat-beng Kui-bo sebagai wakil guru-gurumu." Tiang Bu kaget bukan main mendengar kata suhunya ini sehingga tak terasa ia memandang. Akan tetapi gurunya itu tidak main-main, bahkan menatap wajahnya penuh ketegasan. Ia tidak berani membantah, lalu bangun berdiri, menjura kepada suhunya, berkata, "Baik suhu," lalu menghampiri Toat beng Kui-bo.
"Nenek tua, aku datang mewakili guru. guruku. Kau mau memberi pelajaran cepatlah bergerak." katanya, suaranya membayangkan kenekadan. Memang hati Tiang Bu amat perih karena peristiwa tadi, batinnya masih sakit sekali kepada Liok Kong Ji yang sikapnya mendatangkan benci dan yang mengakuinya sebagai putera dan juga ia merasa sakit hati kepada Wan Sin Hong yang menutup rahasianya. Oleh karena merasa hancur hatinya mendengar bahwa ia bukan putera ayah bundanya di Kim-bun-to, ia menjadi sedih dan nekad. Dia sama sekali tidak tahu apa yang te rjadi dengan dirinya ketika ia "dipukul" pingsan oleh Tiong Sin Hwesio tadi.
Toat beng Kui-bo adalah seorarg sakti yang tinggi ilmu silatnya. Tentu saja setelah hilang kaget dan herannya, seperti Sin Hong iapun dapat menduga apa yang tadi dilakukan oleh Tiong Sin Hwesio yang kini bersila dalam keadaan tak bernyawa lagi itu. I a tersenyum sindir lalu tertawa cekikikan menyeramkan sekali.
"Hi hi-hi-hi, Tiong Sin Hwe sio tua bangka yang sudah tahu nyawanya akan terbang, lalu mengoperkan segalanya kepada bocah ini masih mending. Akan tetapi Tiong Jin Hwesio tidak malukah kau bersembunyi di balik bocah goblok ini untuk menutupi kegentaranmu. Majulah sendiri jangan mengirim bocah ini ke neraka menyusul suhengmu." "Nenek tua ngacaubalau! Kau tidak saja menghina jisuhu. bahkan kau menghina twa-suhu. Siapa bilang twasuhu sudah meninggal lihat dia masih bersila dan tidak mati. Kau benar-benar perlu diusir dari sini!" Setesai memaki demikian, Tiang Bu rnelompat ke arah nenek itu dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya.
Komentar
Posting Komentar