TANGAN GELEDEK JILID 07


"Tidak mungkin! Kau baru boleh membawanya kalau dia sudah menjadi mayat"." bentak Thai Gu Cinjin.

"Hemm, kalau begitu terpaksa kita melanjutkan pertempuran untuk melihat siapa yang berhak membawa pergi anak itu." Thai Gu Cinjin menjadi marah sekali. "Wan Sin Hong, kau terlalu sekali. Kalau tadi aku hendak menghabiskan urusan adalah karena aku mengingat akan orang-orang kangouw, bukan sekali-kali karena aku takut kepadamu!

Masih lengkap kedua tanganmu saja aku tidak takut dan dapat mengalahkanmu, apalagi sekarang. Akan tetapi kau memaksaku dan menantang karena bocah ini. Benar-benar kau sudah bosan hidup.

"Terserah apa yang kaupikir, Thai Gu Cinjin. Aku tetap mempertahankan bocah ini yang harus pulang ke rumah orang tuanya."

"Keparat, kaukira aku takut menghadapi pembalasan orang-orangmu? Siaplah untuk mampus!" Setelah berkata demikian, Thai Gu Cinjin memutar tongkatnya dan menyerang hebat.

"Pendeta bau! Kalau kau bukan banci kau tentu melawan Wanbengcu dengan kepandaian silat, bukan dengan ilmu iblis!" Li Hwa berteriak-teriak dengan hati gelisah.

"Pendeta murid iblis jahat berhati keji macam dia mana becus main silat? Kalau tidak mengandalkan ilmu iblisnya jangankan oleh Wan-sioksiok, aku sendiri pun mampu menghajar kepala gundulnya sampai benjol-benjol!" Tiang Bu berseru keras-keras. Bocah yang amat cerdik ini tahu ke mana tujuan seruan Li Hwa tadi, maka ia serta merta membantu.

Mendengar teriakan-teriakan ini muka Thai Gu Cinjin menjadi merah kehitaman. Tadi boleh jadi ia jerih menghadapi Sin Hong tanpa mempergunakan ilmu hitamnya. Akan tetapi sekarang setelah, Sin Hong terluka berat di dalam dadanya dan tidak mampu lagi menggerakkan pundak dan lengan kanan, ia takut apakah? "Tikus-tikus. cilik kalian lihat saja. Setelah manusia she Wan ini roboh, kalian akan kukubur hidup-hidup!"

"Asal saja menguburnya jangan menggunakan ilmu setan!" teriak Tiang Bu. "Thai Gu Cinjin, kalau kau memang jantan tulen bukan banci, kau harus berani menyatakan bahwa kau tidak akan menggunakan ilmu hitam!"

"Baik lihatlah, aku tidak menggunakan Hoatsut!" teriak Thai Gu Cinjin marah dan dengan perut panas. Hoatsut adalah ilmu sihir yang banyak dipelajari tokoh-tokoh kangouw di daerah utara dan barat. Tibet adalah sebuah di antara pusat-pusat ilmu hitamitu.

Dengan tongkatnya yang panjang dan berat Thai Gu Cinjin mulai menghujani Sin Hong dengan seranganserangan dahsyat. Pikirnya, seorang lawan yang sudah menderita luka dalam seperti orang muda ini, tentu dalam beberapa jurus saja akan mudah ia robohkan. Akan tetapi Sin Hong bukanlah orang biasa. Ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang tinggi, apalagi ilmu pedangnya.

Biarpun ia hanya bermain pedang dengan tangan kiri sedangkan lengan kanannya tak dapat ia gerakkan untuk menjadi imbangan, namun kehebatan pedangnya masih luar biasa sekali. Pedang di tangan kirinya setelah ia mainkan berubah menjadi sinar seperti kilat menyambar-nyambar dan selalu dapat menangkis serbuan tongkat lawan, bahkan dengan secara tak terduga-duga sama sekali masih dapat melakukan tekanan dan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya!

Dengan gerakan dahsyat seperti gerak tipu Hai-ti-lauwliong (Menyelam Laut Mengejar Naga), tongkat Thai Gu Cinjin digerakkan secara melengkung, menyambar ke arah pinggang Sin Hong. Angin dingin berbunyi bersiutan ketika tongkat itu mengancam pinggang Sin Hong yang akan remuk bersama tulangnya kalau terkena pukulan maut ini.

Sin Hong terlalu tenang. Dengan gerakan Pak-hong-phuliu (Angin Meniup Cemara) dari Ilmu Pedang Sam-hong kiamsut (Ilmu Pedang Angin Puyuh) yang dulu ia pelajari dari Luliang Samlojin, tubuhnya meniarap hampir rata dengan bumi dan pedangnya bergerak di atas tubuh melindungi diri sehingga sabetan tongkat lawannya melewat di atas kemudian disentil oleh pedangnya untuk mencegah tongkat itu bergerak ke bawah. Setelah meluputkan diri dari serangan dahsyat lawannya, Sin Hong melompat berdiri terus membalas kontan dengan gerak tipu Sian-jin Sia-ciok (Dewa Memanah Batu) dari ilmu pedangnya Pak-kek Kiamsut yang hebat. Serangannya tidak berhenti sampai di sini saja, melainkan disambung dengan serangan-serangan lain Hui-in-ci-tiam (Awan Mengeluarkan Kilat) dan Hui-poliu- hong (Air Mancur Pelangi Melengkung).

Menghadapi serangan bertubi-tubi dari tipuan Pak-kek Kiamsut ini, biarpun hanya dilakukan dengan tangan kiri, Thai Gu Cinjin menjadi silau matanya dan kabur pandangannya. Kepalanya pening dan ia tidak tahu lagi ke mana meluncurnya sinar pedang lawan. Tahun-tahu ia merasa lengan kanannya perih dan tongkatnya terlepas, kemudian pundak kirinya sakit sekali menyebabkan lengan kirinya lumpuh dan di lain saat ia telah terjungkal dan roboh dalam keadaan duduk! Ternyata bahwa rentetan serangan hebat itu telah membuat lengan kanan Thai Gu Cinjin terobek kulit dan dagingnya, pundak kirinya putus tulang sambungannya dan dadanya tertendang kaki Sin Hong!

Di lain fihak, Sin Hong yang tertalu banyak mengerahkan tenaga dalam keadaan terluka hebat di dada kanannya, terhuyung-huyung dan tentu roboh kalau tidak cepat-cepat dipeluk oleh Li Hwa. Menyaksikan sepak terjang Sin Hong yang gagah perkasa, yang dalam keadaan terluka hebat dan terancam nyawanya masih tidak sudi melarikan diri meninggalkan Tiang Bu, kemudian betapa dalam keadaan terluka parah masih berhasil mengalahkan lawan berat dengan pedang di tangan kiri Li Hwa menjadi kagum bukan main dan cinta kasihnya sekaligus naik sampai tak dapat diukur lagi. Ia memeluk kekasihnya itu dengan bangga dan juga cemas karena wajah Sin Hong dan juga cemas karena wajah Sin Hong tampak pucat sekali! "Sin Hong, kau..... kau tidak apa-apa.....??" tanyanya khawatir. Sin Hong menggigit bibir dan memejamkan sebentar matanya, menahan rasa sakit di dalam dada. Ketika ia membuka mata, ia nampak terkejut dan berkata.

"Aku tidak apa-apa..... akan tetapi..... Tiang Bu..... dia terancam bahaya. Aku tak dapai menolongnya, tenagaku habis...." ia menjadi lemas sekali. Li Hwa menengok dan melihat betapa dengan buas sekali Thai Gu Cinjin yang sudah terluka hebat itu kini menggunakan tangan kanannya yang sudah mandi darah untuk menyerang Tiang Bu! Ia nampak menyeramkan sekali dan tangan yang beberapa kali hendak mencengkeram kepala Tiang Bu itu penuh dengan darah yang mengucur dari kulit yang tergores dan terluka pedang di dekat siku.

"Sudah kalah tak tahu malu....."" berkali-kali Tiang Bu menyindir sambil berlompatan dan menari-nari ke sana kemari untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. la mainkan Samhoan Sambu (Tiga Kali Lingkaran Tiga Kali Menari) untuk menyelamatkan diri dan sekarang setelah Thai Gu Cinjin menyerangnya hanya dengan tangan kanan, bocah ini dapat mempertahankan diri dengan baik sekali.

Gerakannya gesit sekali dan tubrukan atau pukulan Thian Gu Cinjin selalu mengenai angin. Kakek itu menjadi makin marah, apalagi Tiang Bu mengelak sambil tertawa-tawa, meringis dan mengejeknya.

Thai Gu Cinjin memang sudah menerima kalah dan tahu bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Sin Hong.

Akan tetapi sebelum ia pergi, ia hendak membunuh Tiang Bu dulu. Selain untuk melampiaskan kemendongkolan hatirya, juga ia tidak ingin bocah yang telah mewarisi kitab yang ia curi dari Omeisan itu terjatuh ke dalam tangan orang lain. Tak seorang pun tahu bahwa ia mencuri kitab itu, atau lebih tepat lagi, tak seorang pun dapat membuktikan andaikata ada yang menuduhnya.

Hanya Tiang Bu satu-satunya orang yang menjadi saksi utama akan kesalahannya. Oleh karena itu Tiang Bu harus ikut dia kalau masih hidup, atau boleh berpisah dari sampingnya asal tak bernyawa lagi. Kalau Sampai orang lain mendengar bahwa dia telah menjadi pencuri kitab Omeisan, hal itu masih belum ada artinya. Akan tetapi kalau sampai kakek-kakek sakti di Omeisan mengetahuinya, ah..... mengingat hal ini Thai Gu Cinjin merasa bulu tengkuknya berdiri dan ia menjadi makin bernafsu menyerang Tiang Bu.

Tiba-tiba Thai Gu Cinjln menghentikan serangannya karena tahu takkan ada hasilnya. Ia berdiri tegak, menudingkan telunjuknya ke arah Tiang Bu, lalu ia berseru.

"Roboh kau, Tiang Bu! Tiang Bu maklum bahwa kakek itu mempergunakan sihir. Ia hendak mempertahankan, namun tentu saja ia kalah kuat. Tanpa dapat dicegah lagi ia roboh terguling! Thai Gu Cinjin mendekatinya dengan langkah lebar. Kakek ini hanya terluka pundak kiri dan lengan kanannya, akan tetapi kedua kakinya sama sekali tidak terluka dan gerakan kakinya masih cepat sekali. Setelah dekat dengan Tiang Bu yang masih rebah miring, ia mengangkat tangan kanannya hendak memukul. Akan tetapi ia menurunkan lagi tangan, itu sambil meringis kesakitan.

Kiranya darah terlalu banyak keluar dari lengan itu, membuat tubuhnya terasa lemas dan tangan kanannya sakit sekali. ta tidak jadi memukul, lalu mengambil tongkatnya, mengayun tongkat itu ke arah kepala Tiang Bu, dan...

"Traangg......!" Tongkat itu terpental hampir memukul kepala Thai Gu Cinjin sendiri sedangkan kedua kaki kakek ini terhuyunghuyung mundur saking kerasnya tangkisan pada tongkatnya tadi. Ia kaget dan memandang ke kiri, lalu..... lari dengan langkah lebar seperti orang melihat setan yang menakutkan!

"Celaka....." dengusnya di sepanjang jalan, "selalu bertemu dengan Angjiu Moli..... sialan betul.....!" Memang betul, yang menangkis tongkat Thian Gu Cinjin dan karenanya telah menyelamatkan nyawa Tiang Bu bukan lain adalah Ang-jiu Mo-li, tokoh wanita utara yang berwajah cantik manis dan gagah perkasa! Dengan tangan kosong, tangannya yang kemerahan dan berbentuk mungil bagus itu, ia telah menangkis pukulan tongkat tadi dan membuat Thai Gu Cinjin lari ketakutan.

Kini wanita gagah itu memandang ke sekelilingnya, menyapu dengan ujung matanya yang tajam dan bening.

Melihat Li Hwa duduk di atas tanah sambil menaruh tangan di pundak seorang pemuda tampan yang duduk bersila sambil meramkan mata dalam samadhi, ia mengerutkan kening. Lalu ia menoleh kembali kepada Tiang Bu yang sudah bangun dan duduk. "Apa saja yang dilakukan oleh Thai Gu Cinjin di sini?" tanyanya. Pertanyaan ini ia tujukan kepada dua orang dewasa yang duduk di atas tanah itu sungguhpun matanya memandang kepada Tiang Bu. Ang-jiu Mo-li biarpun usianya sudah empat puluh tahun dan ia cantik jelita dan kelihatan masih muda, akan tetapi ia adalah seorang gadis yang selama hidup-nya belum pernah berdekatan dengan pria. Maka melihat pemandangan yang mesra, melihat cinta kasih demikian nyata tercurah dari pandang mata Li Hwa yang cemas, ia menjadi jengah dan tidak berani memandang terlalu lama!

Biarpun Li Hwa mendengar jelas dan ia pun sudah menengok memandang, akan tetapi ia tidak berani mengeluarkan suara menjawab. la melihat kekasihnya sedang bersamadhi mengerahkan hawa murni di dalam tubuh untuk mengobati luka di dalam dada dan semenjak tadi ia tidak berani berkutik. Menurunkan tangannya yang memegang pundak Sin Hong saja ia tidak berani, bernapas pun hati-hati sekali agar jangan sampai Sin Hong terganggu dalam pengerahan lwee-kangnya. Apalagi harus mengeluarkan suara keras untuk menjawab pertanyaan wanita aneh itu. Ia takut kalau-kalau Sin Hong akan terganggu dan keadaannya menjadi makin hebat.

Juga Tiang Bu diam saja. Anak yang cerdik ini tidak berani sembarangan membuka mulut. Ia tidak tahu siapa adanya wanita cantik yang sikapnya gagah tapi angkuh ini.

Kawan ataukah lawan. Oleh. karena itu ia pilih tutup mulut saja agar jangan mengeluarkan kata-kata yang tidak pada tempatnya. Setelah menanti jawaban tak kunjung tiba, Angjiu Moli menjadi marah.

"Apa kalian ini orang-orang tuli!? Ataukah gagu?" bentaknya, kini lupa akan rasa jengahnya yang tadi dan ia menoleh ke arah Li hwa dah Sin hong.

Sin Hong membuka matanya dan rnelihat ini. Li Hwa cepat-cepat menurunkan tangannya dari pundak pemuda itu. Memang tidak selayaknya di depan orang lain ia memperlihatkan cinta kasihnya kepada pemuda itu.

Pandang mata Sin Hong tajam luar biasa. Sekilas pandang saja ia dapat menduga siapa gerangan wanita di depannya ini. Tangan yang merah seperti itu tak mungkin dimiliki orang kedua kecuali Ang-jiu Mo-li, tokoh utara yang pernah ia dengar kehebatannya.

"Ang-jiu Mo-li, kau telah menyelamatkan nyawa keponakanku Tiang Bu dari tongkat maut Thai Gu Cinjin.

Terima kasih!" kata Sin Hong sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil tetap bersila di atas tanah.

Mendengar disebutnya nama Ang-jiu Mo-li, mata Li Hwa terbuka lebar-lebar peruh kekaguman dan juga keheranan.

Tak disangkanya, Ang-jiu Mo-li yang dulu pernah disebut- sebut oleh mendiang gurunya, Pat-jiu Nio-nio, sebagai seorang wanita yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya, ternyata hanyalah seorang wanita yang belum tua dan cantik sekali!

Di lain fihak mendengar kata-kata Sin Hong, biarpun pada wajahnya yang cantik itu tidak ada perubahan dan keangkuhan masih membayang jelas dari pandang matanya, namun di dalam hatinya Ang-jiu Mo-li merasa kaget dan heran. Kalau orang mengenal namanya, itu dianggapnya jamak saja, karena memang ia seorang yang amat terkenal, apalagi tangannya yang berkulit merah halus itu mudah dikenal orang. Yang amat mengejutkan dan mengherankan hatinya adalah cara bagaimana pemuda yang pucat dan terluka berat di dalam dadanya itu bisa tahu bahwa tadi ia telah menolong bocah itu dan mengusir Thai Gu Cinjin? Padahal ia tahu benar bahwa pemuda itu sejak tadi meramkan mata dan mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh luka di dada. Mungkinkah orang ini sudah memiliki sinkang demikian tinggi sehingga dalam siulian (samadhi) tadi dapat memecah panca inderanya? Juga Li Hwa yang tadi tahu bahwa Ang-jiu Mo-li menolong mereka mengusir Thai Gu Cinjin, lalu berdiri dan memberi hormat.

"Sudah lama siauwmoi mendengar nama besar Toanio.

Terima kasih atas pertolongan Toanio kepada kami." Ang-jiu Mo-li menjebikan bibirnya dan diam-diam Li Hwa harus mengakui bahwa wanita yang berdiri di depannya ini cantik dan menarik sekali, terutama bentuk tubuhnya yang bagus dan padat. Di lain fihak Ang-jiu Mo-li juga memandang Li Hwa penuh perhatian, agaknya seperti hendak membanding-bandingkan kecantikan muka dan keindahan bentuk tubuh Li Hwa dengan dirinya sendiri!

"Kau siapa?" tanyanya dengan lagak seperti seorang kota yang sombong bertanya kepada seorang dusun yang dianggapnya rendah dan tolol.

Kalau dulu diperlakukan begini, biar-pun tahu orang yang menghinanya itu berkepandaian tinggi tentu Li Hwa akan mencak-mencak dan marah sekali. Akan tetapi semenjak ia dekat dengan Sin Hong, ia sudah banyak berubah. Pandangannya makin jauh, pertimbangannya makin masak dan ia dapat menguasai wataknya yang mudah marah. Sambil tersenyum manis sekali, senyum Li Hwa memang luar biasa manisnya, ia menjawab. ; "Siauwmoi bernama Siok Li Hwa, guruku adalah mendiang Pat-jiu Nio-nio di Go-bi-san." Ang-jiu Mo-li tersenyum lebar, matanya jelas kelihatan bahwa ia memandang rendah. "Hemm, Pat-jiu Nio-nio dari Hui-eng-pai? Aku dulu kenal gurumu itu, kepandaiapnya tidak jelek." Bukan main mendongkolnya hati Li Hwa melihat lagak yang amat sombong dari wanita bertangan merah itu, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi hanya mengalihkan pandang matanya, kini ia menengok ke arah Sin Hong yang masih duduk bersila dan telah meramkan mata kembali.

Hati Li Hwa menjadi lega melihat betapa kedua pipi Sin Hong yang tadinya pucat kehijauan sekarang sudah menjadi merah. Tiang Bu ternyata sudah mendekati Sin Hong pula dan anak itu memandang kepada Sin Hong penuh kekaguman dan perhatian.

"Laki-laki itu siapa?" terdengar Ang-jiu Moli bertanya pula. Suaranya seperti orang bertanya sambil lalu saja, acuh tak acuh karena ia tidak mau kalau disangka terlalu "menaruh perhatian" kepada seorang pria! Bahkan ketika Li Hwa menengok untuk menjawabnya, cepat sekali Angjiu Moli memutar leher mengalihkan pandang matanya yang tadinya menatap wajah Sin Hong! "Dia ini adalah Wan-bengcu, namanya Wan Sin Hong." jawab Li Hwa sengaja memperkenalkan kedudukan Sin Hong untuk sedikit mengurangi kesombongan wanita itu, karena harus diakui bahwa nama Wan-bengcu bukanlah nama kecil saja, dikenal oleh hampir seluruh orang gagah di dunia persilatan.

Akan tetapi ia kecele kalau mengira demikian. Biarpun agak tertegun mendengar nama ini, namun Angjiu Moli tidak berkurang sombongnya.

"Jadi dia ini Wanbengcu? Siapa yang melukainya sampai demikian parah?"

"Thai Gu Cinjin yang melukainya.....

Li Hwa tak dapat melanjutkan katakatanya karena tiba-tiba Angjiu Molitertawa terkekeh-kekeh, nadanya menghina sekali.

"Hihihihi.....! Kiraku Wan-bengcu adalah seorang yang berkepala tiga berlengan enam, sampai-sampai setiap malam aku mimpi karena ingin sekali bertemu dan mencoba kesaktiannya. Tidak tahunya hanya seorang muda bodoh yang oleh Thai Gu Cinjin saja sudah kalah! Orang she Wan, sung"guh tak patut kau menjadi bengcu dan kecewa hatiku. Kalau kau tidak terluka oleh Thai Gu Cinjin tentu aku dapat mengajakmu mengadu kepandaian dan kau akan terluka bukan oleh pendeta Lama tolol itu, melainkan oleh tanganku! Sayang sekali!" Mendengar kekasihnya dipermainkan orang, Li Hwa tak dapat menahan kemarahannya. Semangatnya yang dulu, semangat burung garuda yang tak kenal takut, bangkit kembali. Ia memandang kepada Angjiu Moli dengan sepasang mata bersinar, lalu berkata keras.

"Toanio, kau sombong sekali! Wan Sin Hong tidak kalah....." Tiba-tiba Sin Hong membetot lengannya dan terdengar pemuda ini berkata kepada Angjiu Moli.

"Angjiu Moli, mana orang seperti aku ada harga untuk berpibu dengan kau? Memang aku kalah oleh Thai Gu Cinjin, apalagi dengan kau, kepandaianku tidak ada artinya bagimu." Tadinya Angjiu Moli sudah marah sekali melihat Li Hwa yang berani menentangnya. Biasanya, siapapun juga yang berani menentang Angjiu Moli, pasti akan menjadi korban pukulan tangan merahnya dan dapat dipastikan orang itu akan tewas! Tadi dia sudah mulai marah, wajah yang cantik itu sudah mulai merah, bulu matanya sudah bergerak-gerak seperti ditiup angin. Akan tetapi sikap dan kata-kata Sin Hong yang merendah itu mengurangi kemarahannya dan membuat hatinya senang. Wan-bengcu yang disohorkan orang jarang tandingannya itu kini merendahkan diri di hadapannya, nampak jerih dan takut! Kembali ia tertawa, kini bunyi tawanya merdu, tanda keriangan hati, bukan seperti tadi ketika mengejek.

"Kau tidak cantik tapi genit sekali!" bentaknya dan tangan kanannya melayang ke arah kepala Li Hwa. Li Hwa terkejut dan tidak tinggal diam. Cepat ia mengerahkan tenaga dan menggunakan tangan menangkis. Tangannya bertemu dengan lengan yang halus dan panas sekali yang begitu bertemu telah menempel tangannya tak dapat ditarik kembali.

Pada saat itu juga tahu-tahu tangan kiri Angjiu Moli sudah bergerak dan...., "plak."" pipi kanan Li Hwa kena tamparan, rasanya pedas, perih dan panas!

"Wan-bengcu, lain kali kalau kau sudah sembuh aku ingin mencoba kepandaianmu!" Angjiu Moli berseru keras dan tubuhnya berkelebat cepat sekali ke arah Sin Hong. Li Hwa tak kuasa menghalanginya karena gerakan wanita tangan merah itu memang seperti sambaran kilat saja cepatnya. Tahu-tahu Angjiu Moli sudah menggunakan tangan kanannya yang merah sekali itu untuk menepuk punggung Sin Hong. Tepukannya keras dan terdengar suara "plak!" yang jauh lebih keras daripada ketika menampar pipi Li Hwa. "Jangan pukul Sin Hong.....!" Li Hwa menjerit dan melompat untuk menyerang Angjiu Moli, akan tetapi hanya terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh dara di lain saat bayangan wanita bertangan merah itu sudah lenyap dari situ.

Li Hwa tak pedulikan lagi wanita itu dan cepat menghampiri Sin Hong. Dan ia melihat pernuda itu masih bersila, kini sudah membuka mata dan memandang kepadanya dengan senyum lebar. Wajahnya kelihatan segar dan cahaya matanya berseri, agaknya jauh lebih sehat daripada tadi!

"Sin Hong.....! Kau tadi dipukul oleh... .. iblis..... siluman wani....."

"Hush, tenang dan duduklah, Li Hwa." Sin Hong menyambar pergelangan tangan Li Hwa dan menarik gadis ini duduk berhadapan dengannya. Tiang Bu juga memandang kepada Li Hwa dengan bengong melihat ke arah pipi kanan gadis itu.

"Li Hwa, jangan memakinya. Dia tadi memukulku bukan dengan maksud buruk. Ang-jiu Mo-li memang ganas dan nakal seperti siluman, akan tetapi hatinya baik".

"Apa.....? Kau bilang dia itu baik? Dia menampar pipiku, dia memukul punggungmu. Sin Hong, jangan-jangan kau sudah terkena sihir lagi. Siapa tahu kalau-kalau siluman itu pun ahli ilmu hitamseperti Thai Gu Cinjin?"

"Ssst, jangan menuduh sembarangan saja, Li Hwa.

Ketahuilah bahwa tadi dia telah menotok pusat jalan darah di punggungku dan rnemasukkan hawa Iweekang untuk mernbantuku sehingga dalam sedetik saja tenaga di dalam tubuhku menjadi berlipat ganda dan dapat menyembuhkan luka di dada kananku." Li Hwa melongo. "Oohh, begitukah? Tapi..... tapi tadi ia menampar pipiku, sampai sekarang masih terasa panas dan sakit. Apakah itu pun dengan maksud baik untuk menolongku?" katanya sambil meraba-raba pipi kanannya yang terasa panas.

"Niocu, pipi kananmu merah sekali. Ada gambar lima jari merah di situ!" kata Tiang Bu sambil menuding ke arah pipi kanan Li Hwa.

"Apa.....?"?" Li Hwa membelalakkan matanya lalu cepat lari memasuki hutan kecil mencari air. Tak lama kemudian ia berlari kembali, berdiri di depan Sin Hong sambil membanting-banting kaki! I a telah menangis dan dengan suara megap-megap ia berkata.

"Sin Hong kau harus balaskan hinaan ini! Harus!" katanya sambil menangis dan mengusap-usap pipinya yang sebelah kanan Sin Hong bersikap tenang. "Duduklah, Li Hwa. Aku akan memeriksa pipimu yang ditampar." Li Hwa menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan Sin Hong memeriksa pipinya, jari-jari Sin Hong yang merabaraba pipinya mendatangkan rasa dingin dan sejuk, menghilangkan rasa panas. Dan dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terasa oleh Li Hwa betapa beda sikap Sin Hong sekarang terhadapnya. Betapa dalam pandangan mata Sin Hong kepadanya nampak sesuatu yang aneh namun mesra, sesuatu yang membuat hatinya berdebar ganjil. Seakanakan ia melihat titik api di dalam manik mata pemuda itu, titik api yang hanya timbul apabila mata itu memandang kepadanya.

Sin Hong tersenyum. "Tidak apa-apa, Li Hwa, Angjiu Moli hanya main-main. Dalam waktu satu bulan paling lama, tanda merah itu akan lenyap sendiri."

"Tidak apa-apa katamu? Itu penghinaan namanya!

Penghinaan besar yang harus dibalas? Sin Hong, apa kau tidak ikut terhina karena perbuatannya ini? Apa kau tidak malu melihat aku dihina seperti ini.....?" Air matanya mengucur makin deras, hatinya sakit sekali, jauh lebih sakit daripada rasa panas di pipinya.

Sin Hong tersenyum. "Mengapa malu, Li Hwa. Dengan warna merah itu pipimu, kau nampak makin..... cantik menarik. Bukankah begitu, Tiang Bu?" Bocah itu tidak tahu tentang cinta kasih. Juga ia tidak tahu harus berkata apa. Baginya, gambar lima jari di atas pipi Li Hwa mana bisa disebut menambah cantik, kelihatannya lucu baginya. Akan tetapi karena ia cerdik dan dapat menduga bahwa Sin Hong bermaksud menghibur dan mengurangi kemarahan dan sakit hati Li Hwa, ia mengangguk-angguk.

Isak tangis yang agak keras itu tiba-tiba terhenti dan gadis itu menatap wajah Sin Hong dengan bengong, mata terbuka lebar dan mulut agak terbuka kelihatan giginya yang putih. Air mata masih mengalir di atas pipinya. Baru sekarang ia mendengar Sin Hong menyebutnya..... cantik menarik! Pujian ini sekaligus melenyapkan semua kemarahannya, ia terlalu girang untuk dapat marah lagi, biar kepada Angjiu Moli sekalipun. Wajahnya perlahan-lahan menjadi merah dari akar-akar rambul di keningnya sampai ke leher dan telinganya.

Cap jari merah di pipinya tidak kelihatan lagi karena sekarang semua wajahnya menjadi kemerahan dan berseriseri.

"Be..... betulkah itu, Sin Hong?" kata lirih dan gagap.

"Apakah yang betul, Li Hwa?" tanya Sin Hong yang benarbenar tidak dapat menangkap arti pertanyaan gadis ini.

Bibir Li Hwa yang merah bergerak-gerak akan tetapi tidak ada suara keluar. Ia memandang dengan ragu ke arah Tiang Bu, lalu terlompat kata-kata jawabannya, "Betulkah bahwa..... Angjiu Moli tidak menghinaku?" Kegagapannya dan keragu-raguan dalam kata-katanya ini dapat ditangkap oleh Sin Hong yang dapat menduga pula bahwa Li Hwa sengaja menyimpangkan pertanyaannya karena di situ hadir orang ke tiga, Tiang Bu.

"Dia memang tidak menghinamu dan tak perlu hal ini kaujadikan dendam. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa perbuatannya itu nakal dan keterlaluan, timbul dari wataknya yang sombong. Aku berjanji bahwa kelak kalau ada kesempatan, aku akan berusaha supaya kau dapat membalas tamparan itu. Puaskah kau sekarang?" Kegirangan hati Li Hwa bukan kepalang. Kalau di situ tidak ada Tiang Bu tentu ia akan..... mencubit kekasihnya itu. Hanya wajahnya saja makin berseri dan sekarang Sin Hong yang diam-diam memaki diri sendiri bermata buta. Li Hwa begini cantik jelita, begini manis, begini setia penuh cinta kasih dan begini mulia hatinya. Mengapa baru sekarang !a melihatnya seperti itu? Mengapa baru sekarang hatinya bicara? "Disamping janjiku untuk mernberi kesempatan kepadamu membalas tamparan itu, aku pun berjanji akan membalas budinya ketika ia menolongku tadi." kata pula Sin Hong. Li Hwa diam saja, masih terlampau girang hatinya untuk timbul rasa cemburunya yang biasanya amat besar itu. Adapun Tiang Bu makin kagum akan kepribadian Sin Hong yang dianggapnya seorang gagah perkasa yang patut dicontoh, baik kelihaiannya, kecerdikannya, maupun kehalusan budinya.

Sin Hong bangkit berdiri perlahan, menggerak-gerakkan lengan kanannya, mula-mula hati-hati dan perlahan, makin lama makin cepat dan ia girang sekali mendapat kenyataan bahwa luka di dalam dadanya telah sembuh.

"Angjiu Moli memiliki Iweekang yang tinggi," katanya perlahan, kagum dan juga ingin sekali tahu apakah ia tidak dapat menandingi tokoh wanita utara yang amat terkenal itu.

"Akan tetapi wataknya buruk, sombong bukan main." Li Hwa mencela, kini agak merasa "tidak enak" karena Sin Hong memuji seorang wanita, walaupuri pujian itu bukan kosong belaka.

"Wan-sioksiok apakah dia itu lebih lihai darimu?" tanya Tiang Bu, masih terheran-heran karena ia telah bertemu orang-orang yang amat pandai. Kalau tadinya ia menganggap Thai Gu Cinjin sebagai orang terpandai, tak tahunya muncul Wan Sin Hong yang lebih hebat, dan kini Wan Sin Hong memuji-muji Angjiu Moli. Begitu banyaknya orang pandai, setiap bertemu yang baru lebih pandai lagi.

Siapa gerangan orang yang memiliki kepandaian tinggi? Mendengar pertanyaan Tiang Bu, Sin Hong memandang bocah itu dan tersenyum. Ia suka kepada Tiang Bu setelah. menyaksikan keberanian dan kecerdikan anak ini, dan ia berbareng merasa heran sekali mengapa wajah Tiang Bu tidak tampan. Padahal ayahnya, Liok Kong Ji, biarpun berwatak jahat namun memiliki wajah yang tampan sekali dan ibunya Gak Soan Li, adalah seorang wanita gagah yang cantik. Tiba-tiba Sin Hong teringat akan hal yang menakjubkan hatinya tadi ketika ia melihat bocah ini berhasil memukul Thai Gu Cinjin!

"Tiang Bu, tak perlu kita ketahui siapa yang lebih lihai.

Betapa pun tinggi kepandaian seorang manusia, tentu ada orang lain yang melebihinya dan setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tadi pun kau telah dapat memukul Thai Gu Cinjin, bukankah itu aneh sekali?" Wajah Tiang Bu membayangkan kekecewaan hati.

"Sayang aku bodoh dan tidak bertenaga. Kalau ada sedikit saja tenagaku, tentu akan dapat membantumu melawan Thai Gu Cinjin. Pukulan-pukulanku tidak terasa olehnya, bahkan telapak tanganku sendiri terasa sakit dan panaspanas." Sin Hong tersenyum dan maklum, bahwa tentu saja pukulan seorang anak kecil ini tidak ada artinya bagi tubuh Thai Gu Cinjin yang sudah kebal. Yang mengherankan hatinya hanyalah cara Tiang Bu melakukan serangan sehingga berhasil tadi.

"Tiang Bu, coba kau menyerang aku dengan pukulanpukulan seperti yang telah kau lakukan terhadap Thai Gu Cinjin tadi.

"Aah, Wan siokhu (Paman Wan), jangan mentertawakan kebodohanku!"

"Anak bodoh, orang mau memberi petunjuk disangka mentertawakan. Apa yang harus ditertawakan dalam ilmu silat?" Li Hwa mencela Tiang Bu. Mendengar ini, merah wajah Tiang Bu, matanya berseri dan ia memandang kepada Sin Hong.

"Sioksiok, kau benar-benar mau memberi petunjuk padaku?" tanyanya girang.

"Kita lihat saja nanti. Aku hanya ingin melihat pukulanpukulanmu yang tadi telah berhasil mengenai tubuh Thai Gu Cinjin. Mulailah!" Tadinya memang Tiang Bu merasa ragu-ragu untuk menyerang Sin Hong biarpun hal itu adalah atas kehendak Sin Hong sendiri, akan tetapi setelah mendengar bahwa ia akan diberi petunjuk, dengan penuh semangat ia lalu mulai menyerang dengan Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang sudah ia pelajari dari kitab pusaka Omeisan.

Sin Hong melihat kedua lengan bocah itu bergerak-gerak secara aneh dan cepat sekali juga kedudukan kakinya berpindah-pindah merupakan segi delapan. la merasa terkejut sekali, bukan saja karena sifat-sifat yang amat luar biasa dan lihai dari ilmu silat ini, akan tetapi terutama sekali karena ia tidak mengenalnya! Inilah hebat. Sebagai seorang bengcu, tentu saja Sin Hong mengenal hampir semua ilmu silat, akan tetapi yang sekarang di mainkan oleh Tiang Bu ini sama sekali belum pernah ia melihatnya. Hampir mirip dengan Pak kwa kun-hwat akan tetapi lebih hebat, apalagi serangan-serangan dengan dua tangan itu berubah menjadi banyak!

Sin Hong menangkis perlahan dan mengelak akan tetapi segera ia mengeluarkan seruan tertahan karena sebentar saja ia terpaksa main mundur karena terdesak hebat! Kedua tangan bocah itu seakan-akan bergerak otomatis, apabila yang kiri ditangkis atau dihindarkan, yang kanan tentu melakukan serangan berikutnya, demikian seterusnya kedua tangan itu menghujankan serangan-serangan yang luar biasa dan tak terduga-duga. Demikian hebat serangan Tiang Bu sampai-sampai Sin Hong yang lihai terpaksa menggunakan seluruh perhatiannya untuk menjaga diri jangan sampai terpukul seperti Thai Gu Cinjin tadi.

"Hebat sekali ilmu silatnya ini," pikir Sin Hong kagum, "kalau ia sudah dewasa dan besar tenaga, sukar menahan serangan-serangannya. Ilmu silat apakah dan dari manakah ini yang demikian hebat mengatasi semua ilmu silat yang pernah kupelajari dan kukenal?" Kemudian Sin Hong teringat betapa bocah ini dengan amat lihainya meloloskan diri dari serangan-serangan maut Thai Gu Cinjin sehingga kakek itu terpaksa merobohkannya dengan ilmu hitam. Teringat akan ini ia cepat berkata, "Cukup seranganmu ini. Sekarang jagalah baik-baik dan kelit semua seranganku!" Tiang Bu mentaati perintah "Pamanya Wan" yang lihai dan mengagumkan hatinya itu. Ia menghentikan seranganserangannya dengan Ilmu Silat Pat-hong-hong-i mulai menjaga diri dengan Ilmu Kelit Sam-hoan Sam-bu.

Serangan Sin Hong dimulai dengan tubrukan yang dahsyat. Ia bermaksud menubruk dan menangkap bocah itu dari dua jurusan kanan kiri dengan kedua lengan dipentang.

Akan tetapi, bagaikan belut saja, bocah itu membuat gerakan lemas dan aneh seperti orang menari dan..... Sin Hong menubruk angin! la mengelak dan cepat mengirim serangan susulan yang makin lama makin dahsyat. Namun dengan cara yang luar biasa sekali Tiang Bu selalu dapat menyelamatkan diri sampai sepuluh jurus berturut-turut.

Inilah hebat! Seorang bocah cilik dapat mengelak selama sepuluh jurus berturut-turut dari serangan Wan Sin Hong, benar-benar hebat. Jago silat tingkat menengah saja belum tentu mampu menahan sampai lima jurus. Yang mengagumkan hati Sin Hong sesungguhnya bukan bocah itu yang sudah terlalu lihai, melainkan ilmu silat yang agaknya khusus untuk berkelit itulah yang terlalu hebat. limu kelit ini seperti gerakan menari, namun membuka banyak jalan untuk melepaskan diri dari bahaya ancaman serangan lawan secara aneh dan cepat.

Untuk kedua kalinya Sin Hong merasa terpukul. Juga ilmu silat atau ilmu kelit ini ia tidak kenal dan tak pernah melihatnya. Benar-benar membuat ia tertegun dan melompatlah ia ke belakang.

"Cukup! Tiang Bu anak baik, dari mana kau memperoleh dua ilmu silat yang luar biasa ini? Atau pernahkah kau mempelajari ilmu silat lain selama kau meninggalkan rumah?" Dasar anak kecil. Biasanya ia hanya menghadapi celaan dan kebencian, sekarang melihat sikap Sin Hong yang amat ramah dan mendengar pujiannya, Tiang Bu menjadi girang sekali dan cepat menjawab untuk memamerkan.

"Masih ada satu lagi, Wan-sioksiokl"

"Coba kau perlihatkan dan kau gunakan untuk menyerangku." Dalam kegembiraannya untuk memamerkan ilmu silatnya yang ketiga," Tiang Bu cepat membuka pasangannya dan cepat mainkan Ilmu Silat Hui houw tongte yang ia pelajari dari Pak kek Samkui, jari-jari tangannya dibuka merupakan cengkeraman dan ia mengeluarkan gerengangerengan kecil seperti seekor harimau cilik berlagak. Dengan dahsyat ia menyerang Sin Hong. Akan tetapi alangkah kaget dan kecewanya ketika baru saja dua gebrakan ia menyerang, ia telah ditangkap lengannya dan didorong mundur, dibarengi suara Sin Hong yang penuh teguran.

"Ilmu silat apa yang kau perlihatkan ini? Ilmu silat jahat dan kotor seperti ini harap jangan kau mainkan lagi selama hidupmu!" Tiang Bu melangkah mundur dengan muka merah.

"Maaf, Sioksiok. Aku hanya dipaksa belajar ilmu silat ini oleh Pak-kek Samkui....." katanya lambat "Yang dua pertama tadi, dari siapa kau belajar dan apa namanya, ilmu silat menyerang dan mempertahankan tadi?"

"Yang ke dua adalah Ilmu Kelit Sam-hoan Sam-bu yang kupelajari dari Suhu Bu Hok Lokai, dan yang pertama....." Tiang Bu ragu-ragu. Menurut Bu Hok Lokai, kitab yang mengandung Ilmu Silat Pat hong hong i itu adalah kitab curian yang diperebutkan oleh orang-orang kangouw. Kitab itu terjatuh ke dalam tangannya secara kebetulan sekali.

Haruslah ia ceritakan ini? Selagi ia ragu-ragu, tiba-tiba angin menyambar-nyambar, daun-daun pohon pada rontok dan beterbangan ke bawah.

"Ayaaa....." terdengar Li Hwa menjerit.

"Gunakan tenaga khikang menangkis daun-daun itu.....!!" teriak Sin Hong kepada Li Hwa dan ia menubruk ke depan untuk memeluk Tiang Bu dan melindunginya, akan tetapi alangkah kagetnya karena ia tidak dapat menemukan Tiang Bu.

Sementara itu, daun-daun masih rontok sepertl hujan dan anehnya, daun-daun ini melayang cepat dan kalau mengenai tubuh terasa sakit-sakit seperti jarum-jarum disambitkan saja! Li Hwa dan Sin Hong menggunakan kedua tangan untuk mengebut ke kanan kiri sehingga daun-daun yang mendekati mereka pada runtuh ke bawah. Kemudian tidak hanya daun-daun yang beterbangan hingga sukar untuk melihat ke depan, bahkan pasir dan tanah debu berhamburan ke atas menyerang mata mereka.

"Keluar dari tempat ini!" Seru Sin Hong Sambil menarik lengan Li Hwa dan mengajaknya melompat jauh keluar dari bawah pohonpohon itu.

"Mana Tiang Bu.....?" tanya Li Hwa.

"Entahlah. Biar aku mencarinya!" kata Sin Hong dan baru ia sadar betapa dalam bahaya ini, baginya yang terpenting lebih dahulu adalah menyelamatkan Li Hwa dari bahaya!

"Lihat itu....."." jerit Li Hwa sarnbil menudingkan telunjuknya ke arah sebuah pohon besar yang berdiri. Sin Hong menengok dan melihat pemandangan yang aneh dan membuat bulu tengkuknya berdiri.

Di puncak pohon itu, di antara daun-daun dan rankingranting seperti seekor burung besar, duduk bersila seorang kakek gundul botak yang tubuhnya kurus dan jangkung sekali. Kakek itu tangan kirinya mengempit tubuh Tiang Bu yang entah kapan telah ditangkapnya, sedangkan tangan kanannyu melakukan gerakan mendorong, menarik, dan memutar-mutar ke arah pohon-pohon dan tanah di mana tadi mereka berdiri. Dan dari tangan kanannya itu seakanakan keluar angin puyuh yang membuat daun-daun hijau rontok dan pasir serta debu di tanah membubung naik!

Tenaga seperti ini selama hidupnya belum pernah disaksikan oleh Sin Hong, apalagi oleh Li Hwa.

Melihat dua orang muda itu melompat jauh, kakek gundul itu menghentikan gerakan-gerakan tangannya dan seketika angin puyuh berhenti. Kakek itu laki menibuka mulut sambil menengadah dan keluarlah suara nyanyian yang parau dan serak, sama sekali tidak sedap didengar telinga. Akan tetapi kata-kata dalam nyanyian itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sin Hong dan Li Hwa.

"Di antara Ciunglai dan Tailiang Barang simpanan dicuri orang, Lam thian Heng te buta dan tuli.

Dua cacing tua menunggu mati Tak ingin mati seperti macan.

Lebih baik tak diketahui kawan lawan.

Akan tetapi, Thian Maha Kuasa DiturunkanNya calon Naga!

Cacing tua berubah pikiran.

Berkenan tinggalkan sedikit warisan." Kata-kata dalam nyanyian ini amat menarik hati Sin Hong. Akan tetapi selagi ia hendak mengajukan pertanyaan, tiba-tiba sinar terang berkelebat di puncak pohon tinggi itu dan di lain saat kakek gundul itu lenyap bersama Tiang Bu!

"Celaka! Kembali Tiang Bu diculik orang!" kata Li Hwa mendongkol.

"Beruntung sekali anak itu....." kata Sin Hong perlahan sambil menarik napas panjang, hatinya masih tegang menyaksikan kehebatan kakek tadi.

"Beruntung? Apa maksudmu, Sin Hong?" tanya Li Hwa.

"Li Hwa, apakah kau tidak memperhatikan nyanyian kakek tadi?"

"Aku mendengar, akan tetapi apa sih artinya nyanyian tidak karuan itu?"

"Apakali kau belum pernah mendengar tentang dua orang kakek sakti setengah dewa yang bertapa di Omeisan dan yang tidak mau mempedulikan urusan duniawi, akan tetapi ditakuti semua orang karena luar biasa lihainya?"

"Tentu saja aku pernah mendengar tentang dua orang kakek itu. Bukankah mereka itu berada di daerah selatan?" Sin Hong mengangguk. "Tahukah kau, di antara Ciunglat dan Tailiangsan dua pegunungan yang disebut dalam nyanyiannya tadi terdapat apa?" Li Hwa mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan rapi. Sepasang matanya yang jeli dipejam-pejamkan, akan tetapi karena ia belum terlalu jauh merantau dan tidak mengenal daerah selatan, ia tak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepala setelah lama berpikir.

"Eh, kiraku kau akan menyebut nama tempat itu, alisnya berkerut-kerut dan matamu berkedap-kedip, tak tahunya jawabanmu hanya menggeleng kepala!" Sin Hong menggoda dan Li Hwa tertawa manis.

"Ketahuilah, di antara dua pegunungan di sebelah barat Propinsi Secuan itu terdapat Gunung Omeisan. Dia tadi bilang dalam nyanyiannya bahwa barang simpanan dicuri orang. Tentu ada sesuatu yang hilang sehingga kakek itu sampai keluar dari tempat pertapaan dan berada di sini.

Kalau tidak amat penting, tak mungkin seorang sakti yang sudah menjauhkan segala keduniawian mau pergi sebegitu jauhnya."

"Selanjutnya dia bilang Lamthian Hengte buta dan tuli, dua cacing tua menunggu mati. Tak ingin mati seperti macan, lebih baik tak diketahui kawan dan lawan. Apa artinya itu?" tanya Li Hwa.

"Aha, kiranya ingatanmu pun kuat sekali Li Hwa. Kau sudah hafal nyanyian itu di luar kepala!" teriak Sin Hong dengan muka berseri.

"Habis, apa kaukira aku sebodoh kerbau? Sin Hong, jangan kau menggoda orang saja, aku menjadi gemas melihamu!" kata Li Hwa cemberut, marah dibuat-buat. Sin Hong tersenyum lebar. "Dan aku jadi senang melihatmu marah-marah dan gemas. Kau makin manis kalau cemberut, Li Hwa." Wajah Li Hwa menjadi merah sekali sehingga cap tangan di pipinya tidak kelihatan. Untuk ke dua kalinya dalam hari ini ia merasa hatinya berdetak tidak karuan karena girangnya mendengar Sin Hong yang selama ini "alim" sekali, berturut-turut menyebutnya "cantik menarik" dan sekarang "manis"!

"Betulkah itu, Sin Hong?" tanyanya pula lirih, pertanyaan yang sama ketika ia disebut cantik menarik.

"Apanya yang betul, Li Hwa?" Sin Hong balas bertanya.

Sebetulnya pemuda ini sudah dapat menduga betapa girangpya gadis ini karena pujian-pujiannya, akan tetapi ia sengaja berpura-pura bodoh untuk menggoda.

"Betulkah bahwa aku..... bahwa kauanggap aku..... manis?" Li Hwa kini menundukkan mukanya, suaranya perlahan sikapnya malu-malu. Sin Hong berdebar penuh bahagia hatinya, juga ia merasa heran. Biasanya Li Hwa bersikap terus terang dan dalam menyatakan cinta kasihnya tidak malu-malu? Mengapa setelah ia mulai menyatakan bahwa ia pun membalas cinta kasih itu, Li Hwa nampak malu-malu dan tidak berani memandangnya? Aneh sekali kaum wanita, pikir Sin Hong.

"Li Hwa, terus terang saja. Baru sekarang hatiku terbuka, baru sekarang mataku terbuka. Kaulah wanita yang paling cantik dan manis di dunia ini!" Li Hwa meramkan mata menahan air mata yang hendak mengucur keluar kedua kakinya lemas sehingga ia menjatuhkan diri berlutut. Cepat-cepat ia menutupi mukanya dengan kedua tangan agar Sin Hong tidak melihat ia mengucurkan air mata!

"Eh, kau kenapakah?" Sin Hong bertanya sambil menyentuh pundaknya.

Li Hwa menggoyang kepala dan pundak, diam-diam menghapus air matanya, lalu berdiri dan tersenyum lebar.

Matanya masih basah akan tetapi tidak ada air mata yang keluar lagi.

"Tidak apa-apa, hayo jelaskan keteranganmu tentang nyanyian tadi!" katanya, sikapnya biasa seperti sediakala.

Kembali Sin Hong terheran-heran.

Memang Li Hwa seorang wanita luar biasa, pikirnya.

Akan tetapi ia tidak mau menggoda terus dan melanjutkan penjelasannya untuk menerangkan arti nyanyian kakek tadi.

"Dia bilang Lamthian Hengte buta dan tuli. Lamthian Hengte berarti kakak beradik dari dunia selatan, siapa lagi kalau bukan dua orang kakek sakti di Omeisan? Dengan pengakuan buta tuli, dimaksudkan bahwa dua orang kakek itu seperti dua ekor cacing tua menunggu mati. Ucapan ini untuk menyatakan kerendahan hati mereka yang menyamakan diri sendiri seperti cacing. Memang orangorang sakti selalu menuruti jalan merendah, makin tinggi kepandaiannya makin ia merendahkan diri.

Ada peribahasa yang menyatakan bahwa macan mati meninggalkan kulitnya dan manusia mati meninggalkan nama baiknya. Akan tetapi dua orang kakek Omeisan tidak mau mencari nama atau meninggalkan nama tersohor, malah merasa lebih baik tidak berhubungan dengan orang luar sehingga tidak punya kawan juga tidak punya lawan!"

"Ah, jelaslah sekarang kuberi keterangan Sin Hong.

Benar-benar dia telah merendahkan diri secara berlebihan!", kata Li Hwa, memandang kepada Sin Hong dengan kagum.

Biarpun mulutnya berkata demikian, seakan-akan memuji dan kagum kepada kakek sakti itu namun matanya jelas menyatakan bahwa sebenarnya Sin Honglah orangnya yang ia kagumi!

"Kemudian ia bilang bahwa thian telah menurunkan seorang calon Naga yang berarti seorang calon pendekar besar. Tak salah lagi tentu yang ia maksudkan Si Tiang Bu!

Memang anak itu luar biasa sekali. Kau melihat sendiri betapa sekecil itu ia telah menguasai dua macam ilmu silat yang amat luar biasa, yang selama hidupku baru sekali itu kulihat. Kemudian setelah melihat Tiang Bu, agaknya hatinya tergerak dan pendiriannya untuk mati dan meninggalkan nama berubah. I a berniat akan meninggalkan sedikit warisan, tentu sebagai seorang sakti warisannya adalah ilmu kesaktian yang akan ditinggalkan kepada Tiang Bu."

"Jadi dia mengambil Tiang Bu sebagai muridnya?" kata Li Hwa sambil mengangguk-angguk. "Pantas saja kaubilang bahwa Tiang Bu beruntung sekali." Sin Hong mengerutkan keningnya. "Betapapun juga, kalau teringat riwayat ayahnya, kadang-kadang aku menjadi ragu-ragu. Kalau betul dugaanku tadi bahwa Tiang Bu akan menjadi murid orang pandai sehingga dia sendiri kelak memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari ayahnya sendiri, kemudian kalau dia... dia menuruni watak ayahnya, bukanlah itu hebat sekali?" Li Hwa maklum akan kegelisahan hati Sin Hong karena ia pun tahu betapa jahat ayah anak itu, yakni Liok Kong Ji manusia iblis yang tiada taranya dalam hal kejahatan.

Keduanya, termenung dan perlahan Li Hwa berkata, "Mudah-mudahan tidak begitu jahat....." Kemudian dua orang muda itu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan.

***

Gunung Omeisan adalah sebuah gunung yang tinggi dan indah dipandang dari jauh namun sukar didaki orang.

Banyak jurang-jurang yang amat curam, lereng yang terjal penuh gunung-gunungan batu karang yang tinggi meruncing seperti menara-menara alam yang penuh rahasia.

Karena keadaan di Gunung Omeisan ini amat sukar dan berbahaya sekali, maka hampir tidak ada orang pernah mendaki. Kalau ada juga, maka hanya sampai di lereng.

Mereka ini adalah pemburu-pemburu ahli-ahli silat atau penduduk-penduduk di daerah itu yang datang untuk berburu, mencari daun-daun obat, mencari kayu-kayu berharga dan lain-lain. Akan tetapi tak ada yang berani mencoba naik melalui lereng batu-batu karang yang amat terjal itu. Bukan saja tidak berani karena berbahaya, terutama sekali karena mereka tahu bahwa di puncak karang itu tinggal dua orang kakek sakti yang mereka anggap sebagai dewa dan tak berani mereka mengganggu dua orang kakek itu.

Pada suatu pagi yang amat dingin, dari atas puncak gunung Omeisan itu nampak dua titik hitam-hitam bergerak-gerak ke sana kemari, cepat dan gesit. Dilihat dari jauh, orang akan rnengira bahwa itu adalah dua ekor burung besar dan kecil. Akan tetapi setelah dua titik itu makin turun, akan nampaklah bahwa mereka itu adalah seorang kakek gundul jangkung kurus dan seorang pemuda tanggung yang berlompatan ke sana kemari di atas ujung batu-batu yang runcing!

Pemuda tanggung itu adalah Tiang Bu! Dan kakek itu adalah kakek gundul jangkung yang dulu membawanya pergi dari depan Sin Hong dan Li Hwa. Siapakah gerangan kakek lihai ini? Tepat seperti dugaan Sin Hong dahulu, kakek ini adalah seorang di antara dua kakek sakti dari Omei-san. Dia adalah Tiong Jin Hwesio, dan yang seorang lagi adalah seorang kakek yang sudah lebih tua dari Tiong Jin hwesio yang berusia tujuh puluh tahun, yaitu suhengnya yang bernama Tiong Sin Hwesio berusia delapan puluh tahun dan rambutnya panjang sudah putih semua.

Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio adalah dua orang pertapa yang sudah puluhan tahun menyembunyikan diri tidak mau berurusan dengan dunia luar.Kepandaian mereka luar biasa tingginya. Hal ini tidak mengherankan kalau diingat bahwa Tiong Sin Hwesio adalah pewaris dari ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Tat Mo Couwsu sedangkan Tiong Jin Hwesio mewarisi ilmu-ilmu dari Hoan Hian Couwsu! Dua orang kakek tua ini hidup sebagai pertapa di puncak Omeisan di mana mereka bangun sebuah pondok berbentuk kelenteng yang cukup besar dan indah. Tiong Jin Hwesio mempunyai kepandaian mengukir, maka semua tiang-iang dan payon-payon pondok itu diukirnya, sehingga merupakan bangunan yang akan mengagumkan hati orangorang kota.

Kesenangan dua orang pertapa ini hanya bersamadhi dan melatih ilmu-ilmu yang mereka pelajari. Memang aneh sekali kalau dipikir. Hidup sebagai pertapa dan bermaksud tinggal di situ sampai mati, akan tetapi keduanya amat tekun memperdalam ilmu kepandaian mereka. Di samping ini, mereka paling suka main catur sehingga dahulu Bu Hok Lokai sampai dibawa ke situ hanya untuk diajak bermain catur! Bukan hanya Bu Hok Lokai, sudah banyak orangorang yang terkenal ahli main catur, biarpun tinggalnya di kota raja atau jauh sekali dari situ, tetap akan diculik dan mereka bawa ke puncak Omeisan untuk diajak main catur!

Karena kesenangan bermain catur inilah yang memungkinkan Thai Gu Cinjin yang amat licin dan banyak tipu muslihat itu untuk mencuri sebuah kitab dari kedua kakek itu. Dengan mengajak dua orang ahli catur dari Tibet, Thai Gu Cinjin mendaki Gunung Omeisan. Tentu saja diterima dengan girang sekali oleh dua orang kakek itu karena ia membawa dua orang ahli catur itu. Kalau saja ia tidak membawa dua orang ahli catur itu, sudah tentu dia tidak diperbolehkan naik ke puncak. Segera Tiong Hwesio dan Tiong Jin Hwesio tenggelam dalam permainan catur menghadapi dua orang ahli dari Tibet yang dibawa oleh Thai Gu Cinjin itu. Dan bukan main permainan ini. Sampai tiga hari tiga malam! Waktu itulah yang memungkinkan Thai Gu Cinjin menyelinap ke dalam pondok dan akhirnya ia berhasil mencuri sebuah kitab yang berisi pelajaran Ilmu Silat Pat hong hong i.

Sampai lama sekali setelah Thai Gu Cinjin dan dua orang ahli catur itu pergi turun dan Omeisan baru dua orang kakek ini tahu akan kehilangan sebuah kitab pusaka. Tiong Jin Hwesio menjadi marah dan turun gunung untuk mencari. Karena turunnya ini yang menyebabkah beberapa orang lihai di dunia kahgouw tahu bahwa kitab Omeisan dicuri Thai Gu Cinjin sehingga di mana-mana pendeta Lama jubah merah ini dihadang orang untuk dirampas kitabnya.

Dan akhirnya, seperti telah diceritakan semula, kitab itu terjatuh ke tangan Tiang Bu secara kebetulan sekali dan karena bocah ini mempelajari Pat hong hong i, maka Tiong Jin Hwesio dapat mengenal ilmu silat itu dan membawa bocah ini ke Omeisan. Juga Tiong Sin Hweslo suka sekali rnelihat Tiang Bu, yang memiliki bakat luar biasa, maka ia pun setuju dengan niat sutenya untuk mengangkat Tiang Bu menjadi ahli waris Omeisan!

Memang pada dasarnya Tiang Bu berbakat dan suka sekali akan ilmu silat. Tak dapat disangkal bahwa hatinya amat rindu akan pulang, rindu kepada ayah bundanya, terutama sekali rindu kepada Lee Goat. Akan tetapi, kesukaannya belajar silat mengatasi kerinduannya sehingga rindunya terobati ketika ia mulai belajar ilmu sitat di puncak Omeisan la tekun sekali dan ditambah kecerdikannya, dua orang kakek sakti di Omeisan menjadi makin sayang kepadanya.

Akan tetapi dua orang sakti itu tidak memperlihatkan kasih sayang mereka, bahkan mereka bersikap keras dan lidak saja Tiang Bu harus berlatih berat sekali, juga anak ini harus bekerja keras. Setiap hari Tiang Bu harus membersihkan pondok, mencari kayu, menimba air, mencuci daun-daun, dan lain-lain.

Namun bocah yang tahu diri ini melakukan semua pekerjaannya tanpa mengeluh. Ia menerima semua pekerjaan berat itu sebagai biaya pelajarannya. Ia tidak tahu bahwa pekerjaan-pekerjaan itu sebetulnya termasuk "latihan" pula, latihan untuk menguatkan tubuhnya sehingga tubuh dan pikirannya menjadi biasa akan penderitaan lahir. Seorang gagah harus kuat menahan penderitaan lahir.

Baru saja lima tahun Tiang Bu belajar ilmu di Omeisan, ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sekali. Pada pagi hari itu, ia dilatih oleh Tiong Jin Hwesio dalam ilmu yang disebut Liap tinsut (Ilmu Mengejar Awan)! Itulah semacam ilmu laricepat atau ilmu melompat yang berdasarkan ginkang yang sempurna.

Akan tetapi pemuda tanggung ini sudah pandai sekali melompati jurang yang sepuluh tombak lebarnya, berlompatan dari ujung batu karang ke ujung lain yang amat runcing sehingga menuruni lereng yang terjal serta melalui daerah jurang yang curam itu baginya bukan apa-apa lagi Tiong Jin Hwesio yang melatih ginkang padanya, membawanya ke tempat berbahaya di daerah gunung itu.

Makin lama kakek ini membawa Tiang Bu ke tempat yang makin sukar sehingga beberapa bulan kemudian tidak ada sebuah pun tempat yang tak dapat didatangi Tiang Bu.

Tentu saja kakek ini merasa puas sekali.

Juga dalam ilmu-ilmu yang lain Tiang Bu memperlihatkan kemajuannya. Biarpun dua orang suhunya menghujaninya dengan pelajaran-pelajaran berat, namun ia dapat mengatur waktunya dan dapat menerima semua itu dengan baik.

"Pinceng dan Jisuhumu (Gurumu yang ke Dua) tak pernah mempergunakan senjata. Thian sudah mengaruniai kita dengan tangan kaki, panca indera dan akal budi.

Mengapa pula kita harus mengandalkan bantuan senjata seperti pedang atau golok? Tidak, biarpun hanya dengan tangan dan kaki, asal dilatih baik tidak akan kalah menghadapi senjata yang bagaimanapun juga," kata Tiong Sin Hwesio kepada muridnya.

Memang keistimewaan inilah yang membuat Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio terkenal sebagai orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Mereka tak pernah mempergunakan senjata, akan tetapi selama ini, tak seorang pun yang berani mencoba-coba dapat mengalahkan mereka.

Banyak sudah ahli-ahli pedang, ahli-ahli tombak dan ahliahli senjata lainnya sengaja datang untuk mencoba-coba karena mereka ini sebagai ahli senjata tentu saja tidak suka dicela. Akan tetapi mereka semua roboh dengan mudah saja oleh Tiong Sin Hwesip dan Tiong Jin Hwesio.

"Thian melengkapi kita dengan akal budi. Untuk apakah ke mana-mana rnembawa senjata tajam seperti jagal? Kalau memang perlu, setiap benda di depan kita, baik benda itu berupa setangkai kembang, sebatang ranting, atau sehe lai daun, dapat kita pergunakan untuk membela diri. Bukan senjata yang istimewa, melainkan orangnya yang berada di belakang senjata. Golok pusaka, pedang mustika, segala yang runcing-runcing dari yang tajam-tajam takkan ada artinya apabila orang yang memegangnya tolol.

Sebaliknya, sehelai daun akan lebih berguna daripada sebatang pedang apabila orang yang mempergunakannya mengerti bagaimana harus mempergunakannya," demikian Tiong Sin Hwesio melanjutkan nasihatnya kepada Tiang Bu yang selalu mendengarkan dengan penuh perhatian dan mencatatnya baik-baik di hati dan ingatannya.

Dilihat dari semua nasihat ini, sama sekali tidak mengherankan apabila Tiang Bu tak pernah mendapat pelajaran bersilat dengan senjata apa pun juga. I a hanya menerima pelajaran ilmu silat tangan kosong, ini pun tidak begitu dipentingkan oleh dua orang kakek itu. Yang lebih dipentingkan adalah penggemblengan dalam memperkuat hawa sinkang di dalam tubuh, mengumpulkan tenagatenaga tersembunyi sehingga dapat dipergunakan dengan baik-baik.

Dapat dimengerti apabila tanpa disadarinya, Tiang Bu telah memiliki tenaga lweekang yang hebat dan memiliki ilmu khikang dan ginkang yang istimewa. Dengan sinkang orang dapat memiliki tubuh yang kuat dan kebal, dengan lweekang orang dapat mengatur tenaga sehingga tenaga seratus kati menjadi seribu kati, dengan khikang orang dapat mengatur pernapasan sehingga tidak saja isi dadanya bersih, juga terutama sekali napasnya panjang dan kuat.

Dengan ginkang orang dapat mengatur gerakan yang lincah, ringan dan cepat. Kalau semua ini sudah terpenuhi, berarti orang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi!

Dengan dasar-dasar ini, orang sudah menjadi kuat dan sukar dikalahkan.

Beberapa bulan kemudian pada suatu hari Tiang Bu duduk mengaso di bawah sebatang pohon. Ia tidak lelah, karena tubuhnya sudah kuat sekali, dan mengerjakan pekerjaan mengangkut air dari lereng ke puncak sudah rnenjadi kebiasaan sehari-hari. Yang membuat ia ingin beristirahat di bawah pohon adalah panas terik matahari yang membakar kulit. Musim panas sedang hebat-hebatnya, sehingga di lereng Omeisan yang biasanya dingin itu pun tidak luput dari serangan hawa panas matahari.

Hawa panas, bayangan pohon, ditambah silirnya angin gunung membuat Tiang Bu duduk melenggut bersandarkan tongkat pikulannya. Tempat ia berhenti mengaso itu adalah di lereng selatan di mana terdapat sebuah kelenteng kuno yang sudah mulai rusak karena tidak dipakai lagi. Di depan kelenteng itu terdapat pagar terbuat daripada kayu besi yang berukir indah. Di luar pagar inilah Tiang Bu duduk mengaso, melenggut dan mengantuk karena malam tadi ia terlalu malam berlatih teori ilmu silat sampai lupa waktu.

Tiba-tiba ia mendengar suara senjata beradu nyaring sekali, seakan-akan berada di dekat telinganya. Tiang Bu membuka matanya dan dengan terheran-heran ia melihat dua orang gadis cilik sedang bertempur. Keduanya mempergunakan sebatang pedang dan gerakan mereka lincah dan indah.

"Cringg.....!" pedang berkali-kali bertemu menerbitkan suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata.

Kantuk yang tadi menguasaii mata Tiang Bu seketika lenyap, terganti oleh perhatian dan keheranan. Ia melihat gadis cilik itu kedua-duanya sama pandai dan usia mereka pun sebaya, paling banyak sepuluh tahunan. Akan tetapi keduanya telah memiiiki kepandaian ilmu pedang yang hebat. Ketika Tiang Bu memandang penuh perhatian kepada seorang di antara dua anak perempuan itu, hatinya berdebar aneh. Ia seperti sudah kenal baik bocah itu, kenal baik sekali. Hidung yang kecil meruncing, bibir itu, mata itu.....!

"Lee Goat.....!" tak terasa lagi Tiang Bu menyebut nama ini dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah melompat seperti melayang ke tempat pertempuran dan di lain saat ia telah menyodorkan tongkat pikulan yang sejak tadi dipegangnya itu di tengah-tengah antara dua orang gadis cilik yang masih bertempur.

"Tranggg.....! Tranggg.....!" Dua buah pedang terpental dan terlepas dan pegangan. Padahal Tiang Bu tidak melakukan pukulan, bahkan dua pedang yangtadi menghantam tongkat pikulannya, namun karena tenaga sinkang yang luar biasa dari Tiang Bu, dua batang pedang itu telah terpental . Dua orang gadis cilik itu memandang dengan kaget, cepat memungut pedang masing-masing kemudian mereka menghadapi Tiang Bu dari dua jurusan yang berlawanan. Akan tetapi, Tiang Bu hanya memperhatikan gadis cilik adiknya yang ditinggal ketika baru berusia dua tiga tahun itu. Telah delapan tahun lebih ia meninggalkan rumah berpisah dari adiknya.

"Kau..... bukankah kau..... Lee Goat.....?" tanya Tiang Bu, matanya terbelalak dan bibirnya gemetar, penuh harapan.

Gadis cilik itu memandang kepadanya dengan mata jernih dan kosong. Sama sekali tidak mengenal, lalu mengerutkan kening dan berkata.

"Bukan. Aku tidak bernama Lee Goat "Betulkah? Kau..... kau serupa betul dengan dia....." kata pula Tiang Bu, dadanya penuh kekecewaan.

"Hemm, kau ini siapakah berani menggangguku?" tanya gadis cilik itu tiba-tiba dengan marah.

Tiang Bu mendengar sambarah angin ketika punggungnya hendak ditusuk oleh dara cilik yang berada. di belakangnya. Dengan gerakan enak saja Tiang Bu miringkan tubuhnya, perasaan dan pendengarannya sudah sedemikian tajamnya sehingga punggungnya seperti bermata maka kelitan ini membuat pedang gadis cilik itu menusuk angin.

Dan sebelum ia dapat menyerang lagi, Tiang Bu menggunakan jari tangannya menyentil tengah-tengah pedang sambil berseru.

"Bocah cilik jangan main-main dengan pedang!" Sentilan jari tangannya dengan tepat mengenai pedang dan gadis itu berseru kaget, pedangnya seperti direnggut oleh tenaga yang kuat dan tahu-tahu telah terlepas dari pegangannya, meluncur kebawah dan menancap di atas tanah!

"Bi Li, jangan berkelahi.....!!" terdengar seruan orang dan seorang pemuda tanggung yang sebaya dengan Tiang Bu tampan dan gagah dengan pakaian indah, datang berlari-lari ke tempat itu. Jauh di belakang pemuda ini nampak pula beberapa orang tua datang dari jurusan yang berlainan.

Melihat ini Tiang Bu yang merasa kecewa karena gadis cilik yang disangka Lee Goat itu ternyata bukan adiknya, segera menyeret pikulannya dan pergi dari tempat itu. Ia tidak melihat betapa gadis cilik yang disangka adiknya tadi memandang kepadanya dengan mata penuh pertanyaan dan keheranan. Sementara itu, bocah perempuan yang seorang lagi memandang kepadanya dengan pandang mata kagum dan tertarik sekali.

Setelah melihat munculnya banyak orang, keheranannya bertambah dan hati Tiang Bu menjadi tidak enak, Tidak biasanya di lereng ini terdapat begitu banyak orang. Ia tidak kembali ke puncak, melainkan bersembunyi di dalam rumpun tebal sambil mengintai keluar. Dilihatnya dua orang gadis cilik yang tadi bertempur itu sudah saling menjauhi, gadis yang menyerangnya bersama pemuda tanggung tadi menengok ke arah seorang wanita yang datang seperti terbang cepatnya ke arah mereka. Adapun gadis yang wajahnya seperti Lee Goat juga menanti datangnya seorang laki-laki. Melihat orang laki-laki ini, Tiang Bu berdebar jantungnya. Laki-laki ini bukan laln adalah Wan Sin Hong!

Bagaimana Sin Hong bisa sampai disitu dan siapakah mereka semua itu? Untuk mengetahui hal ini, mari kita ikuti pengalaman Wan Sin Hong dan Li Hwa. Seperti telah dituturkan, Sin Hong dan Li Hwa melanjutkan perjalanan mereka.

"Sin Hong, sekarang kita ke mana?" tanya Li Hwa sambil mengerling ke wajah Sin Hong di sebelah kanannya.

"Aku akan pergi ke Kim-bun-to. Harus kuberitakan tentang keadaan Tiang Bu kepada Hui Lian dan Hong Kin.

Selain itu, aku sudah terlalu lama meninggalkan Luliangsan.

Aku harus menengok tempat itu kalau-kalau ada orang mencari aku." Demikianlah, Sin Hong dan Li Hwa lalu menuju ke Luliangsan, tempat di mana Sin Hong tinggal selama ia menjadi bengcu. Ketika tiba di lereng Luliangsan, mereka melihat bahwa puncak Luliangsan telah kedatangan banyak tamu dari dunia kangouw. Mereka itu adalah tokoh-tokoh besar atau wakil-wakil partai besar yang dahulu telah rnemilih Sin Hong rnenjadi bengcu.

Bu Kek Siansu, ketua Butongpai yang nampak paling tua di antara para tokoh itu, maju menyambut kedatangan Sin Hong sambil mernbungkuk. Sin Hong buru-buru memberi hormat dan berkata.

"Ah, kiranya Bu Kek Siansu Locianpwe dan para Locianpwe yang terhormat. Sungguh menyesal sekali baru sekarang siauwte datang, membikin Cuwi sekalian terlalu lama menanti."

"Kami baru sepekan menanti disini. Pinto sekarang mewakili kami semua karena Tai Wi Siansu sudah meninggal dunia setahun yang lalu," kata Bu kek Siansu.

Sin Hong mengerutkan alisnya. "Sayang sekali belum sempat aku bertemu dengan Tai Wi Siansu Locianpwe di Kun lun san. Semoga arwahnya mendapat tempat yang mulia." Melihat sikap mereka yang dingin, Sln Hong diam-diam dapat menduga bahwa kedatangan mereka ini tentulah untuk urusan kedudukan bengcu. Tentu semua orang ini sudah mendengar bahwa dia adalah keturunan bangsa Kin dan karenanya mereka tidak sudi mempunyai bengcu keluarga Kaisar bangsa yang dianggap musuh! Akan tetapi ia berlaku tenang, lalu bertanya "Tidak tahu urusan penting apakah yang membawa Cuwi sekalian rnendaki Luliangsan? Apa kiranya yang dapat kulakukan untuk Cuwi sekalian?"

"Wan-sicu, pinto mewakili semua saudara di sini untuk memberi penjelasan dan pinto akan bicara singkat saja," kata Bu Kek Siansu. Mendengar kakek ini menyebutnya Wansicu dan bukan Wanbengcu, Sin Hong tersenyum dingin. Tahulah ia karena sudah jelas sekali bahwa orang tidak memandangnya sebagai bengcu lagi.

"Bicaralah, Bu Kek Siansu," katanya singkat.

"Sebelum kamu datang ke sini, lebih dulu setahun yang lalu Tai Wi Siansu telah memimpin pertemuan. Dalam pertemuan itu dibicarakan tentang kedudukan Wansicu.

Oleh karena sudah jelas bahwa Wansicu keturunan Wan Kan atau pangeran Wanyen Kan, maka terpaksa kami semua tidak dapat menerima kau menjadl bengcu kami. Akan tetapi, mengingat kau telah lama membantu kami, kami menghentikanmu dengan hormat, bahkan kami mengajak Wansicu untuk bersama kami membujuk calon bengcu yang hendak kami angkat." Sin Hong tersenyum lebar. Dadanya terasa lega, Kedudukan bengcu selama ini merepotkannya, membuat hidupnya terikat.

"Bagus! Aku harus berterima kasih kepada Cuwi yang membebaskan aku dari tugas bengcu yang maha berat.

Tentu saja aku bersedia membantu membujuknya. Siapakah calon bengcu itu gerangan?"

"Dia adalah seorang dari kakek sakti di Omeisan," kata Bu Kek Siansu.

Kening Sin Hong berkerut. Ia teringat akan sikap orangorang gagah di dunia sebelah selatan yang amat kasar ketika mengunjunginya di Luliangsan beberapa tahun yang lalu.

"Hemm, mengapa Cuwi memilih orang selatan?" tegurnya.

"Kalau mereka yang dipilih, terserah. Akan tetapi aku tidak berani memastikan apakah aku akan ikut membujuk mereka yang sama sekali tidak kukenal. Betapapun juga, terima kasih atas pembebasan tugas bengcu.

"Sebagai tanda bahwa aku sama sekali tidak kecil hati dibebaskan dari tugas bengcu, dan untuk menyatakan terima kasih, sekarang aku hendak mengumumkan secara terus terang bahwa biarpun aku memang benar keturunan bangsawan Wanyen, namun aku tidak dapat membela Kerajaan Kin! Untuk menyatakan bahwa di dalam tubuhku masih mengalir darah Han, aku hanya akan membela rakyat apabila terjadi perang yang datangnya dari utara." Mendengar kata-kata ini, sebagian besar orang gagah yang memang menaruh rasa hormat dan suka kepada Sin Hong bertepuk tangan gembira dan memuji Sin Hong sebagai orang gagah yang patut dlkagumi.

"Cuwi sekalian!" kata pula Sin Hong dengan suara keras sehingga suara gaduh itu berhenti karena semua orang rnemperhatikannya. "Aku hendak mohon pertolongan Cuwi sekalian, terutama para Locianpwe yang terhormat. Oleh karena sekarang diriku tidak terikat lagi oleh tugas berat dan telah bebas, maka aku bermaksud melangsungkan ikatan jodoh dengan Hui eng Niocu Siok Li Hwa di tempat ini. Untuk keperluan itu, aku sangat mengharapkan bantuan para Locianpwe untuk menyelenggarakannya, sebagai wali-wali atau pengganti orang-orang tua, oleh karena baik aku maupun calon isteriku adalah orang-orang yatim piatu, bahkan guru-guru pun telah meninggal dunia.

Tidak tahu apakah para Lociaripwe sudi menolong kami?" Kata-kata terakhir itu diucapkan oleh Sin Hong dengan suara terharu.

Ketika Sin Hong bicara, semua orang mendengarkan dengan tak bersuara, akan tetapi begitu ia habis bicara, terdengar sorak-sorai gemuruh tanda bahwa orang-orang itu menyambut berita ini dengan gembira sekali. Para locianpwe juga maju untuk memberi selamat dan menyatakan bersedia untuk membantu dua orang muda itu mengesahkan perjodohan mereka.

Para tokoh dunia kangouw berikut para anggauta yang ikut di puncak Luliangsan itu, jumlahnya ada lima puluh orang lebih. Mereka ini la!u sibukmengatur ini itu, menghias gua tempat tinggal Sin Hong sebaik-baiknya, membangun pondok atau ruangan darurat untuk tempat berpesta. Ada pula yang turun gunung cepat-cepat untuk mencari bahanbahan guna berpesta berikut tukang-tukang masaknya, arak, daging dan lain-lain.

Dalam waktu tiga hari saja semua sudah siap dan pada pagi hari ke empatnya dilangsungkanlah pernikahan antara Sin Hong dan Li Hwa secara sederhana namun cukup meriah! Hanya sayangnya bagi Li Hwa, di antara para tamu tidak ada seorang pun tamu wanita!

Setelah kedua pengantin diberi restu oleh para locianpwe, lalu diarak menuju makam Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu di puncak untuk bersembahyang di depan kedua makam ini. Kemudian kedua mempelai dengan diantar oleh para locianpwe turun ke lereng gunung untuk bersembahyang di depan makam Luliang Samlojin.

Setelah upacara ini selesai, berpestalah mereka di ruangan darurat di depan gua itu. Menjelang senja semua tamu minta diri dan rneninggalkan puncak Luliangsan, Sin Hong dan isterinya mengantar mereka sampai di tikungan sarnbil tiada hentinya menghaturkan terima kasih mereka.

Kemudian sambil bergandengan tangan kedua mempelai ini dengan hati penuh kebahagiaan kembali ke puncak untuk beristirahat di dalam gua tempat tinggal Sin Hong yang sudah dihias seada-adanya oleh para tamu tadi. Ketika melangsungkan perjodohannya Sin Hong berusia tiga puluh tahun dan Li Hwa berusia lebih muda dua tahun. Sukar untuk melukiskan kegembiraan kedua mempelai ini, hanya mereka berdua yang mengalamilah yang dapat merasakan!

Beberapa bulan kemudian Sin Hong mengajak isterinya pergi ke Pulau Kin bun to untuk memberi kabar kepada Hui Lian dan Hong Kin tentang Tiang Bu. Hong Kin dan Hui Lian menyambut kedatangan Sin Hong dengan gembira apalagi setelah diberi tahu bahwa Sin Hong telah menikah dengan Hui eng Niocu Siok Li Hwa yang gagah perkasa. Mereka segera mengucapkan selamat dan Hui Lian menegur.

"Wan-susiok (Paman Guru Wan) mengapa tidak memberi kabar lebih dulu kepada kami? Kalau diberi tahu, biarpun jauh kami pasti akan datang untuk menghadiri pesta pernikahan itu!" Hui Lian menyebut Sin Hong paman guru karena memang Sin Hong masih terhitung paman gurunya sendiri. Ayahnya dahulu adalah murid Pak Kek Siansu, demikian pula Sin Hong.

Sin Hong tersenyum. "Perjodohan kami dilangsungkan secara serentak dan mendadak, mana ada kesempatan memberi kabar!" Ia lalu menuturkan secara singkat tentang kedatangan orang-orang kangouw di puncak Luliangsan untuk membebaskannya dari tugas bengcu dan betapa dalam kesempatan itu ia lalu minta bantuan mereka untuk merayakan kelangsungan perjodohannya.

Kemudian Sin Hong bercerita tentang Tiang Bu.

"Anak itu memang aneh sekali nasibnya." katanya mengakhiri ceritanya. "Selalu berpindah ke dalam tangan orang-orang pandai, bahkan sekarang kurasa ia telah menjadi murid kakek sakti di Omeisan. Biarlah lain kali kita menengok ke sana." Hui Lian dan Hong Kin agak kecewa karena Tiang Bu tidak turut pulang akan tetapi mereka lega mendengar bahwa anak itu selamat, bahkan menjadi muid orang pandai.

"Tadinya kami bermaksud untuk menyerahkan Tiang Bu kepada Susiok agar dididik dalam ilmu silat, akan tetapi sekarang dia telah menjadi murid Ji Omeisan biarlah kami menyerahkan anak kami saja agar diterima sebagai mund oleh Susiok berdua." kata Hui Lian yang segera nnemanggil anak peiempuannya yang berada di dalam. Tak lama kemudian muncullah seorang bocah perempuan berusia lima enam tahun, cantik manis, dan mungil sekali. Bocah ini memandang kepada Sin Hong dan Li Hwa dengan mata bening dan penuh pertanyaan karena ia tidak mengenal mereka.

"Lee Goat, beri hormat kepada Suhu dan Subomu ini!" kata Hui Lian kepadanya sambil menuding ke arah Sin Hong dan Li Hwa. Untuk sesaat bocah itu memandang kepada Sin Hong dan Li Hwa penuh perhatian terutama sekali ke arah pedang yang tergantung di pinggang Sin Hong dan menempel di punggung Li Hwa. Kemudian ia maju dan berlutut sambil berkata hormat.

"Suhu.....! Subo.....!" Sin Hong dan Li Hwa saling pandang sambil tersenyum.

Sekali bertemu pandang saja suami isteri ini maklum bahwa masing-masing amat tertarik dan suka kepada bocah itu. Sin Hong tertawa dan mengangkat bangun bocah itu sambil berkata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR BUDIMAN

PEDANG PENAKLUK IBLIS (Sin Kiam Hok Mo)

TANGAN GELEDEK (PEK-LUI ENG)