TANGAN GELEDEK JILID 06


Li Hwa yang biasanya paling berani bicara terus terang seperti ini dan yang biasanya dia menjadi pihak penyerang dalam percakapan seperti ini, sekarang mendengar kata-kata Sin Hong mukanya menjadi merah sekali sampai ke telinganya dan ia hanya menundukkan muka seperti seorang gadis dusun yang malu-malu!

"Untuk dirimu tidak ada yang perlu ditinjau lagi. Kau sudah jelas seorang gadis yang berhati murni dan cinta kasihmu tulus ikhlas dan suci. Sekarang marilah kauperhatikan diriku." Suara Sin Hong yang bersungguhsungguh itu menarik perhatian Li Hwa sepenuhnya sehingga gadls ini mengangkat mukanya dan menatap wajah pria yang menjadi pilihan hatinya ini.

"Dahulu aku pemah merasa jatuh cinta. Akan tetapi oleh karena aku masih hijau sekali, aku sendiri tidak tahu pasti siapakah yang kucintai itu."

"Kau mencinta Go Hui Lian." Li Hwa memotong, suaranya tenangsaja tanpa rasa cemburu.

Sin Hong menggelengkan kepalanya. "Belum tentu, Li Hwa. Pertama-tama bertemu dengan Gak Soan Li hatiku tertarik, kemudian bertemu Go Hui Lian aku pun merasa tertarik. Kalau mau dikata bahwa aku mata keranjang, buktinya melihat lain-lain wanita aku tidak tertarik. Karena itu aku merasa bahwa hatiku tidak tetap terhadap wanita dan bahwa cinta kasihku kepada dua orang yang kusebutkan itu mungkin sekali palsu. Aku merasa menyesal sekali mengapa hatiku mudah berubah dan merasa betapa cinta kasihku terlalu murah. Oleh karena inilah, maka menghadapi kau yang sepenuh jiwa mencintaku, aku menjadi bingung dan ragu-ragu. Ragu-ragu terhadap hatiku sendiri.

Aku tidak mau main-main dengan cinta lagi sebelum aku yakin betul apakah benar-benar aku mencinta orang.

"Li Hwa, aku tak dapat menolak permintaanmu untuk ikut dengan aku. Bukan hanya karena aku takut kau betulbetul akan membunuh diri, bukan hanya karena aku merasa bahwa cinta kasih sebesar cinta kasihmu itu sungguh keji kalau ditolak. Akan tetapi terutama sekali, setelah aku berkumpul dengan kau selama beberapa bulan ini, aku pun ....... merasa berat untuk berpisah." Li Hwa tersenyum manis sekali, mukanya ditundukkan dan matanya mengerling ke wajah Sin Hong. Hatinya girang bukan main, hanya dia sendiri yang tahu!

"Akan tetapi," Sin Hong buru-buru menyambung katakatanya.

"Aku tidak berani sembrono dan sembarangan saja menyatakan bahwa aku pun cinta kepadamu, Li. Hwa. Aku tidak mau membuat kesalahan lagi dalam hal ini. Aku tidak akan berani menyatakan cintaku sebelum aku yakin betul karena aku tidak sudi menipumu dengan cinta palsu yang kelak akan luntur! Biarlah kita melakukan perjalanan bersama. Biarlah orang lain menganggap bagaimanapun juga. Paling perlu kita menjaga diri, menjauhkan segala perbuatan yang tidak patut. Biar kita menguji hati kita sendiri. Kalau kelak ternyata bahwa aku betul-betul mencintamu, Li Hwa, aku takkan ragu-ragu lagi meminangmu sebagai isteriku. Kalau bukan demikian halnya hatiku terhadapmu, biarlah kelak kita menjadi saudara saja.

Bagaimana pendapatmu?"

"Sin Hong aku menurut saja segala kehendak hatimu, asal saja aku kau bolehkan berada di sampingmu. Kau sudah bicara secara jujur, aku girang mendengar ini, sungguhpun aku sudah tahu bahwa kau memang seorang yang amat menjaga kebersihan hati dan perbuatan dan memang kau amat jujur. Baiklah dan sekarang kaudengar pengakuanku tentang cintaku padamu. Tentu saja aku mencintamu seperti seorang wanita mencinta pria kekasihnya dan ingin menjadi isterimu, ingin menjadi ibu daripada anak-anakmu. Akan tetapi jangan kira bahwa cintaku kepadamu hanya karena nafsu muda semata, Sin Hong. Aku tidak punya orang tua, maka aku pun mencintamu seperti seorang anak mencinta orang tuanya.

"Aku sudah ingin sekali menjadi ibu maka aku pun mencintamu seperti seorang ibu mencinta puteranya. Aku tidak punya saudara maka aku pun mencintamu seperti seorang saudara kandung. Tentu saja kebahagiaan hidupku akan sempurna andaikata kau sudi mengambilku sebagai isterimu, menjadikan aku ibu dari anakanakmu. Akan tetapi, tanpa itu pun aku dapat hidup asal aku selalu berada di sampingmu, Sin Hong. Tentu saja aku akan berterima kasih sekali kalau kau pun membalas cinta kasihku, akan tetapi andaikata tidak, aku cukup puas asal kau tidak membenciku!" Bukan main terharunya hati Sin Hong mendengar katakata yang panjang lebar, kata-kata yang sesungguhnya setiap hari telah berpancaran keluar dari kerling mata gadis itu, membayang melalui senyum-senyumnya. Sampai basah kedua mata Sin Hong ketika ia menatap wajah gadis itu dan tak terasa pula kedua tangannya bergerak maju, ditaruh di atas pundak gadis itu. Sampai lama mereka berpandangan.

"Setidaknya kau ....... kau tentu suka kepadaku, bukan?" tanya Li Hwa, suaranya sayu, mengibakan.

"Tentu saja, L! Hwa. Kaulah satu-satunya orang yang paling kusuka di dunia ini." Tiba-tiba Li Hwa bangkit berdiri dan tertawa geli, menutupi mulutnya.

"Kau bohong!" Setelah percakapan serius itu selesai timbul kembali sifatnya yang jenaka dan suka menggoda.

"Tidak, Li Hwa, demi kehormatanku, aku tidak berbohong!

Memang aku suka kepadamu." Li Hwa mengangkat muka, menegakkan kepala, membusungkan dada dan melangkah maju menantang sampai dekat sekali dengan Sin Hong. Pandang matanya penuh ejekan ketika ia berkata, nada suaranya menantang.

"Betulkah kau suka kepadaku? Aku tidak percaya sebelumkaubuktikan kata-katamu"" Sewaktu-waktu kalau Li Hwa sudah menggodanya dengan kebinalan macam ini, hampir saja pertahanan hati Sin Hong roboh. Masih teringat ia akan godaan-godaan Li Hwa ketika kakinya belum sembuh. Tentang jerit di telaga ketika gadis itu "tenggelam" padahal ia tahu hanya purapura saja! Menggodanya dengan segala macam kata-kata jenaka dan sikap menantang.

Kini menghadapi sikap Li Hwa seperti itu, diam-diam Sin Hong mengerahkan hawa dan menekan debar jantungnya,, kemudian kedua tangannya memegang kepala gadis itu, kedua tangan di bawah telinga kanan kiri, mengangkat muka yang manis itu lalu ....... diciumnya kening Li Hwa seperti seorang ayah mencium anaknya atau seorang kakak mencium adiknya!

Namun perbuatan ini sudah membuat seluruh muka Sin Hong dan Li Hwa menjadi merah seperti udang direbus dan kedua kaki Sin Hong menggigil seakan-akan ia terserang demam!

"Nah, itulah tandanya bahwa aku suka kepadamu, Li Hwa." Biarpun sudah mengerahkan tenaga, tetap saja suara Sin Hong terdengar gemetar.

Li Hwa tidak menjawab, melainkan menjatuhkan tubuhnya dengan lemas ke depan, menyandarkan kepala di dada kekasihnya lalu menangis tersedu-sedu!

Sin Hong mendekap kepala itu sambil melongo, melihat ke kanan kiri seperti monyet disumpit, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Baru kaliini ia melihat Li Hwa menangis tersedu-sedu. Air matanya membanjir seakanakan air mata itu sudah lama dibendung dan kini pecah bendungannya, membanjir membasahi baju Sin Hong. Tidak kepalang Li Hwa menangis, suaranya sampai hampir menggerung-gerung seperti anak kecil ditinggal pergi ibunya.

"Eh, eh ....... kaukenapa ....... ? Li Hwa, kau mengapakah ....... ?" Baru kali ini selama hidupnya Sin Hong mengalami hal yang membuatnya terheran-heran dan juga kebingungan.

Karena Li Hwa tidak menjawab, akhirnya Sin Hong membiarkannya saja menangis sepuasnya sampai air mata yang keluar dari mata gadis itu menembusi bajunya dan membasahi dada dan perutnya. Akhirnya habis juga air mata yang "dikuras" oleh Li Hwa dan gadis itu menegakkan kepalanya kembali. Matanya menjadi agak kemerahan, juga seluruh mukanya kemerahan, dan dadanya masih terisakisak.

Akan tetapi ketika. Sin Hong menatapnya penuh kekhawatiran, ia menggaruk-garuk kepalanya dan mata serta mulutnya terbuka heran. Gadis yang terisak-isak itu tersenyum! Mukanya berseri-seri gembira!

"Li Hwa ....... !" seru Sin Hong setelah akhirnya ia dapat mengeluarkan kata-kata. "Kau atau akukah yang sudah berubah menjadi gila??" Senyum Li Hwa melebar sehingga nampak giginya yang putih mengkilap. "Apa maksudmu, Sin Hong?"

"Kau tadi menangis seakan-akan aku telah mampus, dan sekarang kau tertawa! Apa artinya ini?"

"Aku menangis karena ....... bahagia dan senang hatiku, Sin Hong." jawab gadis itu sambil menyusuti air mata yang membasahi mukanya. Kemudian ia melihat ke dada dan perut Sin Hong di mana bajunya sudah basah kuyup.

Meledaklah ketawanya dan Li Hwa menuding-nuding ke arah perut Sin Hong. " Sin Hong menggeleng-geleng kepala dan akhirnya ikut tertawa juga. "Li Hwa, lain kali-kalau bersenang hati, jangan membikin kaget orang. Kalau senang hati kau menangis seperti itu, apakah kalau bersusah hati lalu tertawa-tawa?" Li Hwa menghentikan tawanya, lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh, "Sin Hong, kau marahkah? Maafkan aku kalau aku tadi membikin kaget kau. Biar-lah lain kali aku tidak akan mengulangi lagi perbuatanku tadi." Melihat sikap Li Hwa, Sin Hong menjadi menyesal mengapa tadi ia mencela. Ia lebih suka melihat gadis itu bersikap sewajarnya. Ia menyukai keadaan Li Hwa yang aseli seperti tadi, tidak dibuat-buat bersungguh-sungguh seperti sekarang ini.

"Tidak, tidak sekali-kali aku marah. Aku malah ikut gembira. Jangan kau mengubah perangai dan kebiasaanmu setiap kali aku menegurmu, Li Hwa. Kalau kau ingin menangis, menangislah seperti tadi. Aku ....... tidak apa-apa hanya tadi kaget dan ....... dan basah semua dada dan perutku ....... " Li Hwa tertawa lagi melihat sikap Sin Hong yang kelihatan tidak karuan, gagapgugup dan lucu ini.

Akhirnya mereka berkemas. Lalu Li Hwa pergi seorang diri ke Hui-eng-pai, menjumpai tokoh-tokoh Hui-eng-pai untuk berpamit.

"Maafkan, terpaksa aku meninggalkan Hui-eng-pai oleh karena aku mempergunakan hak hidupku untuk mengejar kebahagiaan. Terserah kepada kalian untuk membubarkan Hui-eng-pai ataukah untuk melanjutkannya. Akan tetapi, kalau diteruskan, hendaknya ingat bahwa aku selalu takkan mendiamkannya saja apabila Hui-eng-pai dibawa ke jalan sesat. Biarpun aku bukan menjadi ketua Hui-eng-pai lagi, namun namaku akan terbawa kalau Hui-eng-pai menyeleweng, dan akulah yang akan menghukum dengan kedua tanganku sendiri!" Dengan kata-kata pesanan ini, Li Hwa lalu berangkat setelah mengambil barang-barangnya yang berharga untuk dibawa sebagai bekal. Banyak anggauta Hui-eng-pai menangis ketika Li Hwa pergi meninggalkan mereka.

Akan tetapi, Li Hwa sudah melupakan mereka lagi setelah ia menuruni bukit dengan Sin Hong di sampingnya.

Hatinya gembira sekali. Betapa tidak? Menjadi isteri Sin Hong atau pun tidak kelak, ia akan tetap selalu berada di dekat Sin Hong dan ini berarti bahwa idam-idaman hatinya telah terpenuhi.

Selama Sin Hong berkumpul dengan Siok Li Hwa di dalam goa dan mengobati kaki gadis itu, ia telah menceritakan kepada Li Hwa bahwa bocah yang diculiknya dari Kim-bunto itu sesungguhnya bukan putera Go Hui Lian dan Coa Hong Kin. Tadinya Sin Hong tidak hendak menceritakan atau membuka rahasia ini, akan tetapi Li Hwa selalu menyatakan penyesalannya bahwa putera Hui Lian yang diculiknya hanya untuk memancing Sin Hong datang dan untuk membalas dendamnya karena Hui Lian telah "merebut" hati Sin Hong, kini telah lenyap dibawa oleh Pak-kek Samkui.

Melihat betapa Li Hwa benar-benar merasa menyesal, dan tahu pula akan sifat-sifat gadis itu, akhirnya Sin Hong membuka rahasia Tiang Bu.

"Bocah itu," katanya, "diberi nama Coa Tiang Bu dan semenjak masih bayi dipelihara oleh Hui Lian. Dia bukan anak Hui Lian dan Hong Kin."

"Pantas saja kalau begitu! Aku sering. kali merasa heran mengapa bocah ini mukanya buruk, padahal Hui Lian cantik dan Hong Kin tidak buruk rupa," kata Li Hwa. "Kalau begitu, dia itu anak siapa-kah? Sungguhpun rupanya tidak tampan akan tetapi harus kuakui bahwa anak itu mempunyai tulang dan bakat yang baik sekali. Aku tidak main-main ketika hendak mengambilnya sebagai murid, karena kulihat dia memang berbakat sekali."

"Memang demikian dan sayang sekali dia bukan anak dari Hui Lian dan Hong Kin. Akan tetapi kiraku bagi mereka sama saja karena diambil anak sejak kecil."

"Dia itu anak siapakah?" Sin Hong menarik napas panjang, "Kasihan sekali anak itu. Ia terlahir dari perbuatan yang sejahat-jahatnya, berayah seorang manusia siluman. Li Hwa, sebetulnya rahasia ini hanya diketahui oleh aku, Hui Lian, dan Hong Kin saja dan belumpernah diceritakan kepada orang lain."

"Hemm, kalau begitu janganlah di-ceritakan kepadaku, karena tak baik membuka rahasia orang. Bagiku sih sama saja, karena aku sudah tahu dia itu anak siapa."

"Kau tahu ....... ?"

"Tentusaja! Bukankah dia itu anak Liok Kong Ji dan Gak Soan Li?"

"Eeeeh ....... bagaimana kau bisa tahu, Li Hwa?"

"Sin Hong, apa kaukira aku ini orang sebodoh-bodohnya? Dahulu di puncak Ngoheng-san sudah kudengar tentang Soan Li mempunyai anak yang tidak ada ayahnya. Kemudian kau tadi menyebut-nyebut manusia siluman, siapa lagi kalau bukan Liok Kong Ji? Mudah saja menghubung-hubungkan semua itu bukan?"

"Memang tepat sekali dugaanmu, Li Hwa. Tiang Bu adalah anak Liok Kong Ji dan Gak Soan Li. Akan tetapi, bocah itu semenjak kecil dipelihara oleh Hui Lian, dan dia bersama Hong Kin amat mencinta Tiang Bu. Oleh karena bocah itu hilang dari rumah mereka karena perbuatanmu, kita harus mencarinya dan membawanya kembali ke Kimbun- to."

"Baiklah kalau kau menghendaki demikian." hanya ini jawaban Li Hwa ketika itu dengan hati mengkal karena ia belum yakin apakah kelak Sin Hong mau membawanya.

Setelah kemudian ternyata bahwa Sin Hong mau menerimanya merantau berdua. Li Hwa mengingatkan soal Tiang Bu ini.

"Sin Hong, ke manakah tujuan perjalanan kita? Apakah kita akan langsungmencari Tiang Bu di utara? Pak-kek Samkui adalah pembantu-pembantu setia dari Raja Mongol, maka kalau benar-benar mereka terus membawa Tiang Bu, bocah itu tentu dibawa ke utara dan sebaiknya ke sanalah kita menyusul." Akan tetapi Sin Hong tidak menyetujui dan menjawab.

"Tidak sekarang Li Hwa. Aku pun menduga demikian, akan tetapi memasuki daerah Mongol pada waktu sekarang bukanlah hal yang mudah. Bahaya besar mengancam kalau kita memasuki daerah Temu Cin itu. Bukan sekali-kali aku takut menghadapi bahaya, akan tetapi kalau sampai aku tewas dalam perjalanan berbahaya itu, bukankah aku akan mati sebagai seorang bengcu yang mengecewakan? Aku hendak ke Lu-liang-san lebih dulu, hendak kukumpulkan para tokoh besar yang dulu mengangkatku sebagai bengcu dan kukembalikan kedudukan ini. Setelah aku terlepas daripada ikatan tugas sebagai bengcu, barulah aku akan pergi mencari Tiang Bu." Maka berangkatlah Sin Hong dan Li Hwa menuruni Gunung Go-bi-san, melakukan perjalanan yang cepat ke selatan. Sin Hong kelihatan tenang-tenang saja akan tetapi Li Hwa nampak gembira, wajahnya berseri-seri dan alam yang terbentang luas di depannya kelihatan baru dalam pandangannya, baru dan serba indah menyenangkan.

Larinya cepat sekali dan agaknya kakinya sudah tak sakit sama sekali. Diam-diam Sin Hong tersenyum di dalam hatinya kalau ia teringat.betapa baru kemarin gadis ini masih berpura-pura sakit kakinya dan berjalan perlahan agak pincang!

"Gadis bengal ....... !" di dalam hatinya ia mengomel, akan tetapi ia merasa senang.

***

"Bocah setan ....... kau telah berani menipuku ....... !

Kurang ajar kau, sepatutnya dipecahkan kepalamu!" Sambil berlari dengan langkah lebar Thai Gu Cinjin memaki-maki Tiang Bu yang dikempit di bawah lengan tangan kirinya sedangkan tongkat kepala naga itu dipukul-pukulkan ke kanan kiri sehingga pohon-pohon tumbang dan batu-batu pecah. Ngeri hati Tiang Bu menyaksikan amukan kakek gundul yang tinggi besar seperti raksasa ini. Tenaga pukulan tongkat itu benar-benar dahsyat dan mengerikan.

"Berani kau membakar kitab peninggalan Hoat Hian Couwsu dan menghafal isinya. Hah, kau berani mendahuluiku? Setan alas! Kiranya dalam penjelmaan dulu rohku pernah berhutang kepada rohmu sehingga dalam penjelmaan sekarang ini kau membalasku, menagih janji." Hwesio Lama dari Tibet itu terus-terusan mengomel panjang pendek tentang hubungan roh-roh dan tentang hukum karma.

Tiang Bu hanya mendengarkan saja penuh perhatian dan ia mendapat kenyataan bahwa pendeta Lama ini benarbenar seorang pemuja hukum karma, yakni hukum yang menyatakan bahwa roh manusia setelah meninggal akan menjelma pula dalam tubuh lain akan tetapi hubungan11 hubungan dengan roh lain di waktu hidup yang lalu akan terulang kembali. Tagih-menagih hutang, balas-membalas dendam!

"Apa yang harus kulakukan? Apa? Membunuhmu, aku kehilangan isi kitab. Membiarkan kau hidup juga tak mungkin karena kau telah menipuku!" demikian omelan terakhir pendeta Lama itu.

"Losuhu, mengapa bingung? Dalam penjelmaan yang dulu teecu adalah muridmu, sekarang pun demikian pula." Kaget hati Thai Gu Cinjin mendengar ini sampai-sampai ia menghentikan langkahnya dan melepaskan Tiang Bu dari kempitannya. Bocah itu terguling di atas tanah, tubuhnya sakit-sakit akah tetapi ia merasa lega telah terlepas dari himpitan lengan yang berbulu dan kuat itu.

"Apa maksud kata-katamu tadi?" bentaknya dengan mata merah.

"Teecu merasa yakin bahwa dalam penjelmaan yang dahulu, teecu adalah murid Losuhu. Buktinya begitu bertemu dengan Suhu, tanpa disengaja Suhu telah menurunkan sebuah pelajaran ilmu silat kepada teecu dan takut kitab itu terjatuh ke dalam tangan orang lain, teecu telah menghafalkan di luar kepala semua isinya lalu membakar kitabnya. Bukanlah itu namanya jodoh? Kemudian, tak tersangka-sangka pula, Suhu telah menolong nyawa teecu dari ancaman Pak-kek San-kui! Bukankah ini bukti ke dua dari adanya jodoh? Sekarang mengapa Losuhu menjadi bingung seorang diri? Bagi teecu tidak ada bedanya, mau dibunuh atau tidak apa sih perbedaannya?"

"Eh, Setan Cilik. Bagaimana kau bilang tidak ada bedanya?"

"Kalau Losuhu membunuh teecu, tentu Losuhu akan terbunuh pula oleh teecu. Dalam penjelmaan mendatang, mungkin teecu menjadi orang yang lebih kuat untuk membalas kematian teecu di tangan Suhu. Dengan demikian, teecu berhutanglah dan pada penjelmaan berikutnya Suhu yang membunuh teecu lagi dan Suhu yang berhutang. Kalau Suhu menghendaki permusuhan yang tiada habisnya antara dua roh kita, sekarang Suhu mau bunuh teecu, bunuhlah!" Thai Gu Cinjin terkenal sebagai seorang tokoh besar yang selain pandai juga senang menipu orang. Banyak sekali muslihatnya sehingga ia disegani dan ditakuti orang. Akan tetapi ia mempunyai satu cacad besar, cacad yang ada hubungannya dengan kedudukannya sebagai seorang pendeta Lama. Sebagaimana telah menjadi tradisi dan kepercayaan mutlak para Lama, ia amat percaya akan hukum fumimbal lahir(?) (re-incarnation). Oleh karena itu, kata-kata yang diucapkan Tiang Bu tadi termakan benarbenar oleh hatinya.

"Sebaliknya kalau Suhu tidak menghendaki balasmembalas selama roh kita belum musnah apa salahnya kalau Suhu mengambil teecu sebagai murid dan pelayan?" Thai Gu Cinjin meraba-raba kepalanya yang gundul pelontos. Keningnya berkerut. Ia berpikir keras.

"Hemm, kau tentu keturunan roh yang sudah maju sehingga masih kecil sudah bisa bicara seperti itu ....... ! Kau betul juga, kalau kau menjadi muridku berarti kau selalu berada di samplngku dan tidak akan dapat menggunakan Pat-hong-hong-i sewenang-wenang dan sesuka-sukamu sendiri. Di samping itu kau harus tahu bahwa kitab itu bukan milikku, melainkan milik Tiong Jin Hwesio, seorang di antara dua kakek sakti di Omei-san. Kalau kau sudah tahu akan hal ini, kau pun tentu tahu bahwa kalau kakek itu tahu kitabnya hilang ia tentu akan mencari kita."

"Dan Suhu tidak kuat menghadapi Tiong Jin Hwesio?" tanya Tiang Bu.

"Apa kau sudah gila? Tiong Sio Hwesio dan Tiong Jin Hwesio adalah orang-orang sakti di masa ini. Merekalah pewaris-pewaris dari kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsu. Siapa bisa melebihi mereka? Barangkali hanya orang-orang yang telah mewarisi kitabkitab lain dari Tat Mo Couw-su, seperti mendiang guruku dan guru Ang-jiu Mo-li, orang-orang seperti itulah yang bisa menandingi dewa-dewa Omei-san"" Mendengar ini, hati Tiang Bu tertarik sekali. Telah berkali-kali ia bertemu dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi. I a sudah bertemu dengan Hui-eng Niocu yang lebih lihai, lalu Pak-kek Sam-kui yang lebih lihai lagi. Sekarang ini ia menjadi murid Thai Gu Cinjin yang malah lebih lihai daripada Pak-kek Sam-kui. Akan tetapi pendeta Lama ini merasa dirinya tidak berarti ketika ia bicara tentang dua orang hwe-sio yang ia sebut "Dewa" Omeisan! Alangkah banyaknya orang pandai di dunia ini, pikir Tiang Bu dan diam-diam ia rnerasa amat girang bahwa ia telah menghafal sebuah kitab dari Omei-san. Memikirkan ini kegirangan hatinya karena diterima menjadi murid Thai Gu Cinjin menjadi berkurang dan ia ingin sekali bisa menjadi murid "Omei-san itu.

Akan tetapi ia tidak dapat melamun lebih lanjut oleh karena Thai Gu Cinjin sudah melepaskan buntalan itu kepadanya sambil berkata.

"Mulai sekarang kau ikut aku. Bawalah buntalan ini." Tiang Bu tidak berani membantah. I a baru saja terlepas dari bahaya maut lagi. Pendeta Lama ini tidak jadi membunuhnya bahkan mengambUnya sebagai murid. Akan tetapi Tiang Bu adalah seorang anak yang cerdik. Ia maklunn bahwa belum tentu pendeta ini mengampuninya.

Siapa tahu kalau Thai Gu Cinjin hanya ingin menguras isi kitab itu daripadanya, kemudian setelah dapat mempelajari Pat-honghong-i lalu membunuhnya. Hal ini mungkin sekali bagi seorang seperti Thai Gu Cinjin. Tidak ada penjahat yang hatinya lebih kejam daripada seorang pendeta yang jahat!

Oleh karena itu, ia berlaku amat hati-hati dan waspada.

Benar saja seperti yang ia duga, Thai Gu Cinjin mulai menyuruh ia setiap hari berlatih Pat-hong-hong-i.

"Ilmu silat yang tinggi dan tidak ada Orang lain mengetahuinya itu bukan ilmu sembarangan, Tiang Bu.

Maka harus kaulatih sampai sempurna betul. Biar aku yang mengawasi kalau-kalau ada yang keliru." Tiang Bu di dalam hatinya berpikir. Bagaimana dia bisa mengetahui mana yang keliru kalau selamanya dia sendiri belum mempelajari Pat-hong-hong-i? Aku tak boleh terkena bujukannya. Dengan cerdik sekali Tiang Bu lalu mengubahubah gerakan Pat-hong-hong-i.

Tentu saja di depan seorang ahli silat tinggi seperti Thai Gu Cinjin ia tidak berani mengawur saja dan bersilat dengan tidak karuan. I a masih mainkan Pat-hong-hong-i, akan tetapi selain dengan gerakan tangan kaku tak karuan, juga ia sengaja mencampur-campur Pat-hong-hong-i dengan Samhoan Sam-bu dan Hui-houwtong-te dalam gerak kakinya.

"Heran sekali, mengapa Pat-hong-hong-i hanya ilmu silat picisan," kata Thai Gu Cinjin terheran-heran. "Masa Hoat Hian Couwsu meninggalkan ilmu silat macam begini?" Akan tetapi ia masih mengandung harapan lain. Pikirnya, barangkali bukan salah Ilmu Silat Pat-hong-hong-i, melainkan bocah ini yang tidak becus. Kemudian ia teringat bahwa Tiang Bu hanya menghafal di luar kepala dan tentu saja berlatih sendiri tanpa pimpinan jadinya tidak karuan.

Aku harus sabar, pikirnya perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit ilmu ini tentu pindah kepada aku dan dapat kusaring serta aku ambil aselinya.

Demikianlah, dengan pikiran seperti ini, sampai berbulanbulan Tiang Bu ikut kakek itu merantau, sama sekali ia tidak tahu bahwa kakek itu mengajaknya ke daerah selatan.

Diam-diam Tiang Bu merasa girang dan juga geli karena akal bulusnya berhasil menipu Thai Gu Cinjin.

Pada suatu sore Thai Gu Cinjin mengajak Tiang Bu beristirahat di pinggir sebuah kelompok pohon setelah mereka keluar dari padang tandus yang tanahnya mengandung pasir. Mereka telah rnelaku-kan perjalanan setengah hari lebih diterik panas. Bagi Thai Gu Cinjin hal ini bukan apa-apa. Kakek ini dapat bertahan untuk berjalan terus tiga hari tiga malam. Akan tetapi Tiang Bu yang belum tinggi kepandaiannya, telah kehabisan tenaga dan napas. Ia amat berterima kasih ketika kakek itu mengajaknya mengaso. Apalagi tempat itu amat teduh dan nyaman sekali kalau dibandingkan dengan daerah "yang dilaluinya setengah hari tadi. Thai Gu Cinjin sebentar saja mendengkur dan melenggut di bawah pohon, bersila seperti patung Buddha Tiang Bu termenung dan pikirannya melayang-layang.

Sudah empat tahun lebih ia meninggalkan rumah orang tuanya di Kim-bun-to. Ia teringat akan semua keluarganya dan diam-diam ia menahan tangisnya. Bukan kepalang rindunya kepada ayah bundanya, terutama sekali kepada Lee Goat. Tentu sekarang sudah besar, sudah enam tujuh tahun usianya, pandai bermain-main dan pandai bicara.

Ketika ia pergi, Lee Goat baru berusia dua tahun. Ia tentu lupa kepadaku, pikir Tiang Bu sedih. Bilakah ia akan dapat pulang? Kalau saja aku bisa lari dari Thai Gu Cinjin ini, pikirnya. Akan tetapi lari dari kakek sakti ini tak mungkin.

Biarpun kakek ini melenggut dan mendengkur, tak berani Tiang Bu meninggalkannya. Bocah ini sudah banyak berkumpul dengan orang-orang pandai sehingga ia tahu bahwa mereka ini lihai sekali.

Pula, andaikata ia dapat melarikan diri dari Thai Gu Cinjin, ia harus pergi ke mana? Jalan menuju ke Kim-bun-to ia tak tahu. Andaikata ia ketahui dari bertanya-tanya, kalau jauh sekali dan tidak membekal uang bagaimana? "Aku harus bersabar," pikirnya, "aku harus giat belajar.

Kalau sudah memiliki kepandaian apa sih sukarnya pulang ke Kim-bun-to? Pula ayah dan ibu yang kabarnya pandai sekali ilmu silat mengapa tak pernah mengajarku? Aku suka ilmu silat dan kalau aku pulang tidak boleh belajar bagaimana?, Tiang Bu membolak-balik pikiranya demikian asyik ia termenung sehingga ia tidak melihat adanya dua orang yang datang ke tempat itu. Mereka ini adalah seorang laki-laki dan seorang wanita. Tadinya mereka hendak melewati saja kakek yang melenggut dan bocah jembel yang melamun di bawah pohon itu, akan tetapi ketika mereka melihat wajah Tiang Bu, tiba-tiba mereka menahan kaki dan laki-iaki itu bertanya ragu.

"Bukankah bocah itu yang kita cari ...? Wanita itu menoleh, memandang penuh perhatian kemudian berseru girang sekali, "Betul dia Tiang Bu ....... !" Mendengar namanya disebut orang, baru Tiang Bu mengangkat kepala dan memandang. Ketika ia melihat dua orang itu dan mengenal wanita yang menyebut namanya, kagetnya bukan main. Wanita itu bukah lain adalah Hui-eng Niocu Siok Li Hwa yang ia takuti dan benci! Dan laki-laki itu adalah laki-laki gagah yang dulu pernah merampasnya dari Li Hwa di Go-bi-san. Laki-laki gagah dan tampan yang agaknya bermaksud baik menolongnya, akan tetapi yang tidak dikenalnya sama sekali. Mengapa mereka sekarang datang bersama? Melihat Li Hwa, Tiang Bu merasa khawatir sekali. I a takut kalau diculik lagi oleh wanita cantik itu. Ia pernah merasai kegalakan Li Hwia di waktu dulu, maka ia merasa lebih senarig ikut Thai Gu Cinjin daripada, ikut Li Hwa. Karena pikiran ini ia lalu menggoyang-goyang lengan pendeta Lama itu sambil berkata.

"Suhu ....... Suhu ....... bangunlah. Ada orang-orang datang ....... !" Tentu saja Thai Gu Cinjin tadi sudah mendengar kedatangan dua orang itu akan tetapi karena tidak menyangka buruk, ia tidak peduli dan meramkan terus matanya. Kini setelah Tiang Bu menarik-riariknya, ia membuka rnata, mengangkat muka memandang. Melihat dua orang muda yang datang, pendeta Lama ini kembali menundukkan muka dan memejamkan matanya, sama sekali ia tidak mau peduli. Pendeta Lama yang berilmu tinggi ini memang agak sombong. Ia tidak mau berurusan dengan segala orang muda tak berarti. Orang-orang muda seperti itu bisa apakah? Biar mereka bicara dengan Tiang Bu kalau mereka butuh, tak perlu ia melayani mereka!

Melihat sikap gurunya ini, Tiang Bu menjadi gelisah.

Apalagi sekarang dua orang itu bertindak menghampiri. Dari jauh Li Hwa sudah menegur.

"Tiang Bu, selama ini kau ke mana sajakah? Kami mencari-carimu sampai payah!" Kedua tangan wanita itu dijulurkan ke depan seakan-akan hendak menangkap. Tiang Bu makin ketakutan.

"Suhu ....... ! Suhu ....... ! Mereka datang hendakmenculik aku!" teriaknya kepada Thai Gu Cinjin sambil mengguncangguncang lengan kakek ini.

Thai Gu Cinjin membuka lagi matanya dan wajahnya kelihatan mendongkol ketika ia mengomeli muridnya.

"Kau ini kenapakah ribut-ribut tidak karuan mengganggu orang mengaso? Ke mana nyalimu? Kau memalukan orang yang menjadi guru saja. Siapa sih berani menculikmu? Kalau orang tidak memiliki nyawa cadangan mana berani mengganggu!" Setelah melempar lirikan memandang rendah kepada Li Hwa dan Sin Hong, pendeta Lama ini menutupkari matanya kembali!

"Tiang Bu, mengapa kau berada disini dengan ba ....... " Li Hwa menghentikan kata-katanya, karena tiba-tiba Sin Hong memegang pundaknya. Ketika ia menengok ia melihat Sin Hong mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepaia menegurnya dan mencegahnya, mengeluarkan katakata kasar. Memang Li Hwa tidak sesabar Sin Hong.

Mendengar ucapan dan melihat sikap pendeta gundul itu, ia merasa dipadang rendah dan dipandang hina sekali, maka serta merta darahnya naik. Tadi ia tentu akan melanjutkan makiannya dengan kata-kata "bangsat tua ! bangka" atau "bajul" atau badut gundul". Akan tetapi oleh cegahan Sin Hong, ia cepat membelokkan makiannya ketika disambungnya lagi, "dengan bajut ini?" Makian "bajut" memang tidak begitu kotor dan menghina.

Tiang Bu mengandalkan Thian Gu Cinjin maka kekhawatirannya berkurang. Ia menjawab dengan lantang.

"Ini adalah Suhuku, harap Jiwi jangan ganggu teecu lagi.

Teecu suka menjadi muridnya." Li Hwa memandang kepada Sin Hong yang juga ternyata sedangmemandangnya sambil tersenyum.

"Nah, itulah! Seperti juga nasib suka atau tidak disuka orang tergantung sepenuhnya atas sikap kita. Kau dulu kiranya tidak bersikap terlalu manis terhadap Tiang Bu maka dia sekarang begitu ketakutan melihatmu. Li Hwa, insyaflah kau sekarang akan pentingnya sikap manis budi, apalagi terhadap seorang bocah?" Li Hwa menggigit bibirnya yang merah sambil mengangguk-angguk. Memang selama melakukan perjalanan dengan kekasihnya ini, ia sering kali diperlakukan seperti seorang murid dan harus mendengarkan "kuliah" dari Sin Hong bukan hanya tentang perangainya, juga tentang ilmu silat, ilmu berlari cepat dan lain-lain.

Mendengar ucapan Sin Hong ini, tiba-tiba Thai Gu Cinjin berkata tanpa membuka matanya.

"Orang muda seperti gentong kosong, nyaring bunyinya, hanya; angin isinya. Sudah tahu nasib tergantung kepada sikap, mengapa tidak lekas-lekas pergi dan jangan mengganggu orang mengaso?" Sin Hong dan Li Hwa menjadi serba salah. Menurut patut memangmereka harus segera pergi dari situ.

Tiang Bu sudah menjadi murid orang ini dan tidak suka mereka bawa dan kakek ini tidak sudi diajak bicara, mau apa lagi. Sebagai seorang gagah Sin Hong merasa malu untuk melakukan hal tidak pantas. Kalau Tiang Bu berada di tangan Pak-kek Samkui, ia boleh menerjang dan merampas kembali anak ini. Akan tetapi bocah ini kini telah menjadi murid seorang pendeta Lama yang nampaknya tak boleh dipandahg ringan.

"Tiang Bu, Ibumu di rumah bersedih, menanti kembalimu!" Tiba-tiba Li Hwa berkata. Memang Hui-eng Niocu amat cerdik dan banyak akal. Ia maklum akan kehalusan budi Sin Hong yang pasti tidak mau melakukan kekerasan terhadap pendeta Lama itu seperti yang ia hendak lakukan, maka satu-satunya jalan ialah membujuk Tiang Bu.

"Kami datang untuk mengantarkan kau pulang ke rumah Ibumu, Tiang Bu." Hati Tiang Bu tergerak. Akan tetapi ia berlaku hati-hati dan tidak mudah dibujuk.

"Kalau Niocu begitu baik hendak mengantarkan aku pulang mengapa dahulu menculikku dari rumah?" Bantahnya yang membuat Li Hwa terpukul dan tercengang.

Akan tetapi Li Hwa seorang yang cerdik dan banyak akal.

Cepat ia dapat menguasai kebingungannya dan tersenyum manis. Sayang Tiang Bu masih kanak-kanak, andaikata ia sudah dewasa kiranya segala kemarahan akan banyak berkurang menghadapi senyum semanis itu!

"Anak yang baik, kau tidak tahu. Dahulu memang ada pertikaian antara orang tuamu dan aku, pula aku ingin mengambilmu sebagai murid. Sekarang aku dan orang tuamu sudah berbaik kembali. Marilah Nak, kauikut kami pulang ke Kimbun-to. Ibumu menanti-nanti!" Tiang Bu menggeleng kepala. "Tak mungkin Ibu berduka karena aku hilang. Buktinya dia tidak mencari aku sampai bertahun-tahun!" Dalam kata ini terkandung rasa sedih dan sakit hati. Memang kadang-kadang timbul penasaran dan sakit hati dalam dada Tiang Bu kalau ia terkenang betapa ayah bundanya yang berkepandaian tinggi seperti yang sering ia dengar dibicarakan dan dipuji-puji oleh para pelayan, sama sekali tidak pernal» menyusul dan mencarinya!

Jawaban itu kembaii membuat Li Hwa melengak. Lalu ia mengira bahwa anak ini tidak begitu sayang atau tidak begitu disayang oleh ibunya. Mungkin Coa Hong Kin lebih menyayanginya. Cepat ia berkata.

"Tiang Bu, selain Ibumu bersedih menanti-nantimu, juga Ayahmu amat mengharapkan kedatanganmu. Marilah ikut kami pulang!" Kembali Tiang Bu menggeleng kepala. "Kelak kalau aku sudah kuat, aku dapat pulang sendiri." Sin Hong yang maklum akan maksud akal yang diperguriakan oleh Li Hwa, lalu membantu dengan kata-kata yang ramah.

"Tiang Bu, anak baik. Kami cukup mengerti betapa kau telah menderita bertahun-tahun. Ayah bundamu tiada hentinya memikirkan kau dan sudah mencari-cari tanpa hasil, juga adikmu amat mengharapkan dan merindukan pulangnya kakaknya." Kata-kata ini seperti pisau menancap di jantung Tiang Bu.

Diingatkan akan adiknya yang katanya rindu kepadanya, tak tahan pula matanya menjadi basah dan merah. Entah bohong atau tidak, orang ini, akan tetapi tak dapat diragukan lagi bahwa adiknya pasti amat merindukannya, pikirnya.

"Siapakah kau ....... ?" tanyanya kepada Sin Hong.

"Aku sahabat baik ayah ibumu. Percayalah kepada kami.

Kami betul-betul datang untuk mengajak kau pulang."

"Lee Goat ....... " Tiang Bu menyebut nama adiknya perlahan, wajah adiknya yang mungil terbayang di depan matanya. "Sudah besarkah dia? Sudah pandai bicarakah? Apakah dia nanti masih mengenal aku ....... ?" Melihat bahwa disebutnya adiknya membuat bocah itu terpikat, Sin Hong lalu berkata, "Adikmu sudah besar.

Marilah kaulihat sendiri di rumah. Dia tentu akan girang sekali kalau kau pulang."

"Pulang ....... ?" Tiang Bu menoleh kepada Thai Gu Cinjin dan pada muka anak ini terbayang kekhawatiran. Sin Hong dan Li Hwa yang bermata awas dan cerdik maklum bahwa tentu Tiang Bu takut kepada pendeta itu, maka berkatalah Sin Hong cepat-cepat.

"Ya, pulang ke Kim-bun-to, Tiang Bu. Suhumu tentu akan memberi ijin kepadamu." Tiba-tiba Thai Gu Cinjin menggerakkan tongkatnya dan tahu-tahu tongkatnya yang panjang sudah disodorkan ke depan, melintang di depan Sin Hong dan Li Hwa, merupakan palang menghalangi mereka maju.

"Tidak, Tiang Bu. Kau muridku dan harus taat kepada perintahku. Kau takkan ke Kim-bun-to, melainkan ikut ke mana pun juga aku pergi. Kelak kau akan ikut dengan aku ke Tibet!" Setelah menyemprot muridnya dengan kata-kata ini ia lalu menoleh kepada Sin Hong dan Li Hwa, memutar kedua matanya dengan marah lalu berkata.

"Orang-orang muda tak tahu gelagat! Apa kalian mau mencari penyakit atau kalian sudah bosan hidup? Tadi sudah kukatakan jangan mengganggu aku dan lekas pergi!"

"Maafkan kami, Losuhu," kata Sin Hong sambil menjura.

"Sesungguhnya kami datang untuk mengajak pulang anak ini yang dulu dirampas oleh Pak-kek Sam-kui dari tangan kami." Mendengar ini, Thai Gu Cinjin makin memandang rendah.

Kalau terhadap Pak-kek Sam-kui saja mereka ini kalah, berarti kepandaian mereka ini kalau adapun amat tidak berarti. Ia tersenyum mengejek.

"Kalian ini sudah terpukul oleh Pak-kek Sam-kui masih bandel. Apa kaukira mudah saja merebut muridku ini? Lihat tongkatku ini. Kalau kalian bisa melewati tongkatku, baru aku bicara." Setelah, berkata demikian, tongkat kepala naga itu dilonjorkan ke depan dengan tangan kanan, melintang setinggi dua kaki dari tanah.

Sin Hong merasa mendongkol sekali. Kakek ini benarbenar sombong, pikirnya, Dapat dimengerti bahwa kalau orang seperti Sin Hong sabarnya bisa mendongkol, apalagi Li Hwa! Nona ini sudah bercahaya matanya, kemerah-merahan pipinya dan jari-jari tangannya yang bagus itu sudah menggetar dikepal-kepal.

"Biar aku mencobanya. Masa melewati saja tak mampu?" kata Li Hwa perlahan kepada Sin Hong dengan mata penuh permintaan. Sin Hong tidak tega mencegah. Ia mengangguk dan berkata perlahan.

"Berhati-hatilah kau." Biarpun terang-terangan kakek gundul itu menantang mereka berdua, namun bukan watak Sin Hong dan Li Hwa untuk mengeroyok orang begitu saja. Mereka berdua adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri, maka amat memalukan kalau mereka maju berdua sebelum tahu bagaimana kekuatan lawan.

Hui-eng Niocu Siok Li Hwa adalah seorang ahli ilmu ginkang yang jarang ditemukan bandingannya. Gerakannya amat cepat dan tangkas, tepat sekali dengan julukannya Nona Garuda Terbang! Maka ia cepat-cepat mengajukan diri tadi karena dianggapnya betapa mudahnya melewati halangan berupa tongkat dipalangkan seperti itu! Dengan gaya yang indah ia melangkah tiga tindak ke depan bersiapsiap lalu berkata nyaring.

"Kakek sombong, aku lewat!" Cepat bagaikan anak panah menyambar tubuhnya meluncur ke depan melompati tongkat melintang itu dengan kedua lengan dikembangkan ke kanan kiri seperti seekor burung garuda terbang. Inilah Ilmu Melompat Hui-eng-coan-in (Burung Garuda Menerjang Awan), cepat dan indah gerakan ini.

Akan tetapi kali ini Nona Garuda Terbang bertemu dengan batu!

Begitu tubuhnya melayang, pendeta Lama itu yang kembali sudah tunduk dan meramkan mata dengan sikap memandang rendah sekali, telah menggerakkan tongkat ke atas dan tepat sekali tongkatnya itu, melakukan totokan ke arah iga dari tubuh Li Hwa yang masih melayang itu.

Terdengar teriakan kaget disusul oleh ketawa terkekeh-kekeh. Li Hwa yang melihat datangnya sodokan tongkat ini, terkejut sekali sampai menjerit. Cepat ia melakukan gerakan berjungkir balik di udara, tangan kirinya menyambar ujung tongkat dan terpaksa ia melompat kembali ke tempat tadi, tidak berhasil melewati tongkat itu dan ditertawakan oleh Thai Gu Cinjin yang masih meramkant matanya!

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa. Ia telah dihina orang yang menggagalkan lompatannya dengan mudah sambil meramkan mata! Benar-benar ia dianggap seorang anak kecil yang bodoh! "Heh-heh-heh-heh! Masih untung ginkangmu lumayan. Kau boleh coba lagi, dengan pedang di tangan pun boleh kalau masih berani." Kata-kata Thai Gu Cinjin yang kini membuka matanya dan memandang kepadanya dengan penuh ejekan membuat darah Li Hwa bergolak. Secepat kilat tangannya bergerak meraba gagang pedang dan sinar hijau berkeredepan menyilaukan mata ketika pedang itu di lain saat telah terhunus.

"Pokiam (Pedang Pusaka) bagus! Asal saja kau bisa mempergunakannya!" Kembali kata-kata dari Thai Gu Cinjin ini merupakan ejekan yang memandang rendah.

"Pendeta sombong, jagalah aku lewat!" teriak Li Hwa dan dengan gerakan cepat sekali ia melompat maju lagi dengan pedang diputar-putar di depannya. Ia akan membabat putus tongkat panjang itu apabila pendeta itu menghalanginya lagi dengan tongkatnya.

Betul saja, Thai Gu Cinjin dengan gerakan sembarangan saja menyodok dengan tongkat menghalangi majunya Li Hwa.

Gadis ini mengayun pedang, mengerahkan tenaga dan membacok tongkat dengan Cheng-liong-kiam. Terdengar suara keras,, bunga api berpijar dan Li Hwa terkejut bukan main. Bukan saja tongkat itu tidak putus oleh sabetan pedang, bahkan pertemuan antara dua senjata sehingga mengeluarkan bunga api ini membuat telapak tangannya perih dan tergetar.

Dan di lain saat ujung tongkat itu telah menyerampang kedua kakinya! Ini terang hanya gerakan untuk mempermainkan dan menggertaknya saja. Sambil menggigit bibir saking cemas, terpaksa Li Hwa melompat ke atas menyelamatkan kedua kaki dari sabetan tongkat. Akan tetapi tongkat itu menyusulnya cepat dan melakukan sodokan dari bawah mengarah perutnya!

Ini keterlaluan sekali! Main-main yang sudah bukan merupakan main-main lagi melainkan penghinaan yang tidak pantas. Li Hwa tidak mau menangkis dengan pedangnya, melainkan kedua kaki yang tadinya ditarik ke atas, tiba-tiba ia lonjorkan dan dengan tepat ia menyambut ujung tongkat itu dengan tumit kakinya, kemudian dengan. meminjam tenaga sodokan tongkat itu tubuhnya mumbul setinggi tiga atau empat tombak ke atas! Dengan cara ini ia hendak sekaligus melewati pendeta itu dan menang!

"Lihai sekali!" teriak Thai Gu Cinjin melihat kehebatan ginkang dari nona itu dan Sin Hong juga diam-diam girang dan memuji kecerdikan Li Hwa yang dapat mempergunakan hinaan lawan untuk mencapai kemenangan.

Akan tetapi baik Li Hwa maupun Sin Hong menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba tongkat panjang itu "terbang" dari tangan kakek itu, meluncur ke atas seperti anak panah terlepas dari busurnya! Serangan ini berbahaya sekali dan hanya seorang dengan ginkang tinggi seperti Li Hwa yang dapat menyelamatkan diri. Melihat luncuran tongkat ke depannya itu, Li Hwa maklum bahwa kalau ia melanjutkan lompatannya, ia akan termakan oleh tongkat itu. Untuk mengelak tak mungkin lagi, maka cepat ia memegang pedangnya dengan kedua tangan, diayun ke bawah memapaki datangnya tongkat dengan seluruh tenaganya.

Terdengar suara keras dan kembali bunga api berpijar.

Tongkat kena dihajar pedang terlempar ke bawah, akan tetapi juga tubuh Li Hwa terpental ke belakang kembali sehingga ketika gadis ini melompat turun, ia. masih belum melewati kakek yang telah memegang tongkatnya lagi!

"Li Hwa, kau mundurlah. Biar aku mencoba-coba," kata Sin Hong, maklum bahwa ia menghadapi seorang sakti yang tak boleh dipandang ringan sama sekali. Ia menjura kepada pendeta Lama itu sambil berkata.

"Maaf, Locianpwe. Aku yang muda mohon lewat!" Setelah berkata demikian dengah langkah tenang dan biasa saja Sin Hong berjalan maju. Thai Gu Cinjih biarpun masih memandang rendah kepada laki-laki muda ini namun karena ia dapat menduga bahwa lawan kedua ini tentu lebih lihai daripada wanita tadi, memegang tongkatnya dengan kedua tangan, disodorkan merupakan palang yang mencegah Sin Hong lewat. Kedua tangannya memegang ujung tongkat kuat-kuat dan matanya memandang orang yang datang penuh perhatian dan bersiap-siap.

Dengan sekilas pandang, Sin Hong mengukur kedudukan kakek itu dengan penuh perhitungan, kemudian ia berkata.

"Maaf, Locianpwe. Tongkatmu menghalangi jalan!" Ia membungkuk dan menangkap tongkat itu dengan kedua tangan mengerahkan tenaganya untuk menekan tongkat itu ke bawah.

Thai Gu Cinjin kaget sekali. Ia melakukan penjagaan dengan tongkat untuk mencegah orang lewat dan untuk menggebuk atau mendorong orang yang hendak melompati tongkatnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang muda ini menangkap tongkatnya dan menekannya ke bawah. Tentu saja untuk mengadu tenaga, ia kalah kedudukan. Orang muda itu memegang ujung sana tongkatnya dan menekan ke bawah. Kalau ia harus mempertahankan dan mengangkat tongkat itu dari ujung sini, berarti tenaganya menjadi satu lawan sepuluh! Akan tetapi Thai Gu Cinjin memang berwatak sombong.

Ia terlalu percaya akan kepandaiannya sendiri yang dianggapnya tidak ada bandingnya. Di samping kesombongan ini, juga ia berpikir andaikata ia kalah tenaga, toh masih belum berarti bahwa pemuda itu dapat lewat.

Begitu tongkatnya dilepaskan oleh lawannya dan lawan itu hendak melompat lewat, ia masih dapat menggebuk dari belakang! Karena pikiran inilah maka Thai Gu Cinjin lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan tekanan Sin Hong.

Akan tetapi kakek inii sama sekali tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Wan Sin Hong pendekar muda, yang berilmu tinggi sehingga tujuh delapan tahun yang lalu sampai memenangkan pemilihan bengcu di Ngo-heng-san!

Biarpun ia mengerahkan seluruh tenaganya, dengan amat mudah karena memang menang kedudukan sehingga dengan sepersepuluh tenaganya saja Sin Hong dapat menangkan tenaga lawan ujung tongkat itu tentu ditekan, oleh Sin Hong sampai masuk ke dalam tanah! Sin Hong terus menekan dan ujung tongkat itu amblas dan melesat terus makin lama makin dalam.

Thai Gu Cinjin terkejut. I a tak menyangka! Memang, kekalahan adu tenaga ini tidak ia herankan oleh karena memang kedudukannya yang kalah, akan tetapi ia tidak pernah memperhitungkan bahwa pemuda itu bukan hanya menekan sekedar untuk melompati tongkat, melainkan bermaksud menekan terus sampai tongkat itu melesak ke dalam tanah sehingga mudah baginya mengendurkan tenaganya melawan. Biarpun tongkat amblas ke dalam tanah, pikirnya asal saja masih kukerahkan tenagaku, begitu dilepaskan olehnya akan dapat tercabut kembali untuk mengemplang kepalanya dari belakang!

Di samping ilmu silatnya yang tinggi, Sin Hong juga memiliki otak yang sehat dan cerdik, maka ia sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik pengerahan tenaga sia-sia dari kakek itu. I a menekan terus, kemudian pada saat yang baik ia melepaskan tongkat sambil berseru.

"Aku lewat!" Tongkat yang tadinya terpendam dalam tanah itu tibatiba tercabut membawa gumpalan-gumpalan tanah.

Sedianya tongkat itu dari bawah akan langsung menghantam tubuh Sin Hong yang melewatinya. Akan tetapi dengan gerakan tenang-tenang saja Sin Hong menunda langkahnya, hanya untuk beberapa detik saja karena begitu tongkat itu tercabut dan melayang kuat ke atas, ia menerobos dari bawah tongkat! Ketika Thai Gu Cinjin sadar bahwa ia kena tipu, orang muda itu sudah lolos dan sudah berdiri jauh melewatinya, tak dapat dihalanginya atau dicegah oleh tongkatnya lagi.

Wajah Thai Gu Cinjin menjadi merah sekali. Keringat berkumpul di dahinya yang kelimis. Ia memandang kepada Sin Hong dengan mata bersinar-sinar mengeluarkan hawa panas.

"Jahanam, kau telah menipuku! Kau lewat bukan mengandalkan kepandaian, melainkan mengandalkan tipu muslihat licik!" bentaknya marah.

Sin Hong tersenyum dan menjura dari tempat ia berdiri.

"Locianpwe, seorang tua seperti Lo-cianpwe ini apa mungkinmenelan kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"

"Setan! Aku tadi berjanji kalau kalian dapat lewat baru aku mau bicara. Siapa menarik kembali omongan? Dengar baik-baik, aku berjanji lagi bahwa kalau kau sekarang dapat menghalangi aku lewat, aku takkan banyak omong lagi dan kau boleh membawa pergi bocah setan Tiang Bu"" Sin Hong mengerutkan alisnya. Ia maklum bahwa ia menghadapi seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi berbatin rendah. Dengan orang macam ini tak mungkin dicapai penyelesaian secara damai. Kalau ia tidak memperlihatkan kepandaiannya, kakek itu pasti akan berlagak terus. Maka ia segera siap menghadapi tantangan itu. Memang kata-kata tadi sama dengan tantangan, karena ia dapat menduga bahwa kakek itu pasti akan berusaha keras untuk dapat melewatinya, biarpun untuk usaha itu ia harus membunuh lawannya. Ini bukan merupakan peerjanjian atau pertaruhan biasa saja, melainkan menyangkut kehormatan maka tentu akan dipertahankan mati-matian. Namun, Sin Hong masih memancing untuk mengetahui pasti isi hati lawan.

"Baiklah, Locianpwe. Memang aku dapat menduga bahwa akhirnya Locianpwe tentu akan mengembalikan bocah itu kepada kami. Harap Locianpwe jelaskan apakah Locianpwe hendak lewat dengan tangan kosong, ataukah dengan bantuan senjata?" Thai Gu Cinjin menjadi mendongkol dan merasa disindir.

Tapi orang muda ini memang telah berhasil "lewat" biarpun dengan cara menipu, dengan mengandalkan tangan kosong belaka. Akan tetapi ia tidak mau berlaku bodoh s eperti tadi tidak mau gagal oleh karena memandang rendah lawan.

Orang rnuda yang sikapnya tenang, matanya terang, bicaranya ramah seperti ini lebih baik jangan dipandang rendah.

"Aku sudah tua dan lemah, kemana-mana harus dibantu tongkatku ini." Thai Gu Cinjin mengira bahwa orang muda itu tentu menjadi gentar dan mengajukan alasan supaya ia lewat dengan tangan kosong. Kalau sampai terjadi demiklan, ia akan mendapatkan kembali mukanya dan dapat membalas orang muda itu dengan ejekan bahwa pemuda itu takut.

Akan tetapi ia kecele. Sin Hong menarik napas panjang, tahu bahwa kakek ini menghendaki pertandingan silat dengan senjata. Hal ini sama sekali tidak menggelisahkan hatinya, bahkan ia merasa lega. Kalau kakek ini menggunakan tongkat yang berarti bersenjata, ia pun tidak malu-malu mempergunakan pedangnya. Dan karena tongkat itu pun senjata ampuh seperti tadi telah terbukti ketika beradu dengan Cheng liong kiam maka ia tidak malu mempergunakan Pak kek Sin kiam dan takkan disebut mencapai kemenangan karena mengandalkan senjata pusaka.

"Baiklah, Locianpwe. Aku siap sedia. Kau cobalah untuk lewat!" katanya sambil mencabut pedangnya yang mengeluarkan cahaya lebih cemerlang daripada cahaya hijau dari Cheng liong kiam tadi. Melihat ini Thai Gu Cinjin tertegun dan kagum sekali.

"Banyak pedang bagus!" katanya. "Kalau aku tak dapat lewat, kalian boleh bawa pergi Tiang Bu. Akan tetapi kalau sebaliknya, kalian harus meninggalkan pedang-pedang itu!" Ternyata kakek inl tldak mengenal pedang Pak kek Sin kiam yang akan dikenal oleh ratusan tokoh-tokoh kangouw lainnya. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Thai Gu Cinjin baru sekarang turun gunung meninggalkan Tibet.

Tidak seperti banyak orang sakti yang selalu mengunjungi Tibet, di waktu dahulu pemilik pedang ini, Pak kek Siansu belum pernah ke Tibet. Oleh karena inilah maka tokoh-tokoh besar Tibet ini tidak mengenal Pak kek Sin kiam, baik nama maupun rupa.

"Kalau Locianpwe yang menang apa yang hendak kau lakukan, baik yang patut maupun yang tidak kami akan dapat berbuat apakah?" kata Sih Hong yang sudah berdiri dengan pedang melintang di tangan kanan.

Pemuda ini tenang sekali. Dengan pedang di tangan memang Sin Hong boleh merasa tenang. Dalam hal ilmu pedang kiranya Pak-kek Kiamsut sukar dlcari bandingannya, apatagi kalau ilmu pedang ini dimainkan oleh Sin Hong yang mempelajarl dengan sempurna, ditambah dengan Pak-kek Sinkiam di tangannya pula! Andaikata ia menghadapi kakek itu dalam pertempuran tangan kosong, belum tentu ia akan setenang dan sepasti itu untuk mencapal kemenangan.

Thai Gu Cinjln tentu saja merasai sindiran Sin Hong ini.

Dengan marah ia mengayun tongkatnya tinggi-tinggi di atas kepala, memutar-mutarnya sehingga mengeluarkan angin dan bersuara mengaung seperti kitiran angin.

"Awas aku lewat. Minggir.....!!" bentaknya menerjang maju. Melihat ini, diam-diam L.i Hwa meleletkan lidahnya yang merah. Kakek itu benar-benar berbahaya sekali, pikirnya. Dari gerakan tongkat dan angin yang menyambar31 nyambar saja gadis ini pun tahu bahwa kakek itu berkepandaian tinggi dan bertenaga besar. Ia takkan merasa aneh kalau saja mendengar bahwa kakek ini merampas Tiang Bu dari tangan Pak kek Samkui, karena dapat diduga bahwa kepandaian kakek ini memang lebih tinggi daripada kepandaian Pak-kek Samkui.

Sin Hong menggerakkah pedangnya menangkis. Seperti juga tadi ketika tongkat bertemu dengan Cheng liong kiam, terdengar suara keras dan terlihat sinar api berpencaran.

Thai Gu Cinjin merasa tangannya kesemutan. Kagetlah ia dan cepat-cepat ia menarik kembali tongkatnya untuk diperiksa apakah tidak rusak. Ia melihat tongkat itu tidak apa-apa, hanya warna lapisannya lecet-lecet. Ia memandang kepada Sin Hong yang berdiri tenang-tenang saja. Bukan main heran hatinya. Akan tetapi keheranannya terganti kemarahan yang memuncak. Kehormatannya tersinggung.

Masa ia harus kalah oleh seorang bocah seperti ini? Kini ia menggeram dan melangkah maju. Lenyap sama sekali keinginan hatinya hendak lewat saja terganti oleh nafsu merobohkan atau mengalahkan pemuda berpedang pusaka ini.

"Robohlah!" bentaknya dan kini tongkatnya dimainkan dengan gerakan silat yang kuat dan cepat juga amat aneh gerak-geriknya. Muka Thai Gu Cinjin yang berwarna ungu itu kini berubah merah gelap. Sin Hong mengelak cepat dan membalas dengan serangan pedangnya. Ia harus bertaku awas karena menghadapi gerakan ilmu tongkat yang amat aneh. Namun, Pak kek Kiamsut memang bukan ilmu pedang sembarangan dan di dalam ilmu pedang ini terdapat segala macam gerakan untuk menghadapi macam-macam lawan.

Sebentar saja pedangnya tenyap berubah menjadi gundukan sinar yang menyilaukan mata, yang membendung hujan pukulan tongkat dan membalas dengan kecepatan halilintar menyambar-nyambar membuat Thai Gu Cinjin terkejut bukan main. Baru sekarang Thai Gu Cinjin mendapat kenyataan dan terbuka matanya bahwa yang dapat mengalahkannya di dunia ini bukan hanya kakekkakek sakti di Omeisan dan Angjiu Moli iblis wanita dari utara itu. Ilmu pedang orang muda ini hebat sekali, bahkan kalau ia bandingkan dengan ilmu pedang dari Angjiu Moli yang pernah ia lihat kiranya tidak kalah lihai.

Sementara itu, Siok Li Hwa mendekati Tiang Bu yang melihat pertempuran itu dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Hampir ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri menyaksikan pertempuran yang hebat bukan main itu, Thai Gu Cinjin kelihatan seperti raksasa mengamuk.

Tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang panjang seperti seekor naga hitam, nampaknya dahsyat dan mengerikan. Di lain fihak lawannya telah lenyap, hanya bayangannya saja kadang-kadang nampak di antara gulungan sinar pedang yang berkelebatan cepat.

Pemandangan itu mirip dengan hari hujan di mana sinar tongkat itu merupakan mendung hitam sedangkan sinar pedang merupakan sinar kilat yang menyambar-nyambar dan diantara mendung dan kilat itu bertempur seorang raksasa ganas melawan seorang dewa yang tampan! Yang amat mengherankan hati Tiang Bu, bagaimana orang muda itu dapat melawan Thai Gu Cinjin? Selama ini, orang yang dianggapnya paling lihai hanyalah Thai Gu Cinjin yang dengan mudah merampasnya dari tangan Pak-kek Samkui yang begitu jahat dan menakutkan. Akan tetapi sekarang pertempuran itu berjalan demikian seru dan siapakah di antara mereka yang lebih unggul.

"Tiang Bu, apakah kau tidak mengenal orang yang hendak menolongmu supaya kau bisa pulang? Tidak kenalkah kau akan orang yang sekarang bertempur melawan pendeta Lama itu?" Pertanyaan dari Li Hwa yang tiba-tiba sudah berada di dekatnya ini mengejutkan hati Tiang Bu.

Ia menggeleng kepalanya, akan tetapi matanya terus mengincar ke arah dua orang yang tengah bertempur.

"Apakah Ayah Bundamu dahulu belum pernah menyebut nama Wan Sin Hong di depanmu?" tanya pula Li Hwa terheran-heran. Mendengar disebutnya nama ini, tiba-tiba Tiang Bu teringat. Pernah sambil lalu ketika Tiang Bu minta ayah ibunya mengajar ilmu silat, ibunya berkata.

"Kelak saja kau boleh belajar ilmu silat kepada pendekar besar yang menjadi pemimpin semua ahli persilatan, yaitu Wan bengcu." Ketika ia mendesak dan bertanya siapa adanya Wan bengcu itu, ibunya menjawab, "Dia adalah sahabat baik ayah bundamu bahkan dia masih terhitung Susiokku (Paman Guruku). Namanya Wan Sin Hong dan kiranya di dunia ini tidak ada orang yang dapat menandingi ilmu silatnya." Demikianlah yang ia ingat tentang nama Wan Sin Hong.

Jadi orang yang lihai inilah Wan Sin Hong yang oleh ayah bundanya hendak dijadikan gurunya? Tiang Bu memandang makin tertarik akan tetapi sayang matanya belum begitu awas untuk dapat mengikuti jalannya pertempuran yang cepat itu.

Melihat ini, Li Hwa menoleh ke arah pertempuran lalu berkata dengan suara pasti, "Dia pasti akan menang.

Pernahkah Ayah Ibumu menyebut nama Wan Sin Hong?" Kini Tiang Bu mengangguk dan matanya bersinar gembira. Li Hwa juga merasa senang karena sekarang anak itu agaknya percaya kepadanya dan tidak curiga seperti tadi.

"Siapakah Kakek Gundul sombong itu? Apa betul dia gurumu?"

"Dia bernama Thai Gu Cinjin, pendeta Lama dari Tibet," jawab Tiang Bu tanpa mengalihkan pandangan matanya dari medan pertempuran.

"Teecu dipaksa menjadi muridnya setelah dia merampas teecu dari tangan Pak-kek Samkui. Aduuhh..... kenapa itu.....??" Tiba-tiba Tiang Bu menuding ke arah pertempuran yang mengalami perubahan. Kini ia melihat Sin Hong, nampaknya orang muda itu kelelahan atau entah mengapa.

Akan tetapi jelas gerakan Sin Hong tidak seperti tadi, pedangnya mulai tidak karuan dan tiba-tiba Thai Gu Cinjin yang kini sudah mengeluarkan sebuah saputangan merah membentak, "Orang muda, lepaskan pedangmu dan berlututlah!" Aneh sekali! Sin Hong terhuyung-huyung berusaha menetapkan langkahnya namun tak berhasil akhirnya ia benar-benar jatuh berlutut, hanya Pak-kek Sinkiam masih di tangannya. Apakah yang terjadi? Setelah bertempur selama lima puluh jurus, Thai Gu Cinjin yang sombong itu harus mengakui keunggulan Wan Sin Hong. Sudah dua kali dalam lima puluh jurus itu Sin Hong membuktikan keunggulannya. Dengan ilmu pedangnya yang luar biasa itu, ia telah berhasil membabat putus ujung lengan baju dan ujung jubah lawannya. Oleh karena maklum pemuda yang dihadapinya memiliki ilmu pedang yang tinggi sekali dan kalau dilanjutkan tentu ia akan kalah, Thai Gu Cinjin lalu mempergunakan ilmu sihirnya. Kaum Lama di Tibet pada umumnya memuja roh suci, terutama sekali roh suci dari Buddha yang mereka percaya selalu jutsi (menjelma) menjadi seseorang yang mereka pilih menjadi Dalai Lama. Kalau kaum Lama ini memuja roh suci yang mereka harapkan dapat memimpin mereka ke arah jalan kebenaran, adalah kaum Lama jubah merah ini memuja atau mengadakan hubungan dengan roh-roh jahat atau rohroh penasaran, bukan untuk memuja guna kebaikan jalan hidup, melainkan dipuja untuk dipergunakan bantuannya dalam menjalankan ilmu-ilmu hitam" Tingkat ilmu silat Wan Sin Hong memang sudah amat tinggi dan kiranya tidak banyak orang-orang sakti di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya dalam ilmu silat. Akan tetapi dia masih muda dan pengalamannya tentu saja masih belum cukup banyak. Belum pernah ia berhadapan dengan lawan yang mempergunakan ilmu sihir untuk menyerangnya. Kalau lawannya mempergunakan pukulan atau serangan dengan senjata-senjata berbisa, kiranya mengandalkan kepandaiannya yang tinggi ia akan dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi kali ini Thai Gu Cinjin mempergunakan ilmu sihir atau hoat-lek (ilmu gaib) dengan mempengaruhi dan menguasai semangat Sin Hong melalui pandangan mata, gerak tangan penuh rahasia, dan suara perintah yang menyeramkan.

"Orang muda, lepaskan pedangmudan berlututlah!" bentaknya dan Sin Hong terhuyung-huyung, berusaha menetapkan langkahnya namun tak berhasil dan akhirnya menyerah terhadap kekuasaan aneh yang memaksa dan menguasainya. Ia jatuh berlutut, hanya Pak-kek Sinkiam masih di tangannya, tergenggam erat-erat. Ini tepat dengan wataknya, agaknya pedang pusaka di tangan takkan dilepaskannya! Semboyan "mati hidup dengan pedang di tangan" menjadi pedoman setiap orang gagah.

Thai Gu Cinjin tertawa bergelak melihat lawannya yang muda dan lihai itu sudah takluk di bawah pengaruh sihirnya.

"Orang muda sombong, baru kau tahu kelihaian Thai Gu Cinjin. Kaukira aku tidak bisa melewatimu? Minggirlah!" Sambil berkata demikian tongkatnya yang panjang itu meluncur cepat ke arah ulu hati Sin Hong.

Biarpun kedua kakinya seperti lumpuh dan tak berdaya, menghadapi serangan maut ini, otomatis tenaga dan hawa sinkang di dalam tubuh Sin Hong bekerja dan seakan-akan tanpa ia gerakkan lagi tubuhnya sudah miring membuat gerakan mengelak! Akan tetapi serangan Thai Gu Cinjin bukan seperti serangan tukang silat sembarangan saja.

Kepandaian kakek ini sudah tinggi dan melihat tubuh itu mengelak, ia pun mengejar dengan tongkatnya.

"Brukkk.....!!" Dada sebelah kanan dari pemuda itu terdorong ujung tongkat. Tubuh itu mencelat sampai empat tombak lebih, terbanting bergulingan lalu rebah tertelungkup di atas tanah tak berkutik.

"Sin Hong.....!!" Li Hwa lupa akan segalanya. Gadis ini melompat dan mengejar Sin Hong, lalu menubruk dan memelukinya. Dipangkunya kepala Sin Hong, didekap ke dadanya dan ia memperhatikan muka kekasihnya itu. Darah segar mengalir keluar dari mulut Sin Hong, membuat bibirnya menjadi merah berlepotan darah. Mukanya pucat sekali dan matanya terpejam.

"Sin Hong.....! Bangunlah.....! SinHong, jangan kau mati...... jangan tinggalkan aku, Sin Hong.....!!" Saking kaget dan khawatirnya kalau-kalau pemuda yang menjadi pujaannya itu mati, Li Hwa lupa akan kegagahannya dan menangis seperti anak kecil. I a tadi menyaksikan sendiri , betapa hebatnya dorongan tongkat dari Thai Gu Cinjin dan sebagai seorang ahli silat tinggi ia dapat mengerti bahwa pukulan semacam itu agaknya tidak mungkin dapat ditahan orang, apalagi kalau yang terkena itu bagian dada. "Sin Hong, jangan tinggalkan aku....., bawalah aku serta....." Ia menangis dan lupa akan segala, ia mencium muka yang disangkanya sudah akan ditinggalkan nyawa itu. I a tidak peduli betapa darah segar yang mengalir keluar dari mulut Sin Hong itu mengenai pipinya, hidungnya, bahkan bibirnya terkena darah dan terasa darah pada mulutnya!

"Suhu, kau..... kau kejamsekali! Kau..... kau jahat"!" Teriakan ini dikeluarkan oleh Tiang Bu yang merasa amat terharu melihat sikap Li Hwa. Saking marahnya ia lupa diri dan melompat maju ke depan Thai Gu Cinjin, terus menyerang kakek itu dengan ilmu silat yang ia pelajari dari kitab, yaitu Pat hong hongi!

"Plak buk plak buk.....!" Thai Gu Cin mengeluarkan seruan kaget ketika ia melompat ke belakang. Serangan bocah tadi sungguh aneh luar biasa sehingga biarpun Thai Gu Cinjin yang lihai sudah mengelak cepat, tetap saja kaki tangan bocah itu memberi hadiah dua kali tendangan dan dua kali pukulan yang datangnya susul menyusul. Baiknya bocah itu tenaganya tidak seberapa, kalau yang melakukan pukulan tadi orang yang sudah dewasa dan memiliki tenaga lweekang, tentu ia sudah roboh!

"Murid pengkhianat, kau mau membela musuh?" bentak Thai Gu Cinjin untuk menutupi malunya dan tongkat panjangnya menyambar ke arah kepala Tiang Bu dengan hebatnya. Akan tetapi... pukulan itu mengenai tempat kosong. Bagaikan seekor monyet yang lincah Tiang Bu berhasil mengelakkan diri. Thai Gu Cinjin menjadi makin penasaran. Tongkatnya menyambar lagi, sekali, dua kali, tiga kali. Tetap saja mengenai angin belaka. Tiang Bu dengan langkah-langkah aneh selalu dapat rnengelak. Ternyata bahwa bocah ini telah mempergunakan Ilmu Kelit Sam hoan Sambu yang ia pelajari dari mendiang Bu Hok Lokai dan ternyata hasilnya luar biasa. Ahli silat biasa jarang ada yang dapat menyelamatkan diri dari pukulan tongkat satu kali saja dari Thai Gu Cinjin, apalagi sampai empat kali!

Thai Gu Cinjin menggereng marah, tangan kirinya ikut bergerak mengeluarkan pukulan khikang. Benar saja, terkena hawa pukulan ini, tubuh Tiang Bu terhuyunghuyung seperti didorong dan ia tidak dapat lagi mainkan Samhoan Sambu dengan baik. Tongkat panjang sudah bersiutan di atas kepalanya yang agaknya sebentar lagi akan remuk seperti kepala tikus dihantam dengan batu besar.

"Cringgg.....!" Bunga api berpijar .ketika tongkat itu tertangkis dan terpental. Thai Gu Cinjin makin marah ketika melihat bahwa yang menangkis tongkatnya itu adalah pedang di tangan Wan Sin Hong yang memegang pedangnya dengan tangan kiri.

"Thai Gu Cinjin, kau tidak patut disebut orang gagah.

Keji sekali hendak membunuh seorahg bocah kecil!" kata Sin Hong dengan suara halus dan tenang, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar bercahaya.

Bagaimanakah Sin Hong sudah dapat bangun kembali? Pertanyaan ini memenuhi pula kepala Thai Gu Cinjin.

Sin Hong telah memiliki sinkang yang amat luar biasa di dalam tubuhnya. Pukulan tadi biarpun mendatangkan luka hebat dalam dada sebelah kanan, akan tetapi tidak sampai mencabut nyawanya. Pula, kejernihan pikiran dan hati berkat latihan bertahun-tahun dalam ilmu Imkang dan Yangkang membuat la sebentar saja pingsan. Ia sadar dan siuman dalam dekapan Li Hwa yang menjadi girang bukan main melihat Sin Hong dapat bergerak lagi dan membuka matanya.

"Lepaskan, Li Hwa. Aku tidak apa-apa....." kata Sin Hong, bukan main terharunya melihat budi kecintaan yang demikian besarnya dari gadis ini terhadap dirinya. Tidak saja ia merasa terharu, akan tetapi juga mulailah bersemi cinta kasih di dalam hatinya yang tadinya sudah membeku.

Melihat wajah Li Hwa yang berlinang air mata akan tetapi sekarang bibirnya tersenyum penuh harapan, melihat betapa pipi dan bibir gadis itu terkena darah merah yang mengalir dari mulutnya sendiri, tak tertahan lagi Sin Hong mengeluarkan keluhan lirih.

"Li Hwa..... Li Hwa....." dan dua titik air mata keluar tertahan bulu matanya.

Aneh sekali! Pada saat itu hilanglah kekuasaan aneh yang tadi membuatnya lumpuh! Memang dada kanannya terasa sakit sekali, akan tetapi adalah akibat dari pukulan tongkat, dan merupakan luka dalam yang sewajarnya. Tidak seperti lumpuhnya kedua kaki yang tidak wajar. la tidak tahu bahwa cinta kasih yang murni dapat mengusir hawa busuk dari ilmu hitam yang tadi menguasai dirinya. Dengan cinta kasih murni yang mulai bersemi di dalam dadanya, ilmu hitam Thai Gu Cinjin menjadi buyar!

Pada saat itu ia mengerling dan melihat Tiang Bu menyerang Thai Gu Cinjin. juga Li Hwa menoleh dan kedua orang ini terheran-heran melihat betapa pukulan-pukulan Tiang Bu bisa mengenai tubuh kakek itu, kemudian betapa pukulan-pukulan dan serangan tongkat itu tidak bisa mengenai tubuh Tiang Bu.

Sin Hong cepat mengeluarkan tiga butir pel merah, putih dan kuning dari sakunya dan menelan tiga pel itu. Ini adalah obat mujarab sekali untuk menahan rasa sakit di dalam dada kanannya. Sebentar saja dada kanannya terasa panas dan kebal seperti mati tidak begitu terasa lagi sakitnya. Akan tetapi pundak dan lengan kanannya tak dapat digerakkan. Ia memegang pedang Pak kek Sinkiam dengan tangan kiri lalu melompat dan tepat sekali dapat menangkis tongkat Thai Gu Cinjin yang hampir saja meremukkan kepala bocah itu.

"Kau masih belum mampus?". bentak Thai Gu Cinjin kagum dan heran. Alangkah kuatnya orang muda ini, pikirnya. Akan tetapi melihat pemuda itu memegang pedang dengan tangan kiri dan pundak serta lengan kanannya kelihatan tergantung mati, hati Thai Gu Cinjin menjadi besar. Ia tidak khawatir terhadap Li Hwa dan setelah pemuda kosen ini tak dapat lagi menggerakkan pundak dan lengan kanan, ia takut apakah? Maka mendengar teguran Sin Hong yang menyebutnya tidak patut disebut orang gagah dan berwatak keji, ia tertawa bergelak sambil menggoyanggoyangkan tongkatnya dengan lagak sombong.

"Tikus cilik, kau sudah hampir mampus masih berani membuka mulut besar? Bocah itu aku yang bawa, dia muridku dan aku hendak membunuh dia atau tidak ada sangkut paut apakah dengan kau?" Li Hwa dengan suara marah sekali berkata, "Kau pendeta busuk! Biar soal itu kami tidak mencampuri dan kami anggap kau berhak membunuhnya, akan tetapi bagaimana kau secara tak tahu malu dan tebal muka tadi telah mengalahkan orang dengan bantuan ilmu iblis? Apa itu perbuatan orang gagah?" Muka Thai Gu Cinjin yang biasanya berwarna ungu itu berubah menjadi kehijauan. Ini adalah tanda bahwa ia merasa malu dan juga marah. I a menudingkan tongkatnya yang panjang sambil membentak.

"Bocah ini roboh karena dia bodoh dan memang kalah olehku! Kalian ini dua tikus kecil yang sudah kalah tak usah banyak cakap lagi. Tinggalkan dua batang pedang kalian dan minggat dari sini!" .Sambil berkata demikian ia menggerakkan tongkatnya mengancam hendak menghancurkan kepalanya dua orang muda itu. "Wansioksiok (Paman Wan), kau sudah terluka. Biarlah aku saja mengadu nyawa dengan Kakek jahat ini!" Tiba-tiba Tiang Bu berseru dan melompat hendak menyerang Thai Gu Cinjin lagi.

"Tiang Bu, mundur kau!" kata Sin Hong dengan suara keren, akan tetapi pandang matanya kepada bocah itu penuh kekaguman dan senang. Kemudian ia menghadapi Thai Gu Cinjin, pedang di tangan kirinya melintang di depan dada.

"Thai Gu Cinjin, ketahuilah bahwa aku Wan Sin Hong bukan seorang yang takut menghadapi kematian. Kita bukan anak kecil, juga kita adalah orang-orang kawakan di dunia kangouw yang tahu akan peraturan-peraturan kangouw.

Memang tadi aku telah kalah olehmu karenakau mempergunakan hoatsut dan aku kurang waspada sehingga kena tertipu olehmu, maka luka di dadaku sudah sewajarnya, hukuman bagi kelalaianku. Akan tetapi aku belum menerima kalah. Tanganku masih sebelah lagi dan pedangku belum pernah terlepas dari tangan. Mari kita bertempur secara jantan, mengandalkan kepandaian silat.

Kalau aku kalah olehmu, tidak hanya pedang kuberikan, juga kepalaku!" Sejak tadi mendengar pemuda itu memperkenalkan nama sikap Thai Gu Cinjin sudah berubah. I a memandang penuh perhatian lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Jadi kau inikah bengcu baru yang muda dan bijaksana menurut kata orang? Pantas kau lihai. Akan tetapi ketahuilah bahwa daerahku di Tibet tidak termasuk wilayahmu, maka bagiku kau bukan bengcu. Kau masih berani menantangku dengan sebelah tanganmu lumpuh? Benar-benar aku harus memuji ketabahanmu. Orang she Wan, setelah sekarang aku mengerti bahwa kau adalah Wanbengcu, biarlah memandang muka orang-orang kangouw aku habiskan perkara sampai di sini saja. Kau dan Nona ini boleh pergi membawa pedang kalian!" Biarpun amat mendongkol melihat orang sudah melukai kekasihnya sampai hampir saja tewas itu sekarang bicara tentang perdamaian, namun Li Hwa yang merasa amat gelisah melihat keadaan Sin Hong lalu menarik tangan pemuda itu sambil membujuk untuk pergi saja.

"Kau terluka, tak baik bertempur lagi," katanya.

Akan tetapi Sin Hong menggeleng-geleng kepalanya sambil memandang ke arah Tiang Bu. Tak mungkin ia mau pergi meninggalkan Tiang Bu terancam bahaya maut hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Li Hwa juga seorang yang berjiwa gagah, pada saat lain kiranya ia pun akan berpendirian sama, yaitu tidak sudi menyelamatkan diri dan membiarkan orang lain dalam ancaman maut, Akan tetapi, pada saat itu seluruh perhatian Li Hwa tercurah kepada Sin Hong dan ia tidak dapat memikirkan lain kecuali keselamatan Sin Hong.

"Tenang, Li Hwa. Aku tahu baik apa yang kulakukan.

Aku kuat menghadapinya. Jangan kau gelisah," kata Sin Hong, kemudian ia berkata kepada Thai Gu Cinjin.

"Thai Gu Cinjin, sukur kau menghendaki dihabiskannya urusan ini. Akan tetapi Tiang Bu harus ikut aku. Aku memang diminta oleh dua orang tuanya untuk mencari dan membawa pulang anak ini. Harap dapat mempertimbangkannya."


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR BUDIMAN

PEDANG PENAKLUK IBLIS (Sin Kiam Hok Mo)

TANGAN GELEDEK (PEK-LUI ENG)